Debat Kedua Capres, Prioritas Pertanian atau Kelautan?
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Debat kedua capres tampak seperti naik kelas dengan
kemampuan mengeksplorasi visi masing-masing hingga ke tataran operasional. Ini
sebuah penanda keberhasilan tim sukses dalam mempersiapkan kedua capres
agar tampil lebih smart dalam arena selevel ‘cerdas cermat’ tingkat
dewasa. Saya mesti bilang selevel itu karena moderator kali ini tak lebih
piawai dalam menguasai pertanyaan dibanding kedua capres yang terkesan lebih
menguasai jawabannya. Tampaknya format yang disodorkan KPU seperti menjebak
moderator menjadi pemandu acara cepat tepat setingkat SMU, bukan debat yang
fleksibel dan memukau seperti Obama vs Romney tempo hari. Jika model
membaca pertanyaan dilakukan pada debat selanjutnya, hemat saya tak perlu
mengundang moderator sederajat guru besar, cukup pilih salah satu guru SMU
teladan di Indonesia akan lebih bagus hasil pembacaannya. Terlepas dari itu, Prabowo tampak lebih siap dalam
contoh-contoh konkrit yang diharapkan publik dibanding debat pertama. Debat
pertama setidaknya memberi sentimen positif di pasar politik DKI Jakarta pada
Prabowo-Hatta sebesar 35 persen dibanding Jokowi-Jusuf Kalla sebesar 30,66
persen (LSI, Republika,Juni 2014). Prabowo menampilkan satu fokus penting yang
kini kita lupakan yaitu pembangunan bidang pertanian. Sementara Jokowi
memfokuskan pada bidang kelautan yang secara faktual pula terbengkalai diurus
negara. Dengan menunjukkan kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang
mengganjal, kedua capres mencoba mengurai fokus masing-masing bidang yang
dipersoalkan.
Dibidang pertanian, Prabowo menjadikan titik fokus tadi
untuk menjawab sejumlah masalah yang mengganjal di setiap sektor. Dengan asumsi
penduduk miskin 60 persen berada di wilayah perdesaan, patut
kiranya bangsa ini dibangun diatas kemandirian sektor pertanian untuk menyerap
tenaga kerja, mengurangi problem pengangguran, membatasi angka kemiskinan,
serta dengan sendirinya menjawab soal minusnya sumber pendapatan negara.
Bersandar pada surplus sektor itulah menurut Prabowo, kekuatiran atas
melemahnya pertumbuhan ekonomi, terbatasnya gaji pegawai, serta meluapnya
gejala korupsi, dapat segera diatasi. Jadi sumber masalahnya jelas,
menyelesaikan satu sumbu masalah untuk mengatasi rentetan masalah lain layaknya
effect domino. Catatan
buat Prabowo adalah perlunya detail program dalam bidang pertanian sehingga
tidak saja subsidi pupuk yang dirasakan petani, demikian pula hak kepemilikan
lahan yang selama ini hanya bersifat pinjam pakai selaku petani penggarap.
Membandingkan kesejahteraan petani Malaysia dan Indonesia tentu saja ironis. Di
sana selain memperoleh subsidi pupuk, petani memiliki lahan sendiri, memperoleh
harga jual tiga sampai lima kali lipat, jaminan kesehatan dan pendidikan,
bahkan terbukanya infrastruktur sebagai tanggungjawab pemerintah dan bantuan
tranportasi serta alat-alat teknologi pertanian memungkinkan setiap petani
memiliki harapan hidup untuk menabung, membeli rumah dan mobil, serta mampu
menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi.
Gambaran petani kita justru sebaliknya, miskin, tak berpendidikan serta
malas. Akibatnya, Indonesia tak kunjung berhenti mengimpor buah, sayur, rempah
hingga beras dari negara tetangga. Inilah ancaman atas ketergantungan dan
serangan kapitalisasi dalam hubungan regional di era keterbukaan perdagangan
bebas.
Gagasan Jokowi lain lagi, sebagaimana harapan kita pada
debat pertama soal visi Revolusi Mental, kini tampak menemukan ruang untuk
dijelaskan lebih jauh pada publik. Dengan bertumpu pada prinsip berdikari,
problem Indonesia adalah melepaskan diri dari ketergantungan di bidang politik,
ekonomi, dan sosial budaya. Diluar itu fokus persoalan yang menjadi kerisauan
Jokowi adalah urusan laut, yang dalam istilah debat disebut sebagai strategi
pembangunan infrastruktur tol laut. Berpijak pada kondisi luas lautan lebih
besar dibanding daratan, Indonesia membutuhkan mobilitas transportasi murah
lewat kapal yang mampu menghubungkan pulau dan daratan seefisien dan seefektif
mungkin. Mengingat 90 persen mobilitas perdagangan menggunakan area laut, dan 60
persen diantaranya melalui laut Indonesia sangatlah wajar jika Jokowi
memfokuskan wilayah laut sebagai entry point guna mempercepat
pembangunan kapal, dermaga, hingga masyarakat yang bergantung hidupnya di
wilayah laut. Catatan untuk Jokowi adalah sekalipun mobilitas laut ditingkatkan
melalui tol laut, tetap saja tak dapat menuntaskan masalah pelik yang dihadapi
Papua berkenaan dengan harga barang. Menurut saya jauh lebih penting meletakkan
konsep berdikari alias mandiri di wilayah Papua untuk menjawab masalah yang
sesungguhnya, yaitu ketergantungan barang dari luar daerah. Dengan membangun
pabrik semen, pembukaan lahan pertanian di atas daratan yang subur, serta
memberi kesempatan bagi perusahaan domestik untuk membuka usaha di Papua, maka
apa yang menjadi kebutuhan masyarakat di daerah Papua dengan sendirinya
terjawab. Temuan acak kita menunjukkan bahwa harga semen bisa menjadi kurang
lebih 1 juta persak, melonjaknya harga beras, indomie dan sabun menjadi lima
kali lipat memang disebabkan oleh tingginya biaya transportasi barang. Namun
jika hanya tol laut yang menjadi fokus masalahnya, maka persoalan harga di
Papua tak akan tuntas dalam jangka panjang.
Di sinilah pentingnya mencairkan konsepsi kemandirian ke
dalam program yang nyata. Perlu juga diingat bahwa persoalan sistem yang sering
dikemukakan Jokowi dengan membawa-bawa Kartu Jakarta Pintar dan Sehat, menurut
saya tak cukup adaptif di area Papua dengan kondisi geografis, demografis, dan
pendidikan yang berbeda dengan masyarakat di Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan
Sumatera. Jika Kartu Jakarta Pintar dapat mengalami tarik ulur, bukan mustahil
program yang sama dapat mengalami problem yang sama lewat alasan otonomi
daerah. Lebih dari itu kultur masyarakat daerah tampak lebih
emosional dan kualitatif dibanding masyarakat kota yang lebih rasional dan
kuantitatif. Perbedaan realitas semacam itu tentu saja membutuhkan pendekatan asimetrikal di masa mendatang.
Komentar
Posting Komentar