Membumikan Kepemimpinan Bahari Dalam Birokrasi Indonesia

Oleh. Muhadam Labolo

          Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun terakhir sejak 1995, tak ada satupun seminar berskala nasional bertajuk Kepemimpinan Bahari, kecuali apa yang pernah digagas oleh  Prof. Taliduhu Ndraha dan Prof. Ryaas Rasyid di Institut Ilmu Pemerintahan. Kompilasi atas hasil seminar saat itu dapat dibaca utuh lewat buku berjudul Kepemimpinan Bahari, edisi pertama, 2011, Penerbit Ghalia, dengan pengantar Dekan Fakultas PP IPDN. Menurut saya, seminar tersebut merupakan seminar terbaik yang pernah terselenggara tidak saja jika dilihat dari aspek kualitas makalah, narasumber dan interaksi pesertanya, demikian pula steering commite yang mampu menghasilkan laporan seminar selengkap itu. Kesana saya seminar tempo dulu berskala nasional namun bervisi international (baca makalah Emil Salim, Anhar Gonggong, Nazaruddin Syamsuddin, Budhisantoso, Mattulada, Purnama Natakusuma, Parsudi Suparlan, Yogie SM, TB. Silalahi, Paulus Wirutomo, Andre Hardjana, R.Z Leirissa, Baharuddin Lopa, Emmanuel Subangun, Afan Gaffar, Wahyono SK, Rokhmin Dahuri, Adi Sumardiman, Kuntoro dan Tommy H Purwaka). Seminar sekarang berskala international namun terkesan bervisi lokal dan berjangkauan pendek. Tanpa persiapan matang, seminar dapat muncul sewaktu-waktu tergantung siapa Pimpronya, serta untuk kepentingan pragmatis tertentu. Dapat di prediksi, tak ada hasil signifikan yang dapat dipakai sebagai rujukan ilmiah jangka panjang, kecuali selesai dengan kompetisi sertifikat berlabel international untuk percepatan kenaikan jabatan calon Dosen, Asisten hingga Lektor Kepala. Seminar lain yang cukup signifikan adalah tentang perkembangan Ilmu Pemerintahan yang diadakan hampir setiap lima tahun sekali sejak 1972. IIP saat itu memang berfokus mengembangkan pemerintahan sebagai ilmu (pure science), bukan semata-mata pemerintahan sebagai ilmu terapan (applied science). Argumentasinya, lulusan APDN di 22 daerah telah memiliki pengetahuan praktis pemerintahan sehingga dapat melanjutkan pada jenjang ilmu pemerintahan berikutnya (Sarjana Ilmu Pemerintahan dengan gelar doktorandus). Seingat saya, IPDN sejauh ini belum pernah menggagas seminar Ilmu Pemerintahan berskala nasional yang melibatkan perguruan tinggi yang membuka jurusan ilmu pemerintahan dari seluruh Indonesia. Itulah sebabnya kita tak bisa melacak sampai dimana perkembangan ilmu pemerintahan yang diajarkan diberbagai perguruan tinggi, apakah masih dalam bayang-bayang ilmu politik murni ataukah benar-benar berdiri sendiri sebagaimana cita-cita luhur para desainer ilmu pemerintahan seperti Soerwargono, Pamudji, Taliziduhu dan Ryaas Rasyid. Sayangnya, ketika program S3 Ilmu Pemerintahan IPDN dibuka (2013), para pemikir tersebut telah pergi meninggalkan ruang kelas. Dampaknya setiap kali kandidat doktor ilmu pemerintahan diuji, tak satupun penguji yang benar-benar ahli dan bersertifikasi di bidang ilmu pemerintahan.
Saya tak ingin menceritakan sejarah panjang IIP hingga terintegrasi dengan STPDN menjadi IPDN (2004), tetapi penting bagi saya mengingatkan kembali bahwa seminar tersebut tidak saja membuka cakrawala kita tentang nilai-nilai penting kepemimpinan bahari dalam pemerintahan, namun seakan semua ide yang muncul saat itu seperti dipersiapkan untuk menjadi landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla hari ini. Dalam perspektif saya, kementrian teknis seperti kelautan, perdagangan, perindustrian dan lain sebagainya merupakan refleksi konkrit dari sudut aksiologis kebahariaan Indonesia. Sisi baiknya Kementrian Dalam Negeri justru kebagian aspek ontologik dan epistemologiknya, misalnya apa dan darimanakah karakteristik kebaharian lokal maupun universal dapat diadaptasi dalam konteks pembangunan kepemimpinan pemerintahan dewasa ini? Seperti apakah penerapan kepemimpinan bahari pada ruang kepemimpinan dalam negeri mulai Presiden hingga Kepala Kelurahan/Desa? Dua pertanyaan besar itu setidaknya menjadi pekerjaan rumah Kemendagri untuk diramu menjadi satu jawaban dalam bentuk kurikula yang sejatinya dapat diinternalisasikan dan dioperasionalisasikan. Disinilah peran strategis IPDN untuk mengambil alih bagian yang lebih filosofistik sebagai objek dan subjek pendidikan Pamongpraja dalam kerangka Revolusi Mental lewat aktualisasi Kepemimpinan Bahari Presiden Jokowi. Salah satu cara mengadaptasi sejumlah nilai penting dalam kepemimpinan bahari adalah memisahkan antara nilai lokal dan nilai universal. Sejumlah nilai kepemimpinan bahari sebenarnya dapat diadaptasi menjadi nilai kepemimpinan setempat lewat spirit otonomi daerah. Sementara nilai kepemimpinan bahari yang bersifat universal dapat diadaptasi menjadi bagian dari pembangunan nilai-nilai kepemimpinan nasional. Hal ini sekaligus upaya mengembangkan nilai-nilai kepemimpinan Asta Bhrata yang sejauh ini tak mengalami banyak perubahan. Nilai-nilai kepemimpinan bahari berciri lokal dapat diajarkan lewat mata kuliah Kepemimpinan Daerah di Indonesia (semester 3-4), sedangkan nilai-nilai kepemimpinan bahari berciri universial dapat dikembangkan lewat mata kuliah Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia pada semester lanjutan (4-5). Jika Astha Bhrata menangkap gejala alam semesta sebagai refleksi kepemimpinan nasional, maka semua gejala kebaharian adalah simbol dalam mengkonstruksi kepemimpinan bahari. Laut dan perahu dianggap sebagai simbol pemersatu. Stratifikasi jabatan seperti Kelasi Satu, Kelasi Dua hingga Nakhoda merupakan refleksi atas struktur birokrasi bahari yang dapat dipelajari guna menjawab kekuatiran Gifford & Elisabeth Pinchot  dalam The End of Bureaucracy And The Rise of The Intelligent Organization.

Menurut Natakusumah (2011:106), karakteristik model organisasi Weber selama ini kurang mampu menjawab problem yang dihadapi realitas birokrasi di Indonesia. Sebab itu perlu pengembangan organisasi birokrasi yang sesuai dengan budaya bahari seperti bersifat flat, otonomi luas, inovasi tinggi, tanggap, ad-hoc, berbasis teknologi, perlakuan yang adil, bernilai, serta memiliki kontrol pada proses dan output. Gagasan itu tampak mengalami konkritisasi pada lebih 10 tahun kemudian pasca runtuhnya orde baru. Birokrasi kini membutuhkan efisiensi, karena itu diperlukan reformasi agar lebih flat alias langsing. Daerah juga memerlukan otonomi luas agar tercipta inovasi, kreasi dan kemandirian. Pada aspek kepemimpinan dibutuhkan daya tanggap sebagaimana dipraktekkan sehari-hari oleh Jokowi, Risma dan Ridwan Kamil. Pasca reformasi lebih dari 100 lembaga baru dibentuk bersifat ad-hoc, termasuk Satuan Tugas Mafia Migas hari-hari ini. Pada contoh lain misalnya, Walikota Bandung menginginkan agar semua sudut Paris van Java terkoneksi wifi sebagai upaya mewujudkan Kota Berbasis Teknologi Informasi. Keadilan kini menjadi trend yang tak sekedar dicari, namun diburu oleh siapa saja. KPK menjadi harapan tertinggi atas keinginan mewujudkan keadilan dimaksud. Seorang Rektor, Wakil Rektor maupun Guru Besar akan sama kedudukannya dengan warga negara biasa jika tertangkap tangan melakukan pelanggaran hukum. Semua pelayanan mesti bernilai bukan sekedar outputnya, demikian pula proses layanan itu sendiri. Kita boleh menerima aneka rupa kartu dengan maksud mempercepat akses layanan pendidikan dan kesehatan, namun harus pula dipastikan bahwa semua layanan dalam kartu-kartu tersebut benar-benar sakti mandraguna ketika berada di klinik Puskesmas hingga ruang belajar. Bagian terakhir dari kecendrungan masalah birokrasi dewasa ini adalah hilangnya kontrol internal yang membuat birokrasi menjadi bulan-bulanan para penegak hukum. Kebudayaan birokrasi yang suka merawat masalah agar memperoleh keuntungan jangka panjang membuat momentum dan energi bangsa hilang percuma. Rekomendasinya, birokrasi kini mulai dipingit. Terhitung mulai Desember 2014 dilarang rapat di hotel-hotel. Tentu saja ini dapat memungsingkan para pencari untung yang hidup dari sisa-sisa transaksi meeting di hotel berbintang. Mereka harus segera merapikan ruang pertemuan, aula dan balairung jika tidak ingin dianggap melanggar perintah yang punya kuasa di negeri ini. Kebijakan ini bukan saja menihilkan pendapatan birokrasi yang bersandar pada aktivitas di wilayah itu, demikian pula asosiasi perhotelan dan tentu saja event organizier. Namun jangan katakan birokrasi kalau tak punya seribu satu macam akal. Kita yakin itu dapat dijinakkan dalam waktu singkat. Demikianlah taktik birokrasi, disana dilarang, disini dibuka, sebab itu kita memerlukan nilai-nilai kepemimpinan bahari untuk menghadirkan kepemimpinan pemerintahan yang tegas, bersih dan berani, bukan panas-panas tahi ayam,....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian