Sirkulasi Pemerintahan dan Ancaman Kutukan

Oleh . Dr. Muhadam Labolo

          Presentasi Nindya Wanita Praja Sucia atas buku Brenda Ralph Lewis, Sabtu, 4 Oktober 2014 di ruang Platos Institute IPDN Cilandak menggambarkan bahwa Raja dan Ratu Eropa di Abad Pertengahan memiliki sejarah gelap yang tidak saja gila dan menyeramkan, juga jauh dari standar moral bila dibandingkan dengan sejarah para Raja di wilayah Nusantara. Terlepas dari itu menurut saya para penulis asing lebih inklusif dalam mendeskripsikan sirkulasi kekuasaan yang penuh ambisi, dorongan seks maupun gelimang harta dibanding sejarah rotasi kekuasaan di tanah air.  Hampir sulit ditemukan penulis sejarah domestik yang berani menggambarkan realitas kelam para pemimpin nusantara dalam kompetisi atas tahta, harta dan wanita di abad pertengahan, kecuali mendekati masa orde baru sebagaimana catatan atas sejumlah kejahatan Orde Baru dimasa pemerintahan Soeharto. Dibandingkan dengan catatan Anthony Reid dalam buku Sumatera Tempo Doeloe, seperti dibedah oleh Nindya Praja Faturokhman pekan sebelumnya, tampak bahwa para raja di wilayah nusantara juga tak kalah menakutkan, bising, penuh intrik politik, serta dalam sejumlah perilaku moral hampir mendekati penggambaran Brenda dalam buku Sejarah Gelap Para Raja dan Ratu Eropa (2013). Para praja yang sebagian besar berasal dari Sumatra dalam diskusi buku tersebut tentu saja merasa kurang nyaman dengan catatan semacam itu, namun perlu diingatkan bahwa semua penggambaran tersebut terkait dengan konteksnya dimasa lalu, selain para penulis asing ingin mengesankan bahwa mereka lebih duluan memperoleh pencerahan dibanding masyarakat di belahan Nusantara. Ada baiknya pendapat Zulfikri Armada (Penelaah) menjadi penyabar kita daripada mencaci-maki penulis tanpa argumentasi dan penelitian valid, kecuali spekulasi dan nafsu menjaga ‘marwah’ lokalitas masing-masing. Harus diingat bahwa sebelum eropa mencapai masa pencerahan (enlightenment), para pemimpin disana lebih menyerupai bangsa dracula sebagaimana digambarkan Brenda, hingga mencapai titik kesadaran tertinggi pasca masuknya nilai-nilai spiritualitas dari belahan timur. Pertanyaan penting bagi kita adalah bagaimanakah gambaran para pemimpin Indonesia pasca kemerdekaan?
          Dalam sejarah klasik Indonesia, hampir semua sirkulasi kekuasaan lokal tak lepas dari intrik politik penuh orientasi kekuasaan, seks dan harta. Kisah Ken Arok ketika mendongkel kekuasaan Tunggul Ametung untuk menduduki Tahta Singosari adalah legenda yang menggambarkan bagaimana rotasi kekuasaan bernoda darah, disamping daya tarik sensual Ken Dedes dan Ken Umang. Pasca kemerdekaan hingga dewasa ini, rotasi kekuasaan seperti berjalan diatas kutukan sejarah semacam itu. Soekarno (1945) naik sebagai presiden pertama penuh kharisma, bahkan tingginya trust masyarakat hampir menjadikan Soekarno presiden seumur hidup. Namun di akhir tahun 1966, Soekarno jatuh tanpa belas kasihan hingga naiknya Soeharto dengan puji-pujian setinggi langit pada tahun 1968. Lebih dari 31 tahun Soeharto berkuasa Ia memperoleh prestasi gemilang sebagai Bapak Pembangunan. Harga diri bangsa serasa terangkat melewati sebagian besar negara di wilayah asia. Indonesia Macan Asia, sebagaimana ingin dikembalikan oleh calon presiden Prabowo tempo hari. Namun apa lacur? Di awal tahun 1998, Soeharto collaps dengan berbagai tudingan penyebab masalah krisis ekonomi, krisis politik hingga krisis multidimensi.  Hampir tak ada satupun yang berani menjadi pembela, sekalipun harus pula diakui bahwa apa yang telah dilakukan Soeharto sejauh ini memiliki makna tersendiri bagi bangsa yang sedang bertumbuh dan berkembang pasca berakhirnya romantisme orde lama. Mereka yang mencoba mencuci tangan dalam sejarah kelam Soeharto seringkali dianggap kroni yang dapat menjadi musuh bersama (common enemy) oleh mereka yang mengklaim sebagai lokomotif reformasi. Soeharto pergi dalam kondisi yang memprihatinkan sebagaimana akhir hidup Soekarno. Keduanya tetap diingat sebagai pahlawan bagi pengagum dieranya masing-masing. Secara konstitusional Habibie (1998) meraih panggung politik dengan beban berat orde baru. Semua orang paham siapa Habibie, mantan pendamping presiden yang menjadi ‘anak emas’ Soeharto dimasa itu.  Namun gelombang demokrasi yang baru memasuki usia subur pada tahap anti otoritarianisme memudarkan semua memori dan produktivitas anak bangsa sekelas Habibie. Ia duduk sebagai presiden penuh kontradiksi, bahkan kontroversial dimata para elite. Kendati lebih dari 500 hari Habibie bekerja all out menyelesaikan sejumlah agenda reformasi, namun Dialah presiden yang tak memperoleh apresiasi tulus dari para elite, semua tampak sinis dan apriori hingga kemundurannya yang penuh nestapa di penghujung tahun 1999.

Tahta berikutnya jatuh secara ajaib ke pundak Abdurahman Wahid. Ia menjadi presiden fenomenal, pemimpin spiritual lintas batas. Batas-batas itu berada dalam kompleksitas kekayaan multikulturalisme. Gus Dur, sebagaimana panggilan akrab tempo itu memperoleh legacy yang tidak saja diterima secara dejure, namun tumbuh berurat-akar secara de facto khusus di level minoritas dan kelompok termarginalkan dimasa orde baru. Ia bahkan dianggap sebagai manusia setengah Dewa, mewadahi semua kitab, bahkan memanjakan kelompok yang dianggap bertentangan dengan kelaziman iman semasa itu. Namun tak berselang lama Gus Dur jatuh dalam kondisi yang tak menggembirakan hati. Gus Dur mengakhiri pemerintahan di depan Istana akibat tekanan para elite dan sebagian masyarakat yang dibuat geram oleh berbagai kebijakan dan gagasan kontroversial. Terlepas dari itu harus diakui bahwa Gus Dur adalah presiden paling eksentrik dalam sejarah kepemimpinan nasional Indonesia. Menggantikan Gus Dur muncul generasi titisan biologis Soekarno. Megawati adalah refleksi sekaligus simbol akumulasi kekecewaan terhadap orde baru selain mengidentifikasi kembali idiologi founding fathers yang dianggap selama ini mengalami peluruhan pada berbagai aspek. Sayangnya, semua harapan yang ditumpukan pada Megawati tampak berjalan dalam lorong gelap tanpa suara. Publik merasa seperti kehilangan pertalian emosi sebagaimana Soekarno pernah membakar semangat kaum proletar lewat pidato-pidatonya yang penuh daya magic, membakar jiwa, merasuk di hati, hingga membentuk kesadaran kolektif untuk mengusir nafsu kolonialisme. Upaya menyelamatkan sejumlah aset besar tampaknya sulit untuk dipertahankan. Kritik pedas sekelompok ultra-nasionalis atas perpindahan Indosat dan sejumlah aset negara membuat Megawati sulit berdiri lama dalam balutan idealisme Soekarno. Akhirnya, Megawati menyelesaikan pemerintahannya tanpa standing applaus, kecuali sederetan masalah yang mesti segera ditutupi. Pupusnya harapan tadi mendorong Susilo Bambang Yudhoyono tampil mewakili nasionalisme publik yang hampir pudar. Ia datang dengan semangat yang melambung tinggi, penuh kebanggaan serta penuh rasa percaya diri. Prestasi yang cukup membanggakan dalam aspek hukum misalnya (KPK), memberi ruang dan waktu lebih dari sekali pemerintahan hingga periode kedua sebagai Presiden Republik Indonesia. Mesti diakui bahwa SBY sejauh ini setidaknya mampu menciptakan kestabilan di bidang politik dan ekonomi kendatipun dengan kritik puisi indah prosa buruk (Saefullah,2013). Sebuah kritik atas style pencitraan yang menjebak SBY pada dilema antara kehati-hatian versus kelambanan. Dengan semua keberhasilan dan kritik itu, SBY boleh saja bangga memperoleh tepuk tangan di ruang fisual, namun terkesan pergi dengan sedikit kebisingan yang tak begitu menentramkan hati akibat blunder UU Pilkada di ruang maya.  Kini muncul sosok yang tak begitu disangka, Joko Widodo. Ia bagaikan tokoh yang dikirim Tuhan untuk menyelesaikan problem akut dengan cara-cara yang simpel, ceplas-ceplos, murah-meriah, jauh dari panduan formalisme serta penuh kejutan. Kunci dibalik semua kehebatan yang melambungkan namanya melampaui artis beken sejak menjadi Walikota Solo hingga Gubernur DKI Jakarta adalah ‘blusukan’. Sebuah kebiasaan para pemimpin kuno yang menjadi ritual kaum pamong praja di level bawah tanpa sorotan kamera. Kini, dengan semua kecanggihan teknologi informasi, siapapun bisa menjadi apa saja, asalkan mampu menampilkan aktivitas yang dapat menyentuh emosi massa, mampu mengubah kebosanan publik atas rutinitas birokrasi, mampu bertatap muka langsung laiknya artis, mampu membelai rambut anak-anak sebagai bentuk perhatian yang tulus, mampu berjabat tangan tanpa batas-batas protokoler, hingga duduk  berlama-lama dipinggiran pasar bersama kaum papa. Jokowi mampu melakukan semua itu, dan karenanya Ia menjadi primus interpares diantara semua kandidat presiden tempo hari. Namun akankah akhir dari pemerintahannya kelak akan memperoleh kecaman dan tekanan yang menenggelamkan namanya sebagaimana dialami para seniornya? Potensi itu bukan tak ada sama sekali. Kelompok oposisi yang baru saja mengklaim 5-0 dapat saja menjadi peluang untuk tidak saja menguatkan pemerintahan, bisa jadi sebaliknya, mengganjal masa depan pemerintahannya secara perlahan.  Mungkinkah ini sebuah kutukan ? Wawlahu alam bissawab..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian