Menemukan Kembali Akar-Akar Kekerasan di IPDN, Sebuah Kontemplasi


Oleh. Muhadam Labolo

Pertanyaan seorang civitas akademika soal darimanakah akar-akar kekerasan di IPDN pasca cut off rekrutmen Praja tahun 2010 menarik untuk diperbincangkan di tengah kasus pemukulan seorang Taruna Akmil yang hampir mengalahkan isu besar, Papa minta saham  Mama minta pulsa.  Rasanya saya ingin berkirim surat kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di Senayan, agar kasus yang sedang mereka tangani di buat lebih lama dan tegang sehingga letupan kecil di kampus IPDN tak meloncat jauh ke muka publik.  

Kembali ke pertanyaan diatas, seingat saya salah satu hasil rekomendasi tim investigasi pimpinan Ryaas (2007) menyimpulkan bahwa akar kekerasan pasca Wahyu Hidayat dan Clift Muntu di STPDN adalah tradisi yang diturunkan secara kolektif oleh sistem senioritas dari tahun ketahun.  Tentu saja jika kita telusuri lebih jauh kesimpulan tersebut menunjuk pada angkatan 1 sampai 13 (Kasus Wahyu Hidayat angkatan 14). 

Pasca sela selama dua tahun tanpa penerimaan Praja, angkatan 19 menjadi tonggak sejarah pertama yang dianggap dapat menurunkan tradisi clean violance pada generasi emas berikutnya. Selain itu, guna mengelola potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat terjadi, angkatan tersebut didistribusikan ke tujuh IPDN regional agar terpecah dan mudah kendalikan sekaligus dengan argumentasi ideal terdapat sentuhan lokal sesuai spirit otonomi daerah.  

Persoalannya, mengapa setelah cut off tersebut hingga angkatan 25 saat ini kekerasan tetap menjadi gejala umum di kampus IPDN? Hipotesa saya kiranya membutuhkan penelitian lanjutan dengan asumsi pertama, kemungkinan kekerasan dikontribusikan oleh sistem yang tak kondusif dengan sejumlah variabel dan indikator.  Atau kemungkinan dengan asumsi kedua, kekerasan tetap berlanjut seperti seri sinetron Turki dan Korea akhir-akhir ini akibat internalisasi nilai secara insidental. 

Menariknya, apakah akar-akar kekerasan tersebut ditradisikan kembali oleh seniornya secara hirarkhis atau dalam bentuk pemodelan sebagai pengasuh misalnya. Jika benar kekerasan dikontribusikan oleh sistem yang tak kondusif, kemungkinan variabel yang perlu dilihat adalah tujuan dan orientasi pendidikan di IPDN, pelembagaan aturan main serta struktur organisasi yang mendukungnya.

Tujuan dan orientasi pendidikan di IPDN pada dasarnya mewujudkan sosok aparatur sipil negara yang memiliki kemampuan dibidang pemerintahan umum.  Untuk menciptakan tujuan itu, setiap Praja dibekali tidak saja pengetahuan intelektual (pengajaran), mentalitas (pengasuhan), juga keahlian teknis (pelatihan) agar siap menjadi abdi negara dan abdi masyarakat. 

Dalam konteks ini level pengambil kebijakan sekaligus lapis pelaksananya harus benar-benar paham bahwa IPDN adalah sekolah Pamongpraja yang berbeda dengan Akmil sebagai sekolah Taruna Militer. Paradigma Taruna adalah semua orang yang berdiri dihadapannya diasumsikan musuh, sebelum seseorang membuktikan bahwa dirinya adalah kawan. 

Sebaliknya, paradigma Praja adalah semua orang yang berdiri dihadapannya diasumsikan sebagai kawan, sebelum seseorang membuktikan bahwa dirinya benar-benar musuh.  Metode berpikir Taruna cenderung pragmatis, rasional, logis, taktis dan strategis. Metode berpikir Praja diarahkan cenderung visioner, rasional, logis, strategis dan humanistik.  

Instrumen Taruna adalah senjata sebagai alat penunduk musuh, instrumen Praja adalah dirinya sendiri sebagai alat membangun kepatuhan masyarakat. Subjek Taruna adalah dirinya sendiri dengan prinsip berjuang hingga titik darah penghabisan.  Subjek Praja adalah dirinya sendiri dengan prinsip melayani masyarakat 24 jam, kapan dan dimana saja (all weather).  

Objek Taruna adalah musuh, objek Praja adalah rakyat.  Ilmu Taruna berkenaan dengan bagaimana membunuh musuh, ilmu Praja berkaitan dengan bagaimana menghidupkan rakyat lewat fungsi pemberdayaan. Orientasi Taruna bagaimana mencapai tujuan dengan segenap cara, orientasi Praja bagaimana menjalankan cara (proses) sebaik mungkin agar tujuan tercapai dengan baik.  Kegagalan pemahaman soal itu membuat kita seringkali keliru dalam membuat kebijakan hingga tak jelas output dan outcomes-nya.

Berkaitan dengan variabel pelembagaan, seluruh aturan main semestinya jelas dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bukan aji mumpung. Realitas selama ini menunjukkan terjadi kesenjangan dan diskriminasi pada sekelompok praja yang tak berduit dengan praja yang beruntung dilahirkan oleh kelas borjuis di daerah masing-masing.  

Kondisi ini melahirkan pesimisme akut dimana setiap civitas tak benar-benar percaya bahwa hukum di kampus benar-benar ada dan dijalankan dengan seksama (termasuk juklak dan juknis), kecuali untuk sekelompok praja yang tak memiliki akses kuat ke lorong kekuasaan di Medan Merdeka Utara. Apakah benar bahwa setiap aksi kekerasan telah memperoleh hukuman setimpal dengan cara dikeluarkan, terlepas siapa yang melakukan kekerasan dan objek mana yang menjadi korban kekerasan. 

Pada kenyataannya bisa berbeda-beda, bergantung mood pengambil kebijakan. Semasa kepemimpinan Suhajar Diantoro dari tahun 2013 hingga pertengahan 2015 terdapat 17 Praja dikembalikan ke Provinsi Maluku dalam bentuk skorsing, atau beberapa Praja ke Sulawesi Tengah dan Selatan akibat aksi kekerasan tanpa dipecat. 

Demikian pula seorang Pengasuh yang dikembalikan ke kampung halamannya akibat pembinaan yang melampaui batas. Para pengambil kebijakan nampaknya lebih merdeka dibanding hari-hari ini yang terkesan tertekan oleh tekanan militer.  Semua gejala tersebut cukup meyakinkan kita bahwa pasca kasus Clif Muntu (2007) kekerasan tidaklah mencapai statistik zero sebagaimana statemen spekulatif seorang pejabat dilingkungan IPDN. 

Harus diakui dengan jujur, IPDN sejak semula memang tak lepas dari gejala kekerasan, sekalipun bukan itu tujuannya, dan bukan itu pula objek yang diperkenalkan apalagi diajarkan dalam ruang kampus yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan pemerintahan mengajarkan bagaimana melindungi masyarakat sebagai salah satu fungsi pemerintahan, bukan sebaliknya. 

Terlepas pengetahuan ideal semacam itu, dalam kasus Praja memukul Taruna tentu saja nalar publik tak dapat menerima begitu saja, dengan logika bahwa kalau tentara saja yang paling disegani oleh polisi sekalipun mampu di gebuk, apatah lagi rakyat biasa yang akan berhadapan setiap saat dalam pelayanan masyarakat. 

Secara spiritualitas juga sulit diterima sebab agama manapun mengajarkan bahwa tamu yang berkunjung adalah raja yang sepatutnya dimuliakan, bukan sebaliknya. Memang, aksi kekerasan tidak melulu milik kampus kedinasan, sebab kekerasan juga jamak terjadi di level sekolah dasar, pertama, umum hingga perguruan tinggi ternama di negeri ini.  

Masalahnya, bagaimana manajemen kampus dapat dilakukan sehingga kekerasan semacam itu tak terulang dan menjadi pemandangan  tak elok sehari-hari.  Sejarah mengingatkan kita, Maret 1993 Praja STPDN pernah berkonflik dengan IKIP Bandung jurusan SGO sehingga menciptakan kesemrawutan dikedua belah pihak, namun akhirnya dapat diselesaikan dengan damai. 

Februari 2000 Mahasiswa IIP pernah berseteru dengan sekelompok mahasiswa dari Universitas Pancasila, namun semua beraahir dengan damai setelah para elit duduk mesra tanpa korban dikedua belah pihak. Di luar variabel itu struktur organisasi IPDN juga patut menjadi catatan dimasa mendatang, dengan unit terkecil yang hanya menyandang status UPT (Unit Pelaksana Teknis) sesuai Permendagri 43/2015, tentu saja perlakuan pada lembaga ini kurang serius dilakukan, padahal bobot urusan, cakupan pelayanan, jumlah personil, proporsi pembiayaan yang melampaui satu dirjen dilingkungan kemendagri seharusnya berdiri sebagai satu komponen.  

Dengan status seperti itu, wajar jika IPDN menjadi semacam Tempat Pembuangan Akhir (TPA) bagi sekelompok birokrat untuk memperpanjang masa pensiun sekaligus mengadu nasib siapa tau dapat durian runtuh menjadi guru besar. Uniknya, agar UPT kelihatan bergengsi dicarilah rektor yang dengan standar tinggi, padahal untuk level UPT sesuai ketentuan kepegawaian cukuplah dengan golongan 3D tanpa harus profesor, doktor, bahkan tak perlu jabatan lektor kepala. Maknanya, setiap dosen berpeluang bertarung lewat mekanisme rector elected system.  

Asumsi kedua bahwa kekerasan kemungkinan dipatrikan kembali oleh seniornya lewat pemodelan oleh struktur kepengasuhanan yang notabene dikuasai oleh senior yang pernah memperoleh tradisi kekerasan dimasa lalu boleh jadi dapat diterima. Internalisasi nilai lewat pemodelan yang dilakukan pelan tapi pasti pada akhirnya melahirkan sekelompok Praja nakal yang mencari lorong gelap nan sunyi sebagai tempat aman untuk menyalurkan kreativitas lewat pelajaran otodidak Silat, Taekwondo, Karate, Ju Jitsu dan Gulat traditional

Apabila asumsi itu benar lewat hasil penelitian serius, maka tesis yang mengatakan bahwa hanya dengan dipimpin oleh alumni-lah kampus ini akan semakin baik tentu saja pupus dengan sendirinya. Kalau demikian, tidaklah berlebihan apabila tentara masih saja menjadi pilihan alternatif paling menjanjikan untuk membangun mentalitas Praja di kampus IPDN daripada menyerahkan kembali nasib mereka di tangan mantan cleaning service seperti yang pernah kita protes tempo hari.  

Lalu apa yang keliru dengan jajaran pengasuh yang selama ini selalu menjadi kambing hitam?  Pertama, kualifikasi pengasuh penting untuk diteliti misalnya apa orientasinya menjadi pengasuh, darimana latar didiknya, kedewasaan dan tingkat pengendalian mentalnya. Jangan-jangan mereka juga sudah muak ditempat tersebut karena memang bukan disitu harapan mereka selama ini. Posisi tersebut pada akhirnya menjadi ladang penyaluran kekesalan. 

Kedua, penting diperhatikan pula masa depan jajaran pengasuh, ketidakjelasan karier selepas dua tahun bertugas dapat memicu ketidakpuasan pada objek yang selalu berhadapan dengan dirinya. 

Ketiga, pemilihan pengasuh ada baiknya dilakukan dalam satu mekanisme yang melibatkan civitas akademika agar asal-usul pengasuh dapat dideteksi sebelum terlambat memilih yang memang berbakat menjadi pelaku kekerasan seperti kasus dimasa lalu. Kita ingin mengurangi rasa kaget ketika menemukan ada pengasuh yang memiliki track record buruk semasa di kelas, sama seperti kita terkejut menemukan bekas petugas blok yang tiba-tiba menjadi dosen dan membimbing praja. 

Keempat, sistem yang buruk dan tak adil dalam lingkungan kampus juga dapat menjadi pemicu kekerasan dimana pengasuh dihadapkan pada bebalnya Praja yang merasa di back up oleh oknum pejabat tertentu. Fakta ini pernah terjadi antara tahun 2010-2012 ketika satu dua praja diperlakukan intim lantaran lahir dari rahim seorang pejabat setingkat sekjend. Jangankan tindakan senior dan pengasuhnya yang berlebihan, tindakan dosen dalam kelas yang otonom pun dapat mengakibatkan mutasi mata ajar dikala itu.

Lalu, apa yang mesti kita lakukan agar kampus tetap survive? Sekalipun saya berasumsi bahwa persoalan Taruna versus Praja sudah selesai, namun saya menyimpulkan bahwa kebangkrutan IPDN kedepan mungkin tidak lagi karena statatemn Ahok dan politisi di Senayan. Kemungkinan yang pasti kerontokan kampus disebabkan oleh persoalan internal yang tak kunjung selesai, dimana kitalah sebenarnya yang sedang menggali kuburan massal bagi almamater.  

Dalam jangka panjang kini terlihat, dengan jumlah Praja yang akan diterima tahun ini hanya sebanyak 500 orang, kemungkinan dalam dua tahun kedepan IPDN regional harus segera di tukar-guling karena ketiadaan mahasiswa. Konsekuensinya pembiayaan akan menurun, akan terjadi restrukturisasi kelembagaan dan personil, ini akan mendorong nilai competitivness, dimana dosen, pelatih dan pengasuh tak bermutu segera dirumahkan kalau tidak dikantorkan ke BPMD Kalibata. 

Bagaimana nasib IPDN Regional? Kemungkinan kembali ke kampung halaman masing-masing, gulung tikar atau sekalian pensiun dini. Disarankan agar penyelesaian akar-akar masalah di atas dilakukan menurut logika yang sehat, bukan lewat ruwatan sebagaimana usul sebagian birokrat klenik pemelihara batu akik akibat keputusasaan melihat problem IPDN yang terus-menerus mendera tak henti-hentinya.  

Jujur saja, saya juga percaya soal dualitas alam macro-cosmos dan micro-cosmos, namun pendekatan yang hanya merajuk pada kegaiban tanpa laku usaha yang konkrit sama saja menyerahkan sebagian anggaran APBN yang tak sempat dihabiskan IPDN pada sekelompok Jin dan Jun ‘penjaga’ alam Jatinangor yang belum tentu memberi jaminan keselamatan fiddunnia wal akhirah daripada membayarkan SPPD dosen yang kian terlunta-lunta. 

Kalau toh benar bahwa ruwatan dapat memperbaiki hubungan yang katanya sempat terganggu akibat kurangnya silaturahmi selama ini, namun bagaimanakah menjamin semua peristiwa diatas tak akan terulang kembali jika pemegang pucuk tertinggi di kampus lebih sibuk melayani yang jauh namun lupa melayani dosen, pengasuh, pelatih dan Praja yang paling dekat? 

Ibarat Jenggot, akar kita terlalu kuat keatas, namun lemah menjulur kebawah.  Saran praktisnya adalah marilah kita kembali pada fitrah sebagai lembaga kedinasan sipil sambil mendalami makna revolusi mental yang kian paradoks dengan perilaku kita.  Kalau kita sadar bahwa ini lembaga sipil, maka bergayalah dengan simbol-simbol sipil, bukan memadainya dengan simbol lembaga lain.  

Mengapa kita tidak percaya diri? Kita memang perlu disiplin dan loyalitas, namun tidak dengan satu-satunya cara. Ada banyak jalan ke Roma. Jikalau kita menyadari bahwa kita adalah perguruan tinggi dengan status institut, maka kembalilah ke jalan yang benar, bukan beralih ke pakaian lembaga lain. 

Apabila kita menyadari bahwa kita adalah pelayan masyarakat, maka marilah kita mencoba membangun performa Praja sebagai calon aparat sipil sesuai kriteria yang membedakannya dengan Taruna Militer (lihat pembedaan diatas).  Pada titik tertentu saya juga berpikir, barangkali si Taruna sebagai korban kekerasan tadi di pindahkan menjadi Praja IPDN, agar mental melambung-nya dapat dikendalikan lewat pengetahuan hierarkhi dalam birokrasi Weber. 

Sebaliknya, 5 Praja yang kebetulan bernasib apes tersebut ada baiknya dimutasi ke Akmil, nampaknya struktur genetika kelimanya lebih cuocok menjadi tentara daripada menjadi pelayan masyarakat di kampung-kampung nun jauh dimata. Inilah pertukaran yang paling logis menurut saya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian