Birahi Desentralisasi Asimetrik dan Perubahan Konsensus

Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Meluapnya tuntutan otonomi khusus diberbagai lapisan pemerintahan daerah menggambarkan betapa sibuknya daerah memikirkan masa depan dirinya masing-masing tanpa menimbang konsekuensi logis dari semua hasrat yang dapat menimbulkan kesenjangan antar sesama daerah dan ketegangan antara pusat dan daerah. Bagi daerah-daerah yang menuntut ke-sex-ian semacam itu beralasan bahwa justru tanpa perlakuan khusus selama inilah daerah mereka mengalami ketimpangan dibanding wilayah lain yang jelas-jelas secara ekonomi, politik dan sosial budaya tertinggal. Lewat alasan klasik ‘keadilan’ mereka menuntut perlunya pusat mempertimbangkan kembali semua konsesi yang pernah dibicarakan baik secara historis, politik maupun ekonomi. Kota Solo mencoba mengingatkan kembali pemerintah pusat tentang perjalanan historisnya sebagai salah satu kerajaan yang eksis di Tanah Jawa. Tidore dan Ternate seakan ingin menyadarkan pemerintah pusat bahwa kontribusi mereka dalam mobilitas perdagangan rempah-rempah di jalur timur dalam pergulatan sejarah pra-kemerdekaan tak bisa dilupakan begitu saja. Bali mengajukan proposal sebagai wilayah spesial bukan semata-mata sebagai pulau penuh daya tarik turis domestik dan mancanegara, namun lebih dari itu mereka menginginkan pengakuan sebagai Pulau Dewata dengan segala implikasinya. Riau dan Kalimantan Timur membangunkan pemerintah dengan permintaan bagi hasil yang lebih rasional. Kalimantan Tengah seperti sedang mengulik telinga pemerintah agar kembali ke janji pemimpin masa lalu sebagai alternatif Ibukota Republik Indonesia. Makassar dapat saja beralasan bahwa penting sebagai wilayah khusus karena kepopuleran dari berbagai aspek lewat potret sejarah yang panjang (celeb, celebrity, celebration, celebes bermakna orang terkenal, kelompok orang terkenal, merayakan, pulau terkenal). Aceh dan Papua terkesan belum puas dan mungkin tak akan pernah puas dengan konsekuensi desentralisasi asimetrik selama ini. Belajar di negara lain, Irlandia tak cukup puas sebagai wilayah khusus Inggris, mereka terus menuntut referandum. Mindanao bukannya diam, secara acak berselisih langsung dengan pemerintah Philipina. Demikian pula wilayah-wilayah khusus di dataran Tiongkok seperti Hongkong dan Tibet. Di ujung perbatasan berakhirnya kompensasi dana otonomi khusus, Aceh dan Papua tampak mulai gelisah. Jika sampai tujuh hingga delapan tahun kedepan asupan gizi dalam bentuk dana otonomi khusus yang melimpah tadi berhenti tiba-tiba sesuai undang-undang, maka Aceh dan Papua tentu saja mesti memutar otak saat ini jika tak ingin mengulang konflik dimasa mendatang.  Dengan kegalauan semacam itu maka tak perlu heran jika elite Aceh ketika  berhadapan dengan pemerintah pusat selalu membawa dua kitab utama, yaitu Qur’an dan MOU Helsinki sebagai dasar perdebatan yang alot. Kitab pertama untuk mengingatkan pemerintah pusat bahwa Aceh diatur khusus lewat Syariat Islam. Sedangkan kitab kedua mengingatkan pemerintah pusat tentang puncak konsensus utama di Helsinki. Secara politik kedua kitab tersebut hampir memiliki kedudukan yang setaraf, dimana sewaktu-waktu salah satunya dapat menjadi wajib atau sunnah bergantung pada tafsiran sepihak para elite. Lain Aceh beda pula Papua, kegalauan Papua kini memasuki fase transisi yang paling merangsang. Tak puas dengan otonomi khusus, Papua kini menuntut perlunya perubahan status otonomi khusus menjadi otonomi khusus plus. Dikemudian hari mungkin saja tuntutan seperti itu akan semakin genit, nakal dan penuh birahi menjadi otonomi khusus plus-plus.  

          Bagi pemerintah pusat, grand strategy otonomi khusus sepertinya kurang menjadi pokok perhatian serius. Undang-undang pemerintahan daerah masih berkutat pada soal pembagian urusan yang bersifat normatif, bukan satu jawaban yang dapat menghentikan nafsu mengidentifikasikan diri sebagai wilayah yang bersifat ekslusif. Hemat saya, pemerintah perlu setidaknya merancang pertama, mendesain kembali undang-undang pemerintahan daerah yang menitikberatkan pada aspek urusan pilihan sebagai fokus perhatian  utama, bukan semata urusan wajib. Faktanya, urusan wajib baik berbentuk pelayanan dasar maupun non pelayanan dasar sejauh ini telah di-take over pemerintah pusat dalam bentuk Kartu Pintar, Kartu Sehat hingga Kartu Jaminan Sosial. Realitas ini bahkan menjadi komoditas politik yang paling seksi untuk tak ingin mengubur kesan politik pencitraan di awal masa pemerintahan. Secara normatif memang urusan absolut pemerintah pusat yang tak dapat di-sharing adalah urusan pertahanan, keamanan, luar negeri, yustisi, agama hingga kebijakan moneter, namun dalam kenyataannya pemerintah pusat seperti tak ingin dipermalukan ketika daerah ramai-ramai menjadikan isu gratis pendidikan dan kesehatan sebagai bentuk pencitraan paling efektif untuk meraih dukungan rakyat lewat propaganda kampanye di setiap pemilukada.  Menurut pencermatan saya, sejauh ini Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah tak banyak mengalami perubahan kecuali penambahan urusan pemerintahan umum (algemene besturen) yang diadaptasi dari Undang-Undang Nomor 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Kedua, jika pemerintah beralasan bahwa undang-undang pemerintahan daerah hanya dialamatkan bagi semua daerah yang bersifat simetrik, plus gugusan provinsi yang berkarakteristik kepulauan, itu berarti kita membutuhkan pengaturan bagi satuan-satuan masyarakat yang bersifat khusus sepanjang masih ada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (lihat pasal 18B ayat 2). Atas dasar itulah maka pekerjaan rumah berikutnya adalah pemerintah perlu menyiapkan rancangan undang-undang pemerintahan daerah khusus, suka atau tidak.  Undang-undang ini dalam benak saya akan mengatur perubahan perilaku daerah otonom biasa (simetrik) menjadi daerah otonom khusus (asimetrik). Praktisnya, undang-undang ini akan mengatur penataan daerah otonom biasa menjadi khusus lewat persyaratan yang tak mudah dicapai, namun bukan mustahil diraih lewat persetujuan dan penetapan oleh DPR, DPD dan Presiden. Tanpa pengaturan yang serius semacam itu, bagi saya, syahwat mengubah jenis kelamin daerah dari simetrik menjadi asimetrik bukan mustahil dapat tumbuh bak cendawan di musim hujan.  Ketiga, jika dua pil panasea diatas tak juga dapat ditempuh, dan pemerintah suatu ketika kehilangan kesabaran akibat tekanan eklusivisme daerah yang terus membuncah, maka tak ada harapan lain kecuali para elite dikemudian hari merelakan untuk sampai pada perubahan konsensus kolektif, yaitu mengubah pondasi konstitusi. Kalau ini yang terjadi, maka perdebatan sebelum sampai pada titik kesepakatan dapat beresiko membuyarkan konsentrasi kita dalam mengawal transisi yang kini memasuki tahap akhir konsolidasi demokrasi. Kalaulah perdebatan tersebut kita bayangkan berjalan tanpa aral-melintang, maka desain paling mungkin yang dapat tercipta adalah mengubah konsensus dasar para founding fathers, yaitu mengubah bentuk negara dari kesatuan berciri desentralistik menjadi federal bercorak negara bagian. Perubahan fundamental semacam itu bukan hal baru ketika Belanda membagi Indonesia kedalam bentuk Negara Federasi. Bedanya, Negara Federasi ketika itu adalah produk dari gagasan politik Dr. Hubertus Johannes Van Mook untuk menjadikan Indonesia sebagai negara boneka yang dapat dikendalikan sewaktu-waktu menurut kepentingan Belanda (1949). Kedepan, mungkin saja argumentasi terbentuknya Negara Federasi tidaklah sama, kecuali mewadahi tuntutan ekslusivisme daerah agar tetap hidup bersama dalam kesatuan negara seperti United State of America. Kondisi ini juga menandai bahwa perubahan awal dari negara kesatuan berciri sentralistik (1945) ke negara kesatuan bermotif desentralistik (1999) tak mampu menjawab kegairahan daerah untuk terus mengidentifikasi diri sebagai yang paling berkontribusi dibanding pemerintah pusat yang notabene adalah wakil-wakil mereka sendiri yang diutus lewat pemilu sekali dalam lima tahun. Dibagian yang paling menegangkan adalah ketika perdebatan mengubah pondasi konstitusi tadi mengalami stagnasi berkepanjangan dan pemerintah frustasi, maka militer adalah jawaban paling ekstrem sebagaimana terjadi dibelahan Afrika dan Timur Tengah. Ini tentu saja bukan bagian dari agenda reformasi, namun revolusi negara akibat kegagalan membangun konsensus. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian