Memaknai Kembali Latar Filosofi Pamongpraja



Oleh. Muhadam Labolo

          Dalam sebuah kesempatan bersama beberapa Praja, kami berkenan menghadiri undangan rutin Akademi Jakarta yang diadakan di Taman Ismail Marzuki (September 2015). Seperti tahun-tahun sebelumnya, undangan kami terima lewat sekretaris panitia Pak Abu Hasan Asyaari, satu-satunya dosen filsafat IPDN yang sayangnya tahun ini memasuki masa pensiun. Tema tahun ini dalam kaitan Memorial Lecture Sutan Takdir Alisjahbana adalah Budaya dan Spiritualitas dengan pembicara tunggal Prof. Dr. Toeti Heraty N. Roosseno.  Sambutan dibuka oleh Prof. Taufik Abdullah selaku Ketua Akademi Jakarta. Pengantar biografi oleh Dr. Karlina Supelli, seorang staf pengajar Program Pasca Sarjana Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Tahun lalu beliau mendapat kehormatan menjadi narasumber utama sekalipun saya tak sempat hadir. Walau demikian saya cukup takjub, sebab beliau awalnya seorang Fisikawan yang kemudian mengalami loncatan ziq zaq menuju The Mother of Science, filsafat ilmu di level pasca sarjana. Apakah bagian penting dalam percakapan ilmu yang perlu saya bagi dalam rubrik kali ini? Tentu saja hal terpenting yang menyadarkan saya adalah skema sosok filsafat dan sosok manusia Indonesia yang ditampilkan dalam salah satu diagram sebagaimana tercantum pula pada Dictionnaire des Philosophes (DdPh) yang diterjemahkan kedalam Bahasa Perancis oleh H. Chambert-Loir. Dari 15 entri filosof yang ditampilkan terdapat paling tidak tiga nama yang tak asing bagi ilmuan sosial Indonesia yaitu Yosodipura (1729-1830), Pakubuwono (1768-1820) dan Ranggawarsita (1802-1873). Ketiganya ditulis oleh Abdullah Ciptoprawiro. Yosodipura memiliki basis orientasi spiritual tentang Dewa Ruci dan Kepemimpinan Hasta Brata dalam sistem feodalistik. Pakubowono mempunyai orientasi spiritual ajaran Wulang Reh dan kepemimpinan. Sedangkan Ranggawarsita berorientasi spiritual wirid budaya jati, hasta brata, manusia insan kamil, serta ramalan zaman edan.  Menariknya, dua terminologi dalam orientasi spiritual diatas yaitu Hasta Brata dan ajaran Wulang Reh kepemimpinan adalah konsep penting dalam konteks sejarah pengembangan ide Kepamongprajaan di Indonesia.  Di IPDN sendiri, nilai-nilai Hasta Brata telah menjadi bagian dalam kurikula, diaplikasikan lewat pembentukan sifat-sifat alam yang maha luas, serta pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai Pamongpraja Muda.  Sedangkan ajaran Wulang Reh adalah salah satu kekayaan sastra Jawa Kuno tentang kepemimpinan yang dikembangkan dalam lingkungan keraton seperti Abdi Dalem, Pangrehpraja, Pagarpraja, hingga Pamongpraja. Konsep-konsep tersebut secara evolutif mengalami perubahan dan pergeseran makna sesuai perkembangan dan dinamika masyarakat.  Dinamika masyarakat mengubah pula pola relasi antara mereka yang memerintah dan yang diperintah. 
Dalam serat Wulang Reh[1], term Pamongpraja dapat ditelusuri menurut sastra Jawa. Wulangreh merupakan kitab yang di desain bagi para calon pemimpin atau penguasa. Wulang berarti pelajaran, Reh bermakna penguasa atau pemimpin.  Karya ini dijadikan kurikulum rujukan untuk mengendalikan hawa nafsu para penguasa seperti pemahaman halal-haram, hidup sederhana, tidak sombong, loyal pada negara, tidak berwatak pedagang, rendah hati dan adil. Tujuannya jelas agar tak kehilangan arah dalam menjalankan roda pemerintahan[2]. Dalam birokrasi Jawa kita mengenal istilah Pangrehpraja dan Pamongpraja.  Makna Pangreh (Pang[3] dan Reh) menunjuk pada kekuataan penguasa atau pemimpin. Praja sendiri memiliki arti rakyat kebanyakan, publik, Jama’ah, masyarakat atau mereka yang dilayani.  Dalam konteks normatif, istilah Praja identik dengan pegawai pemerintahan, pegawai negeri sipil (civil servant)[4]. Istilah ini jelas berbeda dengan kata Raja yang menunjukkan arti sebaliknya, sebagaimana kecurigaan masyarakat terhadap istilah Praja yang seolah-olah akan dididik menjadi Raja di IPDN. Apabila diartikan bebas, Pangrehpraja lebih merujuk pada pejabat yang secara politik memiliki derajat kekuasaan tertentu.  Berbeda dengan istilah Pamong yang merujuk pada kata among, ngemong atau momong. Istilah ini menurut Nurdin (2010)[5] merupakan kata yang bersifat multidimensional, seperti kata mengemong anak atau mengasuh anak kecil. Dalam perspektif pragmatis, Tursandi (2010) menambahkan, istilah Pamong paling tidak menekankan pada seorang pelayan publik yang harus memiliki kemampuan me-ngemong (melayani), ngomong (berkomunikasi) dan siap di-omong (dinilai). Dalam kaitan itu Pamongpraja secara umum diartikan sebagai pegawai negeri yang mengurus pemerintahan negara. Maknanya, birokrasi Jawa di bentuk untuk melayani rakyat sebagaimana mengasuh anak, penuh perlindungan dan kasih sayang selama kapanpun. Jadi, birokrasi Jawa secara substansial mengalami pergeseran dari makna Pangrehpraja yang menitikberatkan pada pola kekuasaan atau kepemimpinan (bersifat dilayani), kearah Pamongpraja yang menitikberatkan pada pola pelayanan kepada masyarakat (bersifat melayani). Sifat melayani itu secara hakiki merupakan esensi dari pengabdian yang tulus pada Yang Maha Kuasa. Pelayanan dalam teologi kristiani berhubungan dengan penyerahan diri pada Yang Maha Kuasa. Dalam teologi Islam sifat melayani adalah kepasrahan pada kekuasaan Al-Khalik semata, sebab tak ada satupun benda di dunia ini milik makhluk, semuanya milik Allah (Q.S. Al-Baqoroh, 156 dan 284).  Jika kita sepakat bahwa semua hal di dunia ini milik Tuhan, maka sifat kepemilikan yang berlebihan semestinya dapat dikurangi.  Dengan kesadaran itu maka semestinya yang perlu ditumbuhkan dalam diri seorang Pamongpraja adalah kesadaran untuk melepas rasa kepemilikan yang berlebihan.  Sifat ini terkadang melampaui dalam bentuk ketersinggungan angkatan, korps, agama, ras, suku dan latar belakang budaya sehingga menciptakan konflik.  Mengurangi rasa kepemilikan yang berlebihan dapat mendorong setiap Pamongpraja pada sifat alamiah manusia, yaitu rasa tolong-menolong atau gotong-royong. Gotong-royong sendiri adalah dasar ekasila yang diperas Soekarno dari Trisila dan Pancasila. Mengurangi rasa kepemilikan bermakna membatasi ambisi berlebihan atas keinginan materi dan kekuasaan dalam pemerintahan. Kehidupan dalam rasa kepemilikan yang berlebihan mendorong kita dalam pusaran memburu sebanyak mungkin harta kekayaan dengan cara tuna-moral serta menguncinya rapat-rapat dalam lemari besi agar tak dirampas orang lain. Jika berkurangnya rasa kepemilikan yang berlebihan telah mendorong masyarakat dimasa lalu untuk saling tolong-menolong, kini berlebihnya rasa kepemilikan telah mendorong manusia untuk hidup menyendiri (ter-alienasi) dengan ciri yang dapat dilihat secara gamblang, nihilnya aktivitas gotong-royong, rumah dengan pagar setinggi mungkin, hilangnya kepedulian, serta rentannya konflik akibat merasa terancam kepemilikannya oleh orang lain.  Realitas tersebut tampaknya lebih tertuju pada masyarakat birokrasi sebagai bagian dari middle class yang juga menjadi habitat Pamongpraja dewasa ini. Malangnya, mereka seperti sedang menjumpai zaman edan sebagaimana catatan Ranggawarsita dalam Serat Kalathida dari kakeknya Yosodipura (Serat Centhini), yaitu suatu kondisi dimana birokrasi kita berada dalam pikiran serba ragu, mau ikut edan, tidak ikut-ikutan justru tidak kebagian, ujung-ujungnya kelaparan. Namun, seberuntung-beruntungnya orang yang lupa, tentu saja masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada. Maka, waspadalah, waspadalah,.....


[1] Wulangreh, adalah karya istimewa gubahan Susuhunan Pakubuwono IV dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Lihat Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, Gramedia, Jakarta, 2010:244.
[2] Pardi Suratno, Sang Pemimpin Menurut Astabhata, 2009. Lihat juga narasi dalam http:/www.heritageofjava.co/art/sastraj jawa/Asthabrata.htm, oleh Wawan Susetya, Kepemimpinan Jawa, Jogjakarta, 2007. Demikian pula Agung Webe, Javanese Wisdom, Berpikir dan Berjiwa Besar, Yogyakarta:Indonesia Cerdas, 2007.
[3] Sejauh ini tak ada satupun sumber yang menerangkan makna Pang dalam kata Pangreh, atau makna ”P” dalam kata Pamong.  Apakah ia identik dengan Panglima, atau merujuk pada pemilik tertinggi dari kekuasaan itu sendiri, wawlahu alam bissawab.
[4] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2005.
[5] Ismail Nurdin, Quo Vadi Pamong Praja, Makalah, IPDN, 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian