Debat Pertama, Membedakan Pemimpin dan Manajer
Debat
pertama pasangan capres/cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko
Widodo-Jusuf Kalla senin malam (9/6/2014) memberi gambaran awal tentang masa
depan Indonesia sekiranya salah satu pasangan menjadi pilihan rakyat sebagai
presiden dan wakil presiden 2014-2019. Bagi saya terdapat sejumlah
catatan penting dalam debat yang terdiri dari enam segmen yaitu,
pertama, tahapan penyampaian visi awal dari masing-masing
capres/cawapres memberi gambaran tentang apa yang akan dilakukan dalam lima
hingga sepuluh tahun kedepan. Diluar pasangan Prabowo-Hatta, pasangan
Jokowi-Jusuf Kalla tampak kehilangan konsistensi terhadap visi awal yang selama
ini telah dijual ke publik dalam tema besar bernama Revolusi Mental. Semestinya
visi ini yang dielaborasi lebih jauh agar publik semakin yakin tentang apa
pandangan Jokowi-Jusuf Kalla terhadap masa depan Indonesia. Mengutip statement
Jokowi sendiri, mungkin terlalu bersemangat sehingga jawaban Jokowi-Jusuf Kalla
pada segmen pertama semestinya merupakan jawaban atas pertanyaan di segmen
kedua tentang pendalaman visi yang lebih detil. Pemberian contoh konkrit sangat
bagus untuk memberi keyakinan bagi publik tentang apa yang telah dilakukan
selama ini sebagai mantan walikota dan gubernur, namun selain kebhinekaan
Indonesia yang belum tentu efektif, jawaban tersebut justru menutupi visi besar
yang dinantikan publik. Menurut saya, persoalan-persoalan teknis yang
dikemukakan Jokowi sebagai contoh dalam praktek pemerintahan menunjukkan ia
benar-benar seorang manajer kota dibanding seorang pemimpin yang sesungguhnya.
Mengutip Alfan Alfian (2001), pemimpin memiliki perbedaan mendasar dengan
seorang manajer. Seorang pemimpin belum tentu seorang manajer, tetapi seorang
manajer boleh jadi bertindak layaknya seorang pemimpin. Pemimpin memiliki visi
yang jauh kedepan, manajer lebih cenderung kearah teknis operasional.
Masalahnya apakah posisi presiden itu lebih tepat sebagai seorang pemimpin
ataukah manajer? Menurut khalayak ramai pastilah pemimpin suatu bangsa,
pemerintahan dan negara. Jika kita menginginkan seorang pelayan kota seperti
kota-kota besar di Amerika, tampaknya lebih tepat menempatkan seorang manajer
ketimbang seorang pemimpin. Untuk menjadi seorang pemimpin kita membutuhkan
banyak persyaratan nilai, selain kredibilitas yang membuktikan bahwa kita
adalah pemimpin sejati, bukan boneka, apalagi dirakit dalam desain media yang
bersifat instan. Kredibilitas dapat lahir dari berbagai profesi, tidak
mesti mantan walikota atau gubernur, boleh jadi lahir dari pengalaman militer,
pengusaha hingga politisi murni. Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid,
Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono bukanlah pemimpin yang pernah menjadi
lurah, camat, walikota apalagi gubernur. Obama bukanlah orang yang pernah
mengecap sebagai walikota dan gubernur sebelumnya. Kalau itu yang menjadi
patokan, saya pikir calon presiden sebagus Anies Baswedan dan Mahfudh MD tak
berpeluang menjadi kandidat presiden dimasa mendatang hanya karena minus
praktek pemerintahan.
Dalam
kontes perdebatan capres tampak bahwa Jokowi kurang memahami dimana seharusnya
hal-hal substansial yang bersifat profan dan inkremental diletakkan, apakah
dalam rangkaian gerbong rencana pembangunan jangka panjang ataukah gerbong
jangka menengah dan jangka pendek. Persoalan idiologi negara memang sudah final
dan karena itu tak perlu dipersoalkan, kecuali dirawat dan dikembangkan pada
generasi selanjutnya. Namun Ini dapat dimaklumi, sebab menurut Prijanto (mantan
Wagub DKI Jakarta, Juni, 2014), Jokowi sebenarnya tak begitu serius terhadap
pentingnya meletakkan RPJMD di Provinsi DKI Jakarta. Kedua, harus diakui bahwa
elaborasi Prabowo pada segmen kedua kurang berkembang jika dibanding penjelasan
Hatta yang lebih diplomatis, politis, retorik, bahkan beraksentuasi puitis.
Bagi saya, Hatta justru menampilkan performance yang mumpuni sebagai politisi
dan calon pemimpin sekaligus menguasai substansi perdebatan meskipun waktu yang
dialokasikan Prabowo cukup terbatas. Ketiga, eksplorasi Jusuf Kalla dalam
beberapa statemen tampak tak terkoneksi dengan pernyataan Jokowi selain kurang
sistematis, meloncat kemana-mana sehingga artikulasinya tak begitu jelas
ditangkap. Terlepas dari itu, kredibilitas Jusuf Kalla tak perlu diragukan lagi
dalam hal penyelesaian konflik regional di Aceh, Ambon dan Poso. Pertanyaan
kritis Jusuf Kalla ke Prabowo sekaligus menjawab persoalan yang selama ini
mengganjal perasaan publik terhadap Prabowo. Dari keempat calon presiden dan
wapres tersebut jika boleh memberi penilaian, Jokowi satu-satunya manajer yang
ideal tapi tak menjamin sebagai pemimpin yang sesungguhnya, Prabowo ideal
sebagai pemimpin lapangan, Hatta politisi ideal yang menjanjikan, sementara
Jusuf Kalla adalah pemimpin sekaligus manajer berpengalaman, meskipun cukup tua
untuk mengulang semua kesuksesan itu. Sebagai saran akhir dari catatan
perdebatan capres dan cawapres semalam sebaiknya perlu seorang moderator yang
lebih senior dan berpengalaman dalam memandu debat capres. tampak moderator
membuka persapaan dengan sedikit grogi, gugup, kaku dan terlalu banyak
mengingatkan penonton untuk tak bertepuk tangan. Moderator boleh jadi punya
segudang gelar dan ahli dibidang ilmu tertentu, tetapi belum tentu piawai
memandu acara dalam debat bergengsi semacam itu.
Komentar
Posting Komentar