Menemukan Titik Kesejahteraan Umum
Oleh.
Muhadam Labolo
Dimanakah lokus yang hendak dituju pemerintah
sebagai personifikasi negara dalam semangat membuncah lewat slogan kerja, kerja dan kerja? Jefferson & Gandhi (1982) mengingatkan kembali pada
kita dalam ide dasar republikan, bahwa distrik dan desa adalah tempat yang
sesungguhnya dari kemauan rakyat dan kesejahteraan umum (res dan publicum). Pikiran
itu setidaknya menunjukkan desa sebagai lokus utama untuk dua alasan pokok,
yaitu sarana menyerap kemauan rakyat yang sesungguhnya, serta tempat dimana
kesejahteraan yang menjadi tujuan umum suatu negara berakhir dengan sendirinya.
Apakah kemauan rakyat ada di tempat lain semacam kota? Jawabannya pasti ada,
namun kemauan di tingkat semacam itu lebih memperlihatkan daftar keinginan
ketimbang kebutuhan ril. Masyarakat kota terlalu politis sehingga sulit
membedakan antara kebutuhan sejati dengan keinginan warga kota. Kota sendiri
memiliki ciri masyarakat yang cenderung mandiri, dinamis, individualis, rasional,
atau tempat berkumpulnya masyarakat yang berhasil meningkatkan kualitas diri menjadi
satuan masyarakat hukum yang memiliki kesejahteraan ekonomi lebih baik
dibanding masyarakat di desa pada umumnya. Dalam konteks itu, mereka yang
tersisa di desa boleh jadi merupakan kelompok masyarakat yang bukan saja belum
mampu memperbaharui diri secara individual maupun kolektif, faktor lain
terdapat keinginan kuat dalam mempertahankan budaya yang diyakini turun-temurun.
Bagaimanapun Kota memiliki peran strategis dalam mewadahi transisi masyarakat desa
yang homogen kedalam masyarakat kota berciri heterogen. Pada akhirnya desa
menyisakan sekelompok masyarakat yang sulit dan lamban mengalami transformasi
kecuali lewat rekayasa sosial yang membutuhkan kesabaran.
Kesadaran
itu tampak memiliki sandaran sosiologis jika dihubungkan dengan ide yang
diletakkan Mc Iver (1995) bahwa unit mikro dalam ukuran entitas semacam itu
merupakan lokus pembiakan bagi tumbuh-kembangnya suatu pemerintahan dalam skala
luas (negara). Simpulnya, desa merupakan akar bagi tumbuh dan berkembangnya
suatu pemerintahan dari yang paling primitif hingga kompleks seukuran negara.
Jika demikian semangat dan keyakinan kita, maka persoalan mendasar dari upaya
menggapai titik kesejahteraan utama sebenarnya berada di Desa atau
setidak-tidaknya di tingkat Distrik, bukan semata-mata di Kota yang merupakan
akumulasi dari tahapan perkembangan desa yang kompleks. Status desa yang otonom
secara kultural dan ekonomi semestinya membuka peluang bagi semua departemen di
Jakarta untuk berkantor di desa. Dengan demikian style blusukan yang menjadi icon
Kabinet Kerja kali ini benar-benar dapat menghujam ke titik yang paling
konkrit, bukan sekedar sidak dari bilik ke bilik. Desa dan distrik sejauh ini
merana sekalipun tujuan penyerahan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggungjawab pada daerah diarahkan untuk desa. Faktanya kesejahteraan
cenderung berpusar di jenjang pemerintah lokal (trickl up effect). Kita maklum bahwa pemerintah ingin agar semua
program yang di desain langsung menerpa desa, sayangnya konstruksi negara dalam
bingkai kesatuan bermotif desentralistik tak se-efektif negara ketika melayani desa dalam kerangka kesatuan
bercorak sentralistik. Lihat saja bagaimana pengalaman intervensi pemerintah dalam
kebijakan BOS, PNPM, BLT, Raskin, Dana Desa, BPJS, KIS dan KIP. Setiap tetesan
pundi kesejahteraan yang dialirkan dari pusat ke daerah boleh jadi mengalami
penyusutan hingga mengering tak berbekas setibanya di tempat tujuan. Ini
masalah klasik namun perlu diperhatikan secara seksama dan kalau perlu dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya, dimana tata kelola dan kontrol teramat lemah
di negeri seluas Amerika dan China. Contoh paling mudah adalah kemuliaan
pemerintah memberi subsidi BBM selama ini dimaksudkan agar mereka yang berada
di titik terlemah dapat mengubah nasib dengan sendirinya. Faktanya sebagian
besar menguap, berceceran di tengah jalan, bahkan salah sasaran. Penguapan
melahirkan kekayaan ilegal bagi kelompok tertentu, ceceran membentuk kolusi
kuat antara pemegang kuasa dan pemegang modal, sementara kesalahan sasaran
menciptakan orang kaya baru sebagai ekses dari kepandiran mengurus pemerintahan.
Untuk tak mengulang kembali kesalahan yang sama, pemerintah perlu fokus pada
sejumlah hal sekiranya kabinet kerja dibilang kerja. Menilai kabinet kerja
dalam 100 hari kerja juga menurut saya tak begitu fair, ini sama maknanya dengan menjebak pemerintah dalam pusaran
lipstik. Memerahkan memang, namun tak serta-merta mempercantik. Terlepas dari
itu upaya memberi perhatian serius bagi masyarakat desa sebagai lokus dan titik
kesejahteraan umum bukan tanpa masalah.
Persoalan pertama, keinginan untuk menjangkau sektor riil di level
terjauh seperti desa oleh setiap departemen bukan mustahil akan berhadapan
dengan sistem pemerintahan daerah dan sistem pemerintahan desa baru (UU 23/2014
& UU 6/2014) yang keduanya membutuhkan berbagai instrumen sebagai landasan
operasional. Dalam masa ini kabinet mesti bekerja keras untuk menyiapkan
landasan pacu yang kuat sebagai dasar untuk berselancar dengan aman.
Kedua, sekalipun desa secara normatif berada pada zona otonom, namun realitas
politiknya desa berada dalam kuasa wilayah otonomi daerah yang tentu saja
membutuhkan pendekatan tertentu sebelum tiba di lokus yang diinginkan. Dalam
situasi semacam itu, Kabinet Kerja sudah pasti akan banyak mengalami ganjalan
ketika berhadapan dengan nafsu otonomi lokal yang kebablasan. Kabinet Kerja
boleh jadi berkeinginan tinggi sesuai target yang telah ditentukan, namun
realitas otonomi daerah tak semudah yang dibayangkan. Perlu diingat bahwa semua
strata pemerintah daerah dikuasai oleh kelompok yang berbeda warna dan
kepentingan sehingga membutuhkan energi untuk melelehkan setiap kepentingan
yang cenderung sempit. Jika energi Kabinet Kerja tersandra oleh macetnya
instrumen kerja DPR di Senayan, maka lebih sulit lagi menembus hutan belantara
untuk segera mengatasi problem di desa yang semakin pelik menanti detik-detik ekses
kebijakan BBM. Ketiga, jika fase pertama membutuhkan penyesuaian atas berbagai
sistem, fase kedua bagaimana mengatasi arogansi personal pemerintah daerah,
maka fase ketiga berkaitan dengan upaya mempercepat integrasi dan aksi sejumlah
departemen yang segera bekerja. Integrasi Direktorat PMD Kemendagri kedalam
Kementrian PDT dan Transmigrasi misalnya, bukanlah pekerjaan seharian
memindahkan perkakas dan dokumen sebagaimana lazim kita bayangkan. Proses
semacam itu setidaknya dapat menghabiskan energi paling cepat setahun, sebelum
benar-benar serius melaksanakan action-plan
dilapangan. Keempat, momentum untuk merealisasikan berbagai aktivitas secara
teknikal dalam setahun kedepan masih terkunci oleh sistem APBN yang telah di
ketok-abis semasa rezim sebelumnya. Situasi ini membuat pemerintah mesti
berhati-hati jika tak ingin mengundang perdebatan atas isu kontroversial
seperti darimanakah sumber pembiayaan program KIP dan KIS? Ketidaksamaan
jawaban seperti APBN atau CSR BUMN dapat menciptakan Bumerang bagi pemerintah sendiri. Demikian pula dalam masalah
apakah perlu mengosongkan kolom agama atau tidak dalam KTP? Setidaknya
Kementrian Agama seturut dengan Kemendagri ataupun sebaliknya. Saran saya,
mengurangi kontroversi jauh lebih bijak agar dapat menghemat energi guna meraih
kesejahteraan umum yang dicita-citakan bersama. Tanpa itu, semua cita-cita kita
hanya akan melahirkan kebijakan yang tak membahagiakan, kecuali janji manis
yang dapat menyakitkan, menyakitkan sebagaimana kata Cita Citata,..sakitnya tuh disini,...
Komentar
Posting Komentar