Mundur dari Jabatan, Gejala Menguatnya Etikalitas Pemerintahan



Oleh. Muhadam Labolo

Sepanjang tahun 2014-2015, fenomena mundur dari jabatan sebagai penyelenggara negara maupun pemerintahan menjadi trend yang meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tercatat setidaknya terdapat Anggito Abimanyu yang mundur dari jabatan Dirjend Haji (2014), Sigit Priadi Pramudito mundur dari jabatan Dirjend Pajak (2015) dan Djoko Sasono yang terakhir mundur dari jabatan Dirjend Perhubungan Darat akibat kemacetan parah di awal Natal tahun 2015. Jauh sebelum itu kita juga pernah menyaksikan sejumlah politisi yang mundur dari jabatan dengan berbagai alasan. Misalkan saja akibat konflik internal dalam pemerintahan daerah mendorong Dicky Chandra dan Prijanto mundur dari jabatannya sebagai Wabup Garut (2011) dan Wagub DKI Jakarta (2012). Suharso Monoarfa mundur dari jabatan Menteri Perumahan Rakyat pasca digugat cerai istrinya (2011). Andi Mallarangeng dan Suryadarman Ali mundur dari jabatan sebagai Menpora dan Menteri Agama akibat kasus Hambalang (2012) dan Haji (2014). Gita Wirjawan mundur dari jabatan Mentri Perdagangan dalam kompetisi sebagai calon Presiden (2014). Untuk menghindari rangkap jabatan, Zulkifli Hasan, Tifatul Sembiring, Helmy Faishal, EE Mangindaan dan Syarief Hasan pernah mundur dari jabatan masing-masing sebagai menteri sebelum dilantik menjadi anggota DPR RI (2014). Setya Novanto akhirnya mundur dari jabatan Ketua DPR-RI setelah mengalami tekanan eksternal dan internal Desember 2015. Dimasa orde baru, Soeharto  pernah mundur dari jabatan Presiden Republik Indonesia setelah sejumlah menteri melakukan hal yang sama. Soeharto mundur akibat krisis kepercayaan masyarakat di era reformasi (1998). Dilingkungan Pemda DKI Jakarta tercatat pula misalnya kemunduran Kepala Dinas Perindustrian dan Energi serta Kepala Dinas Tata Kelola Air akibat gagal menjalankan tugas (2014-2015).  Dalam sejarah sistem parlementer dan multi partai (1955), sejumlah kabinet silih berganti meletakkan jabatan sebagai bentuk akuntabilitas pemerintahan. 
Pada semua kasus diatas pengunduran diri menunjukkan secara sadar atau tidak bahwa setiap pejabat publik sedang memperlihatkan upaya menjunjung tinggi etika dalam ruang publik dan pemerintahan. Mereka yang mundur karena alasan hukum, gagal dalam menjalankan tugas, serta terjebak dalam dilema jabatan yang mesti dipilih adalah contoh dimana etika jabatan sedang ditegakkan. Setiap jabatan harus netral dan tunggal sehingga setiap orang berhak pula untuk duduk secara netral dan terhindar dari rangkap jabatan. Mereka yang mundur karena alasan konflik internal adalah bentuk percontohan atas penegakan etika organisasi. Organisasi selayaknya membutuhkan kesepaduan harmoni sehingga dapat dinikmati oleh publik, bukan konflik laten yang tak berkesudahan sebagaimana relasi kepala daerah dan wakilnya di seluruh Indonesia dimana 94% berakhir dengan kondisi pisah ranjang (Kemendagri, 2014). Sebagian yang mundur karena alasan skandal pribadi dan rumah tangga sebenarnya dengan sengaja sedang memperlihatkan tegaknya etika sosial. Boleh jadi tak ada yang melarang politisi beristri dua, namun etika sosial menuntut agar setiap pejabat mampu memperlihatkan kesolehan individu sebagai examplary center (uswatun hasanah) bagi masyarakat yang dipimpinnya.  Jika ada yang mundur karena alasan tak sesuai dengan profesi atau bidang yang menjadi kemampuan atau keahliannya, artinya mereka secara sadar atau tidak sedang menegakkan etika profesi.  Etika profesi penting agar tidak saja seseorang dapat bertanggungjawab kepada Tuhan, mereka yang dilayani dan atasannya, juga pada organisasi profesi yang menaunginya. Seorang dokter tentu akan merasa bertanggungjawab pada organisasi profesinya, selain pada pasien, pimpinan dan keyakinan spiritualnya.  Demikian pula bagi seorang yang berprofesi sebagai Pamongpraja, apalagi jika Ia seorang dosen dengan pilihan konsentrasi pada mata kuliah yang menjadi bidang keahliannya. Mereka tentu akan dinilai dari profesi yang dimilikinya. Untuk kepentingan itu negara membayar mahal dengan cara melakukan sertifikasi pada setiap orang guna meningkatkan profesionalitasnya dan menghindari terjadinya malpraktek seperti dokter syaraf membedah penyakit THT. Dibidang pendidikan juga demikian, sertifikasi dibutuhkan guna menghindari ahli ilmu agama mengajar teknik memerah susu sapi. Ini bukan saja menciptakan malfunction, juga kesesatan yang nyata pada dirinya, mahasiswa, masyarakat serta pemerintahan dalam waktu tertentu. 
Etika bukanlah hukum tertulis sebagaimana hukum positif yang berakibat pada pelanggaran pidana dan perdata.  Sekalipun demikian etika adalah rahim bagi hukum positif itu sendiri. Maknanya, melanggar etika sama halnya melanggar produk dari etika itu sendiri yaitu hukum positif, sekalipun seseorang belum tentu menjadi tersangka dikemudian hari.  Dapat dipahami mengapa pejabat di Eropa, Amerika, Jepang, Korea, India dan China menunjukkan kebiasaan mundur dari jabatan apabila dinilai melanggar etika. Kasus pengunduran diri Kanselir Jerman dan Presiden Honduras dalam isu plagiat disertasi beberapa tahun lalu jika direnungkan bukanlah pelanggaran serius dalam masyarakat. Namun bukan soal itu, namun ini berkaitan dengan persoalan etika, yaitu kebohongan publik (public lies). Pengunduran diri pemimpin Korea akibat bermain golf disaat masyarakat dalam belitan masalah, atau kasus dimana salah satu Perdana Menteri Jepang mundur hanya karena kurang fasih berbahasa leluhur nenek-moyang mereka menunjukkan sebuah tanggungjawab yang tinggi dalam menjaga nilai-nilai luhur yang menjadi konsensus dalam masyarakat.  Kita tak mungkin akan menemukan di negara-negara tersebut kasus dimana seorang pejabat dilantik dan melantik dalam keadaan berstatus sebagai tersangka (Kasus Mesuji dan Tomohon, 2012). 
Kebiasaan mundur dari jabatan dengan prinsip demi kebaikan umum (common good) kiranya patut didukung guna mengedepankan moralitas dan etika yang kini langka dilingkungan organisasi kita. Perubahan mindset bahwa jabatan adalah amanah orang banyak (publik, jama’ah) yang tak mesti dipertahankan jika memang tak sanggup dipikul adalah bagian dari perubahan mental. Dan perubahan mental adalah bagian dari rencana besar yang mesti kita revolusi. Inilah revolusi mental. Semua perilaku yang tak pantas (tak etis) dalam ukuran jabatan, organisasi, politik, hukum, sosial, pemerintahan maupun profesi sepatutnya tak perlu menunggu putusan hakim kecuali mundur.  Perilaku mundur dari jabatan setidaknya dapat mengurangi ketegangan publik, meredakan konflik vertikal dan horisontal, menghemat energi dalam polemik yang berlarut-larut, serta memberi kesempatan lega bagi kontinuitas organisasi pemerintahan. Karenanya, kita patut memberikan apresiasi tidak saja bagi pejabat yang mundur karena gagal menjalankan tugas dilapangan, juga pejabat yang tak sengaja menghilangkan ngantuk dengan cara menikmati situs pornografi saat sidang atau menanggalkan jabatan karena tersandung istri simpanan. Tak mundur dari jabatan memang tak melanggar hukum, namun cukup beralasan jika dianggap melanggar etika publik.  Hukum tak selalu tertulis. Inggris adalah contoh dimana hukum tak tertulis (unwriter constitution) tetap berlaku dan menjadi pondasi kuat bagi hukum tertulis.
Dengan demikian seorang pelanggar bisa jadi tak perlu masuk penjara, tetapi mengundurkan diri dari sebuah jabatan telah cukup menjadi hukuman sosial yang jauh lebih membekas seumur hidup. Mundur dari jabatan menggambarkan kecenderungan seseorang lebih mengedepankan etika sosial dibanding etika personal.  Bila kesadaran ini dilupakan, maka sebenarnya kita telah mengosongkan realitas hukum sosial yang tumbuh dalam masyarakat sebagai sumber hukum bermula. Dalam pengetahun hukum yang terbatas, hukum tanpa sentuhan sosiologi hanyalah hukum yang bersifat formalistik dan gampang mati di tengah perubahan sosial. Kita mesti merawat dan mengembangkan hukum sosial yang hidup dalam masyarakat agar dapat menyelesaikan masalah pelanggaran etis seperti kasus diatas secara fungsional. Pendekatan demikian setidaknya dapat menghidupkan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Bukankah membawa setiap masalah ke lembaga hukum formal lebih banyak  menghabiskan waktu, uang dan tenaga yang belum tentu memberi keadilan sebagai tujuan utama. Dalam perspektif teoritik, kelemahan hukum dalam aliran positivistik selama ini adalah kecendrungan melihat realitas masalah secara linier lewat kaca mata kuda, hitam putih, apalagi jika ia kehilangan sandaran dalam konteks sosiologis. Akhirnya, hukum hanyalah seperangkat aturan dalam bentuk undang-undang atau qonun yang mewujud dalam bentuk kurungan, denda, cambuk dan rajam, namun jauh dari upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan seseorang sebagaimana tujuan hukum itu sendiri. Pantaslah jika aliran post modernism mengingatkan kita tentang pentingnya melihat realitas sosial sebagai dinamika yang terus berkembang dan berubah-ubah, bukan sesuatu yang konstan sehingga dapat dibedakan mana hitam dan mana putih. Ruang kosong semacam inilah yang membutuhkan kajian lebih lanjut dari aspek etika pemerintahan guna menjadi petunjuk bagi siapapun yang bersentuhan dengan praktek-praktek pemerintahan dewasa ini. Inilah negara yang lama tegak di atas supremasi hukum namun kering dari praktek etika berpemerintahan. 



Komentar

  1. Memang mem-follow blog ini selalu sukses bikin pembaca setingkat lebih cerdas dan ngeh sama situasi terbaru indonesia. Mampir disini selalu bikin de javu, berasa lagi di blok terima kuliah. Kalau bapak masih ingat sma praja yg dlu excited banget dipinjami "taiko" dari bagasi mobilnya bapak sekalipun disteling seminggu harus balik, ato yg slalu heboh sma inez NTT17 pas di kelas, maka itu sya. Hahaaa

    Sekian lama follow, baru kali ini menjejak. Saya tetiba ingin request, mugi2 bapak berkenan membahas perihal perubahan uu pemda dari waktu ke waktu. Apalagi yg terakhir baru setahunan brojol sudah direvisi dua kali.

    Salam hormat.


    BalasHapus
  2. Trima kasih Asriani,..insya allah akan saya tulis sebagai sepecial request buat adinda yg lama tak basuo,....."Taiko"..hemm,..menegangkan...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian