Efisiensi, Ruang Private dan Urusan Negara
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Ketika
pemerintah kini mendorong semangat efisiensi hingga ke titik terendah
(pemotongan anggaran sampai 30%), semua satuan kerja setingkat departemen
hingga unit terkecil di tangga terbawah bergegas merelaksasi sebagian besar
kegiatannya pada batasan yang paling rasional, patut dan wajar. Rasionalitas pengeluaran
dibatasi pada realitas harga yang masuk di akal sehat. Menganggarkan
penggantian kain gorden di kantor dengan
ukuran 3x4 persegi seharga ratusan juta misalnya, patut di duga lahir dari akal
yang tak begitu sehat sehingga tak rasional. Boleh jadi seseorang mungkin
tampak waras dalam pergaulan hidup sehari-hari, namun akal sehatnya tak cukup dilandasi
oleh nilai spiritualitas sehingga berubah menjadi akal bulus. Output dari
akal semacam itu melahirkan pembiayaan fiktif yang di utak-atik dari DIPA atau POK
unit organisasi. Kepatutan ditaksir berdasarkan etika umum yang berlaku dalam
masyarakat. Apakah patut jika seorang pejabat eselon dua naik pesawat kelas
satu sedangkan bawahannya cukup pesawat
setingkat kelas dua? Ketidak-patutan seringkali memproduk diskriminasi.
Diskriminasi seperti itu tak jarang melahirkan sakit hati kolektif pada sebagian
bawahan yang merasa di zholimi. Dalam
jangka panjang sakitnya bukan hanya di sekitar dada sebelah kiri sebagaimana
lirik Cita Citata, bisa jadi menjalar ke relung hati paling dalam, yaitu
kebencian pada individu, kelompok, ras, agama, etnis dan sistem secara
keseluruhan. Sedangkan kewajaran di kalkulasi berdasarkan realitas kebiasaan di
suatu wilayah. Diluar gaji pokok yang sama untuk semua aparat sipil negara,
tunjangan kinerja dan tunjangan kemahalan dapat menciptakan perbedaan yang
wajar. Mereka yang berkinerja tinggi akan dibayar mahal, apalagi yang tugasnya
di pelosok desa misalnya, kemungkinan akan mendapatkan tambahan tunjangan
kemahalan dibanding mereka yang tak mau pindah seumur hidup di pusat ibukota
pemerintahan. Diatas pertimbangan semangat semacam itu, pertanyaan selebihnya
adalah apakah sejumlah aksi dilapangan menunjukkan terjadi efisiensi? Hidup
sederhana itu penting, bahkan demikianlah seharusnya. Namun memaksakan diri
untuk hidup sederhana dengan realitas yang ada mungkin mesti di intropeksi
kembali, sebab mereka yang dipaksa hidup sederhana jangan-jangan memang sudah
terlalu lama hidup sederhana bahkan gigit
jari. Membatasi rapat-rapat dalam bentuk konsinyering dan Focus Group Discuss (FGD) sebagaimana SE
Menpan & RB Nomor 11 tahun 2014 di hotel-hotel mungkin ada positifnya,
namun melarang pegawai ASN mengundang keluarga dalam pesta lebih dari 400 undangan
lewat surat edaran lain adalah policy
action yang boleh jadi bermaksud baik, namun menurut pendapat saya gagal
memahami batasan antara ruang private
dan ruang public. Di Udik, jangankan
mengirim 400 undangan, mengirim 200 undangan saja yang datang bisa lebih dari
1000 orang. Inilah fakta dimana bangsa masih terikat secara sosio-cultural sehingga kohesivitas
seperti itu menjadi modal yang tak ternilai harganya. Mestikah satu surat
edaran menciptakan benih-benih dissosiasi
dalam masyarakat. Jika SE tersebut ditujukan bagi kelompok pejabat yang
senang konsumerisme dapat dimaklumi, namun bagaimanakah dengan seorang pegawai
ASN yang memang memiliki kekerabatan luas selain dikenal mulia melayani
masyarakat selama ini? Mengukur gaya hidup pegawai ASN di sebuah Departemen
barangkali berbeda dengan gaya hidup pegawai ASN di level Kelurahan, Kecamatan,
Kabupaten hingga Provinsi. Di departemen, kehadiran seseorang dalam sebuah
pesta secara sosiologis kemungkinan lebih kuat diikat oleh faktor rasionalitas.
Ada rasa takut kalau tidak hadir lantaran memiliki hubungan struktural hirarkhis
yang ketat, atau kuatir kehilangan akses dalam birokrasi. Di level desa,
kehadiran seseorang dalam sebuah pesta secara sosiologis lebih karena ikatan
emosional guna menjaga harmoni sosial. Malu rasanya jika tak berpartisipasi
dalam hajatan seorang anggota keluarga. Boleh jadi pesta tingkat Kampung di
Papua dan Tana Toraja dapat menjadi tujuh hari tujuh malam, bergantung
klasifikasi dan konteks acara yang diinginkan pihak keluarga besar (marga,
suku, clan) yang kebetulan juga seorang pegawai ASN biasa sekaligus anggota
masyarakat adat tertentu. Seekor Kerbau (Tedong
Bonga apalagi) di Tana Toraja dapat mencapai ratusan hingga milyaran
rupiah. Itu jelas bukan tanggungan negara, apalagi pegawai ASN semata, itu
hasil donasi dari rumpun keluarga besar yang diberikan menurut asas resiprokal
(timbal balik). Terlepas dari sisi negatif acara semacam itu, namun demikianlah
harga sebuah integrasi yang kuat dalam masyarakat. Itu jauh lebih positif,
daripada mereka meminta kekhususan pada negara agar diberi perlakuan istimewa
lewat dana otsus misalnya hanya untuk menanggung biaya semacam itu. Bukankah
selama ini negara mengalah dan membayar mahal semua permintaan daerah hanya
karena ingin mempertahankan integrasi sosial? Mengapa integrasi sosial yang
diinisiasi sendiri oleh masyarakat justru dibatasi oleh hanya selembar surat
edaran?
