Legitimasi dan Tantangan Pasangan Kepala Daerah Baru



Oleh. Muhadam Labolo

            Pasca pemilukada serentak tanggal 9 Desember 2015, kini kita telah menghasilkan 264 pasangan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota baru di seluruh Indonesia.  Terlepas bahwa terdapat gugatan atas legitimasi pasangan terpilih dibeberapa daerah kepada Mahkamah Konstitusi, tetap saja kita optimistis bahwa mekanisme demokrasi pada akhirnya adalah jalan keluar (way out) yang paling rasional dan beradab dibanding penyelesaian sebaliknya seperti kasus di Provinsi Kalimantan Utara. Legitimasi adalah akseptabilitas moral masyarakat terhadap pemimpin terpilih, apakah mereka terpilih secara fairness atau sebaliknya. Dalam konteks Indonesia, untuk membuktikan keabsahan pasangan terpilih dapat dilakukan lewat Mahkamah Konstitusi. Misalnya, menurut Peraturan MK Nomor 1/2015, syarat pengajuan gugatan untuk wilayah provinsi yang jumlah penduduknya di bawah 2 juta, syarat selisih suara adalah 2 persen. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta sampai 6 juta selisih suara 1,5 persen, dan 6 juta sampai 12 juta selisihnya 1 persen, serta diatas 12 juta selisihnya 0,5 persen.  Sedangkan untuk kabupaten/kota, jumlah penduduk dibawah 150 ribu, selisih suara yang bisa disengketakan adalah 2 persen, 150 ribu sampai 250 ribu adalah 1,5 persen, 250 ribu sampai 500 ribu sebesar 1 persen, dan diatas 500 ribu selisihnya berjumlah 0,5 persen. Dengan batasan itu maka kalaulah di sebuah daerah kabupaten terdapat tiga pasangan dengan hasil penetapan KPUD sebagai berikut; pasangan A memperoleh suara sebesar 28,41%, pasangan B sejumlah 33,68% dan pasangan C sebanyak 37,91%, maka publik dengan mudah dapat menghitung tanpa menggunakan kalkulator apakah pasangan dengan suara terendah layak mengajukan gugatan ke MK atau tidak. Jawabannya jelas, selisih antara pasangan A terhadap C sebesar 9,50%, sedangkan selisih pasangan B terhadap C terpaut 4,23%. Publik yang cerdas tentu saja tinggal melihat apakah jumlah penduduk dan persentase yang digariskan dalam hal ini terpenuhi atau tidak. Maknanya, pasangan A dan B secara matematik akan dikesampingkan oleh MK karena dinilai tak memenuhi syarat formal yang telah ditetapkan untuk maju ketahap persidangan selanjutnya. Ini pelajaran Matematika paling gampang yang justru tak begitu saya sukai ketika belajar di tingkat SD kelas 3. Diluar soal itu, ketentuan diatas mungkin saja dianggap kurang memenuhi rasa keadilan substansial, namun apapun alasannya, demokrasi tak semata-mata bersifat kualitatif, namun demokrasi membutuhkan ukuran-ukuran kuantitatif dalam proses yang disepakati dimana putusan hukum adalah pijakan akhirnya. Legitimasi moral dapat ditentukan baik secara hukum maupun politik. Pasangan terpilih dapat saja lulus lewat saluran hukum yang telah disediakan sedemikian rupa, namun keduanya dapat terkoreksi ditengah jalan lantaran perbuatan tercela yang dapat mengurangi legitimasi moral dari aspek politik.  Pasangan Aceng Fikri di Garut tempo hari secara hukum memang memiliki tingkat legitimasi diatas 30%, namun di penghujung kepemimpinan mengalami political rush yang berakhir lewat pemakzulan oleh DPRD plus dukungan mahkamah peradilan setempat.  Memang, kualitas demokrasi kita baru pada ukuran-ukuran kuantitatif, belum pada kesadaran yang lebih kualitatif seperti apakah kehadiran seseorang dalam setiap perhelatan semacam itu lebih pada soal turut meramaikan pesta demokrasi dengan iming-iming amplop ataukah memang refleksi atas tanggungjawab terhadap masa depan daerahnya masing-masing? Secara umum angka partisipasi politik menurut KPU mencapai 64,23% (Fachrudin, Rep.16 Des 2015).  Atau jika kita gunakan data dari JPPR, partisipasi pemilih rata-rata sebesar 69% (Rep,18 Des 2015). Angka tersebut sekalipun hampir mencapai 70% namun fakta kasuistiknya menunjukkan bahwa wilayah perkotaan seperti Medan mengalami disorientasi politik dengan hanya mencapai 26,88% dibanding Kabupaten Mamuju Tengah yang mencapai 92,17%. Tentu saja pemerintah mesti melakukan berbagai upaya untuk membangun kesadaran politik warga agar problem  disorientasi idiologi, idealisme, pengetahuan politik, malpraktek maupun alasan situasi dan kondisi dapat diperkecil dalam perhelatan pesta demokrasi ditahun berikutnya.
          Tantangan pasangan kepala daerah terpilih berikutnya tentu saja cukup berat, apalagi jika pasangan yang digantikan memiliki track record cukup bagus di mata publik.  Misalkan saja, cukup berat bagi siapapun yang akan menggantikan pasangan kepala daerah di Kota Solo, Bandung, Surabaya dan Jakarta esok lusa. Kota Solo pernah dinakhodai Joko Widodo yang kemudian mengantarkan beliau ke Istana Negara. Kota Bandung kini dipercantik oleh mantan dosen arsitektur yang kini menjadi pusat perhatian dimana-mana. Kota Surabaya menjadi unik setelah dipecut oleh seorang wanita yang mirip Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Sedangkan Kota Jakarta dibuat sedikit gaduh lewat berbagai kebijakan populis Ahok. Bagi pasangan kepala daerah terpilih yang kebetulan mengganti atau meneruskan pasangan kepala daerah yang memiliki track record minus atau biasa-biasa saja, tentu saja menjadi momentum bagi upaya perubahan yang akan dilakukan dalam jangka pendek. Semua program dan kegiatan yang berada dalam tempayan visi dan misi harus tertuang jelas pada kebijakan strategis jangka panjang dan menengah. Pada bagian ini kita tentu membutuhkan kerja keras dan serius di punuk sekelompok birokrat terpilih sebagai koki, bukan semata-mata tempat yang layak bagi ketua tim sukses yang berasal dari satu dua birokrat.  Semua koki yang akan menerjemahkan seperangkat kebijakan strategis pasangan kepala daerah terpilih haruslah mereka yang benar-benar memiliki kapasitas teruji selama ini, bukan mahluk kutu loncat yang senang merayap dibahu pasangan terpilih. Untuk kepentingan itu maka pasangan terpilih wajib melakukan fit and proper test sebagai bagian dari proses lelang jabatan (open recruitment) menurut UU Nomor 5/2014 Tentang Aparat Sipil Negara. Penerjemahan kebijakan strategis bukanlah hal yang mudah, apalagi birokrasi harus segera memperlihatkan postur baru sebagai konsekuensi perubahan UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.  Transisi ini tidak saja akan membuang birokrat tak bermutu, namun memperbanyak pekerja fungsional birokrat yang dapat mempercepat terealisasinya program pasangan terpilih. Pada level akar rumput, segenap masyarakat pemilih maupun tak memilih mengharapkan sentuhan cita rasa efektif sesuai janji kampanye tempo hari. Bagi pasangan terpilih, mekanisme penghubung terbuka lebar lewat UU Nomor 6/2014, dimana Desa menjadi titik perhatian strategis yang dapat diintervensi lewat bantuan dana pusat, provinsi dan kabupaten. Yang pokok bagi Pemda adalah bagaimana mengarahkan seluruh potensi yang ada agar tak mubazzir bertumpuk antara satu program dengan program yang lain.  Misalkan saja, porsi subsidi pusat harus jelas diarahkan kemana, bantuan provinsi dipakai untuk apa, dan transfer kabupaten dalam bentuk ADD masuknya di program macam apa. Dengan demikian maka fokus pembangunan masyarakat akan jelas dimulai tahun 2017. Apapun alasannya, kita harus memahami bahwa proses penganggaran untuk tahun 2016 telah diketuk oleh rezim sebelumnya sehingga yang diperlukan hanyalah penyesuaian sederhana lewat mekanisme perubahan anggaran di setiap siklus yang tersedia. Tantangan pasangan terpilih tentu saja mencoba mengaplikasikan semua cita-cita secara perlahan tanpa merusak tatanan positif yang telah dibangun selama ini. Pembangunan membutuhkan kontinuitas, bukan sekedar tambal-sulam.  Pembangunan juga membutuhkan kepercayaan. Kepercayaan atas apa yang telah dibangun oleh rezim sebelumnya, kepercayaan atas apa yang akan kita lanjutkan sebagai sesuatu yang berharga bagi masyarakat, kepercayaan kita sebagai masyarakat pada siapapun yang terpilih, bahkan kepercayaan kita pada semua limpahan Rahmat dan Karunia Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala nikmat dan kekayaan yang dicurahkan di daerah masing-masing.  Dengan semua kesyukuran itu, saya yakin Tuhan akan senantiasa melibat-gandakan nikmat yang ada, bahkan menurunkan barokah dari langit dan dari bumi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]