Menguatkan Kembali Fungsi Negara
Oleh. Muhadam Labolo
Dua sosok terbaik dalam kompetisi
pemilu presiden tahun ini setidaknya menjadi simbol atas dua problem utama
bangsa, yaitu melebarnya dissosiasi antara
yang memerintah dengan yang diperintah, serta melemahnya citra negara baik internal maupun eksternal. Jokowi mewakili jawaban atas problem pertama,
sementara Prabowo tentu saja merepresentasikan jawaban terhadap soal kedua.
Oleh karena Jokowi pada akhirnya menjadi pemenang akhir dalam pemilu itu, maka
ada baiknya problem kedua menjadi agenda strategis yang mesti ikut diselesaikan
pasca rekonsiliasi antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat.
Bahasa damainya adalah ‘saatnya kita
kibarkan merah putih menuju Indonesia hebat, salam tiga jari’. Persoalan melebarnya jarak
tampak dalam gejala hilangnya kepedulian pemerintah pada masyarakatnya. Apa
yang dijanjikan berbeda dengan apa yang dilaksanakan. Sarana komunikasi baik
formal maupun informal seperti tak berfungsi sama sekali. Masing-masing berada pada
sudut pandang ekslusifisme. Mereka yang memerintah merasa ogah membangun komunikasi dengan kelompok masyarakat yang dinilai
ekstrem. Sementara yang diperintah merasa bahwa kontrol mereka dalam berbagai
sinyalemen tak mendapat respon positif kecuali kebuntuan yang menggemaskan
hati. Jalan buntu semacam itu pada akhirnya membuahkan gesekan yang tak
menentramkan. Kasus FPI dan Ahok menunjukkan terdapat jarak komunikasi yang
cukup lebar antara pemerintah dan masyarakat, sekalipun FPI tak dapat dianggap mewakili
seluruh masyarakat DKI Jakarta. Dalam ragam konflik diberbagai daerah juga
memberi kesan bahwa pemerintah mengalami sindrom autisme terhadap apa yang diinginkan masyarakatnya. Pemerintah asik
dengan menaikkan pajak dan retribusi termasuk dalam perkara poligami, sementara
masyarakat menilai kebijakan semacam itu tak lebih dari upaya mendiskreditkan
kaum hawa. Jika Jokowi mampu menurunkan adrenalin
kelompok-kelompok ekstrem di Pasar Solo dan Tanah Abang, mengapa para pemimpin
selanjutnya tak pernah mengambil pelajaran berharga dari problem semacam itu? Bukankah
gaya kepemimpinan semacam itu sekaligus dapat menjawab masalah selanjutnya
bangsa ini. Secara internal tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah kita
semakin hari semakin melemah seperti nasib mata uang rupiah di pasar global. Kebebasan
yang diberikan pada setiap individu dan kelompok dalam framework demokrasi tampak memunculkan dilema tersendiri
sebagaimana peringatan Lipson (1992) atas penyakit bawaan demokrasi. Negara
memberi banyak diskresi agar ruang publik dapat digunakan sebatas tak melanggar
kepentingan orang lain. Masalahnya, ketika negara memberi kebebasan untuk
mencapai kesejahteraan tadi, pada saat yang sama negara terkadang lalai
melakukan kontrol atas diskresi yang telah diberikan. Saat negara mendiamkan
semua itu, ekspresi individu dan kelompok kian menjadi-jadi, mengusik
ketentraman umum, menihilkan perasaan mayoritas, bahkan menutup mata terhadap
peran pemerintah dalam membatasi syahwat membentuk wilayah-wilayah ekslusif. Bagaimanapun
negara yang dipersonifikasikan pemerintahnya harus kuat. Kuat dalam membuka
jalan bagi kebebasan dan kesejahteraan masyarakat (Fukuyama:2004). Tanpa itu
negara hanya akan mengalami pelemahan yang pada akhirnya meruntuhkan masa
depannya. Kepercayaan rakyat pada pemerintahnya dapat meningkatkan social trust yang melebihi modal fisikal
sebagaimana dikatakan Fukuyama dalam Trust,
The Social Vitues and The Creation of Prosperity (1995). Jadi, diluar upaya
memakmurkan rakyat sebagaimana cita-cita yang telah dijanjikan, ketegasan
pemerintah dalam prakteknya perlu sebagai bagian dari maksud untuk mencapai
semua tujuan dalam arti luas. Dalam karya singkatnya State Building, Governance and World Order in The 21st Century (Ithaca,
NY: Cornell University Press, 2004), fungsi negara pada tahap minimal adalah
bagaimana negara mampu menjamin kepastian hukum dan ketertiban sosial. Pada
tahap menengah, negara harus mampu menangani masalah eksternal, termasuk
memperbaiki kualitas pendidikan, lingkungan dan mengatur monopoli. Pada tahap
akhir (aktivis), negara harus mampu menentukan kebijakan industri dan
redistribusi kekayaan. Selama masa 10
tahun pemerintahan SBY, paling tidak tatanan hukum dan ketertiban sosial
relatif mengalami banyak kemajuan. Penegakan hukum sekalipun tampak efektif di
level nasional, namun harus diakui pula cukup rumit penyelesaiannya di tingkat
daerah. Penegakan hukum akibat penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi cukup
efektif di level puncak kekuasaan, namun belum sepenuhnya meraba indikasi
korupsi di daerah sebagai dampak lemahnya pembangunan sistem politik dan hukum
dari hulu ke hilir. Ketidaktertiban sosial dalam sejumlah kasus berskala masif
juga mengalami pengendalian serius sebagaimana tampak pada akhir konflik Aceh,
Maluku dan Poso. Diluar itu, percikan konflik dalam skala mikro tetap menjadi
pekerjaan rumah bagi Jokowi esok lusa. Problem ini akan terus muncul jika
fungsi negara dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan, kesehatan, asuransi
sosial, regulasi keuangan dan lingkungan tak diperkuat dengan baik. Program
pendidikan dan kesehatan sebagaimana janji Jokowi dalam bentuk kartu pintar dan
kartu sehat haruslah benar-benar nyata, bukan sekedar gratis pendidikan atau melanggengkan
BPJS. Regulasi keuangan harus mampu mendorong iklim kondusif bagi investasi
jangka panjang, bukan sekedar melempar koint untuk mengintervensi rupiah di
pasar global. Upaya menciptakan social
order harus dilakukan dengan meningkatkan fungsi aktivis yaitu melebarkan
industrialisasi di sejumlah daerah guna mempercepat terserapnya tenaga kerja sekaligus
mengurangi angka pengangguran. Pada sisi lain, redistribusi kekayaan mesti
dilakukan dengan prinsip keadilan untuk semua orang, bukan keadilan bagi
sekelompok penopang kemenangan rezim berkuasa. Menyeimbangkan alokasi subsidi
selayaknya mampu menjawab problem ketimpangan sosial, bukan sekedar pengelolaan
politik pencitraan yang membosankan. Bahkan, dalam kondisi tertentu pemerintah
harus berani melepas rasa takut tak populer untuk memberi harapan lebih besar
dan mungkin dikemudian hari. Memberi banyak hari ini untuk kesusahan dimasa
depan menurut saya jauh lebih buruk daripada memberi sedikit untuk kebahagiaan
dimasa mendatang. Jika mungkin tentu saja memberi sebanyak mungkin hari ini
untuk bekal selama-lamanya. Apabila keseluruhan fungsi negara tersebut
mengalami penguatan dari hari kehari, maka trust sebagai modal dasar yang
diperlukan akan terus menguat hingga membentuk kepercayaan diri yang luar
biasa. Dalam status seperti itu, pemimpin akan mudah mendongak dihadapan bangsa
lain, oleh karena kekuatannya disokong oleh rakyat luas. Menurut saya, Jokowi
memperoleh momentum yang sama seperti Soekarno. Ruang sama namun waktu boleh berbeda,
namun dukungan rakyat sekaligus bantalan (soft
power) adalah modal utama dalam menjalankan pemerintahan lima tahun
kedepan. Jika kekuatan di parlemen menjadi pengganjal yang menakutkan, maka
kekuatan rakyat justru merupakan sandaran yang paling efektif. Sebab itu, tak
ada jalan yang paling strategis kecuali bagaimana pemerintah mampu menjalankan
fungsi-fungsi negara secara terencana dan efektif. Dengan semua upaya dan
keberhasilan itu, Pemerintahan Jokowi segera dapat menjawab problem utama
bangsa ini yaitu merekatkan kembali relasi antara pemerintah dan rakyat pada
satu sisi, disamping meningkatkan harga diri dihadapan bangsa-bangsa lain.
Selamat atas Pelantikan Joko Widodo & Jusuf Kalla sebagai pasangan Presiden
Republik Indonesia ke-7, Senin, 20
Oktober 2014, semoga rakyat terus merasakan keadilan, kemakmuran dan
kesentosaan. Tak lupa terima kasih pula kepada Bapak Susilo Bambang Yudhoyono
dan Boediono atas semua pengabdian yang tulus sepanjang 10 tahun terakhir,
semoga tetap sehat dan terus mengabdi bagi bangsa dan negara. Amin...
Komentar
Posting Komentar