Menurut pikiran saya, ruang private
urusan individu, urusan publik wajib di atur negara, itu memang ultimatum
negara dalam konstitusi. Itulah mengapa terminologi publik lebih sering
dimaknai sebagai urusan pemerintah, dan bukan wilayah masyarakat pada umumnya. Setiap
kita terlahir sebagai individu, karnanya terikat dalam konsensus keluarga.
Dalam ruang sosial kita adalah bagian dari mahluk yang tak mungkin lari dari
kenyataan sosial. Dalam skala organisasi terbesar semacam negara, kita tak
dapat melepaskan diri sekalipun pemerintah adalah personifikasi konkrit negara
tak selalu dapat memenuhi harapan setiap individu. Itulah mengapa setiap individu
pada dasarnya tak dapat merdeka sekalipun ia terlahir di alam yang bebas.
Begitu manusia dilahirkan, maka setiap kita terikat pada lingkungan dari unit
terkecil (keluarga) hingga organisasi paling kompleks (negara). Persoalannya,
bagaimanakah membedakan bahwa kita berada pada ruang private dan di lain waktu
berada di wilayah negara? Apakah seorang pegawai ASN selamanya terikat di dalam
dan di luar kantor sebagai aparat negara? Jika demikian halnya, maka seluruh
perilaku aparat negara idealnya merujuk pada semua aturan negara.
Konsekuensinya, sekalipun seorang aparat berada di rumahnya sendiri ia harus
tunduk pada konstitusi, undang-undang, peraturan pemerintah, permen, hingga
surat edaran. Dapat dibayangkan, bagi Pasutri yang akan melaksanakan hajat
di malam Jumat mungkin harus menunggu peraturan menteri atau minimal surat
edaran. Ini gambaran ekstrem jika negara mencoba memasuki ruang private hingga
ke seluk-beluk rumah tangga individu. Bayangan
semacam itulah yang membuat Jhon Locke (1632-1704) sedikit gusar jika negara
terlalu jauh mengatur urusan individu sebagaimana pemikiran Hobbes (1588-1679)
dalam Leviathan. Menurutnya, ruang
individu mesti disisakan agar setiap kita dapat menghirup udara bebas atas
dasar hak-hak mutlak yang diberikan Tuhan. Sebagian besar urusan berskala luas
dan beresiko menimbulkan dampak eksternalitas sebaiknya menjadi urusan negara,
seperti memastikan terciptanya perlindungan akibat serangan individu terhadap
orang lain, atau antar kelompok dengan kelompok lain (bellum omnium contra omnes). Pemikiran ini dalam jangka panjang
melahirkan penghargaan atas Hak-Hak Asazi Manusia hingga dewasa ini. Proteksi
negara atas hak asasi manusia merupakan kewajiban negara dimana pada saat yang
sama merupakan hak setiap warga negara untuk diakui, bukan diberikan. Untuk
alasan itulah mengapa kita membutuhkan pemerintahan.
Jika batasan sebagai aparat negara
didasarkan pada sejauh berkenaan dengan disiplin dalam ruangan kantor atau
sebatas perintah dinas, maka setiap kita harus benar-benar menyadari dimana
ruang private dan dimana urusan negara. Jika demikian maka semestinya semua
fasilitas dinas harus berakhir di depan pintu rumah masing-masing ketika
seseorang kembali memasuki ruang private agar ia jelas tak terikat untuk
sementara waktu dengan urusan negara. Mobil dinas dan sopir dinas misalnya
cukup sampai di depan pintu rumah, tak etis mereka mengantar aparat untuk
urusan private ke mal atau tempat hiburan. Itu wilayah private, bukan urusan
negara. Apalagi jika fasilitas negara menjadi bagian yang tak terpisahkan
dengan semua pergerakan anak, istri dan seluruh keluarga besarnya. Parahnya, dalam
banyak kasus anak dan istri terkadang jauh lebih dominan menentukan perkara tete-bengek dilingkungan organisasi. Perilaku
memisahkan antara urusan private dan urusan negara pernah dicontohkan oleh
Khalifah Umar ra, bahkan dipraktekkan oleh salah seorang anggota komisioner KPK.
Sayangnya, kita seringkali lupa dengan persoalan etik semacam itu, apalagi jika
sekelompok birokrat sengaja membutakan mata sang pejabat untuk memperoleh
keuntungan bagi kelanggengan jabatan. Bagi birokrat oportunis, melayani
keluarga pejabat jauh lebih penting sekalipun harus menabrak nilai-nilai etik
dalam masyarakat. Akhirnya kita dibuat bingung, siapa sebenarnya yang pejabat,
istri atau anaknya?
Komentar
Posting Komentar