Identifikasi Problem Perencanaan Pembangunan, Menjaga Konsistensi Visi Pemerintahan Daerah[1], (Sebuah Catatan Untuk Musrembang DKI Jakarta)
Oleh. Dr. Muhadam Labolo[2]
Pengantar
Musrembang
Beranjak dari sesi diskusi terbatas (scientific traffic) tanggal 6 Februari
2015, seorang pakar pemerintahan menilai bahwa performance pemerintahan dewasa ini terkesan berjalan ‘day to day’. Argumentasinya bahwa semua
investasi politik yang diperoleh sebagai hasil blusukan sejauh ini belum mampu dirumuskan secara jelas menuju visi
jangka panjang. Tanpa perencanaan pembangunan yang matang, pemerintahan dapat kehilangan
arah dikarenakan kebijakan diproduk berdasarkan respon sesaat (instingtif) sebagaimana obat penurun
panas atau sejenis makanan siap saji pengganjal perut. Dalam jangka pendek
mungkin saja sejumlah persoalan yang bersifat insidentil selesai di atas
permukaan, namun tak menjamin persoalan esensial dapat terselesaikan hingga ke
akar masalah dalam jangka panjang. Terlepas dari kritik konstruktif semacam
itu, dan dengan segera menyadari bahwa realitas Indonesia yang kompleks
dibandingkan dengan negara lain di Asia, saya pikir alangkah lebih baiknya jika
kita memulai dengan menjaga konsistensi visi Jakarta sebagai Ibukota Negara
Republik Indonesia menuju Kota Modern sesuai visi dan misi yang ditetapkan oleh
kepala daerah terpilih tempohari. Pikiran itu dilandasi oleh dua alasan
sederhana, yaitu Jakarta sebagai representasi Ibukota Negara, sekaligus
barometer dalam semua dinamika aspek kehidupan politik, ekonomi dan sosial
budaya. Disisi lain merawat visi jangka panjang sama halnya dengan
menyelamatkan masa depan bangsa, menjaga kontinuitas pembangunan, serta
menjamin peradaban dalam arti luas. Bagi para pemimpin yang memiliki jangkauan
panjang semacam itu seringkali dinilai sebagai kelompok negawaran yang kini
langka ditemukan di negeri ini. Tentu saja dibanding Soekarno atau Lee Kuan Yew
yang dianggap memiliki visi, dewasa ini kita akan lebih mudah menemukan
politisi yang berpikir jangka pendek daripada menjaminkan dirinya bagi
kepentingan jangka panjang.
Jika visi Jakarta masih kita sepakati sebagai kota modern yang tertata rapi, menjadi
tempat hunian yang layak dan manusiawi, memiliki masyarakat yang berkebudayaan dengan
pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik,[3]
maka pertanyaan pentingnya adalah adakah kota pembanding sebagai standar kota
modern, memiliki hunian yang layak dan manusiawi, berkebudayaan dan berorientasi
pada pelayanan publik? Apakah kota-kota seperti Singapura, Kualalumpur,
Bangkok, Sidney, New York atau Paris dapat dianggap sebagai kota modern yang
memenuhi semua variabel diatas? Tentu saja kita dapat berdebat dari berbagai
aspek, namun secara umum kita setuju bahwa kota-kota tersebut (sekaligus
menjadi Ibukota Negara) memiliki standar sebagaimana dimaksud, sekalipun dari
aspek budaya tentu saja sangat bergantung pada karakteristik masyarakat kota
masing-masing. Bagi saya sendiri, yang pokok adalah bagaimana mengawal visi
Jakarta agar konsisten mencapai tujuan yang diinginkan. Diluar itu, kendatipun
dinamika antara eksekutif dan legislatif di DKI Jakarta mengalami pasang-surut
akhir-akhir ini, semestinya tak melupakan visi bersama yang ingin dicapai oleh
pemimpin dan warganya. Bahkan, dinamika semacam itu patut diarahkan dan
sekaligus menjadi titik balik kesadaran bersama bagi semua stakeholders untuk bagaimana agar semua perencanaan di Provinsi DKI
Jakarta tetap fokus pada visi dan misi awal. Maknanya, semua program dan kegiatan
pada lapangan praktikum dari Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu hingga
jantung Kota Jakarta Pusat harus konsisten dengan visi dan misi yang telah
ditetapkan dalam 5 hingga 20 tahun kedepan sesuai kerangka perencanaan nasional
dan daerah. Tanpa pengawalan yang ketat terhadap visi semacam itu, maka kesan day to day dapat melanda juga
pemerintahan di tingkat lokal. Di etape
pertama pemerintahan seringkali kita serius dengan visi dan misi yang
dipancangkan, namun ketika memasuki lapangan implementasi semua gagasan yang
menjadi tumpuan dan harapan warga tampak jauh panggang dari api, pemerintahan
terkesan kehilangan arah, amnesia, autisme, bahkan terjebak ‘pertengkaran
politik’ yang bukan saja tak berujung pangkal, juga tak produktif bagi harapan
warga. Sebab itu, momentum Musrembang ini sangatlah strategis dengan sejumlah
pilihan rencana yang bersifat possible
dan imposibble, yang realistis dan
tak realistis, yang pragmatis dan ideal, yang private dan yang public,
yang berdurasi jangka pendek dan jangka panjang, yang patut dan tak patut, yang
rasional dan irrasional, dan yang wajar dan tak wajar. Dengan sifat seperti
itu, maka semua etape yang dilalui dalam mekanisme perencanaan membutuhkan
seleksi, masukan dan kritikan agar perencanaan menjadi lebih possible, realistic, ideal, berorientasi publik, berjangkauan jauh kedepan,
patut, rasional dan wajar dari perspektif yuridis formal.
Pada titik
ini, saya kira semua penyusunan rencana kegiatan dan program melalui Musrembang
diberbagai daerah pada tingkat teknis setidaknya berhadapan dengan sejumlah
masalah pokok. Pertama, perencanaan daerah secara internal belum konsisten
antara Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dengan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD). Kedua, secara eksternal perencanaan daerah belum terkoneksi dan
jauh dari visi perencanaan makro pemerintah nasional. Ketiga, pada derajat
terbawah sebagai pemetik manfaat atas semua produk kebijakan akhir muncul
semacam sikap apatisme akibat
sulitnya membuka katup bagi kanalisasi kepentingan masyarakat. Sejumlah form yang telah disediakan dan bahkan
ditandatangani sebagai pengikat atas konsensus antara perencana dan warga
lenyap tak membuahkan hasil ditingkat implementasi akhir. Keempat, ketiadaan
mekanisme baku dalam proses tindak lanjut (Pemda dan DPRD) pasca evaluasi
perencanaan di level atas (Provinsi dan Pusat) menjadikan pola penyelesaian
perencanaan seringkali mengalami distorsi
pada tingkat implementasi. Tak terkecuali DKI Jakarta, sejumlah ketegangan
antara eksekutif (Pemda) dan legislatif (DPRD) diberbagai daerah adalah
indikasi awal. Kelima, lemahnya kemampuan sumber daya perencana mengakibatkan
perencanaan di daerah bersifat tambal sulam dan copy paste (copas) dari rutinitas tahun sebelumnya. Akibatnya sulit
menemukan perencanaan yang bersifat monumental yang dapat dinikmati warga di
antara sesi pergantian rezim lokal. Keenam,
lemahnya pengawasan mengakibatkan perencanaan di daerah tak memenuhi standar
pada tingkat implementasi. Pengawasan strategis sebenarnya berada pada tahap
perencanaan, sayangnya asumsi pengawasan selalu dianggap sikuensi setelah planning, organizing dan actuating. Ketujuh, orientasi
perencanaan bersifat ‘memelihara kegiatan rutin’ agar tak kehilangan pekerjaan.
Dampaknya, pemerintah daerah lebih pada konteks ‘merawat masalah’ dan bukan
menyelesaikan masalah. Kedelapan, orientasi kegiatan
cenderung terjebak pada aktivitas ‘menghabiskan anggaran’ secepat-cepatnya,
bukan meningkatkan kualitas pembiayaan itu sendiri. Akibatnya program dan
kegiatan terkesan ringan tanpa bobot yang pada akhirnya mendegradasi
kepentingan warga jangka panjang.
Menjaga
Konsistensi Visi Melalui Musrembang
Dalam perspektif kebijakan publik, perencanaan
hanyalah salah satu mekanisme dalam proses perumusan kebijakan (lihat misalnya implementasi
kebijakan, analisis kebijakan maupun evaluasi kebijakan oleh Grindle,
Van Horn & Van Metter, Edward III, Jones, Thomas R Dye, Wayne Parson, Riant
Nugroho atau Muchlis Hamdi). Secara politik, perumusan kebijakan (perencanaan)
diperlukan untuk memberi landasan rasional atas sejumlah gagasan politik jangka
panjang kearah tujuan kepentingan umum (Djopari,2001). Tanpa perencanaan yang
matang sebuah gagasan politik seringkali berakhir dengan tragis, dimana pelopor
gagasan kehilangan legitimasi dan trust dari masyarakat. Parahnya,
kelemahan politisi seringkali banyak melempar ide dan gagasan yang muncul
sekonyong-konyong hingga menjadikan birokrasi sebagai instrumen dalam
mengoperasionalisasikan gagasan kelimpungan di tengah jalan (gagasan impossible). Sebagian yang masuk diakal
(rasional) berubah menjadi kebijakan yang berkualitas, sebagian lagi terkadang
menjadi bumerang dalam bentuk
kebijakan yang buruk. Dampaknya tidak saja bagi masyarakat sebagai pemetik manfaat
akhir, demikian pula birokrasi sebagai ‘mesin’ yang mendesain kebijakan itu
sendiri. Tujuan perencanaan pada dasarnya untuk menjamin kestabilan aktivitas
guna merespon tantangan kedepan yang bersifat tak menentu (unpredictable). Keadaan yang tak menentu atau berubah-ubah tadi
sebaiknya dibingkai agar relativitasnya tak bergeser jauh dari prediksi yang
telah ditetapkan lewat perencanaan. Oleh
sebab objek yang dihadapi adalah kumpulan individu dalam suatu masyarakat luas yang
sangat dinamis sehingga dibutuhkan fleksibilitas dalam hal tertentu, tidak rigid seperti robot. Itulah mengapa
perencanaan pembangunan harus lebih manusiawi sebagaimana visi Jokowi ketika
menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Perencanaan yang baik mesti dimulai
dari visi yang cemerlang (Alfian, 2010). Visi seringkali lahir dari mimpi yang
mengandung spirit dan kompetitif. Spirit yang cerdas dapat mengandung banyak
nilai, seperti nilai spiritual. Sebuah gagasan yang lahir dari mimpi spiritual Yusuf
As misalnya telah melahirkan kebijakan dalam bentuk perencanaan jangka panjang
ketika Mesir dilanda paceklik selama tujuh tahun (Q.S.Yusuf). Hanya dengan
perencanaan yang matang Pemerintah Mesir mampu menyelamatkan bangsanya dari
kelaparan yang tak menentu kala itu. Perencanaan pangan yang cerdas dapat
menghemat logistik dimasa mendatang. Diluar rencana Tuhan, Nuh As dapat
mengantisipasi banjir Bandang hingga mampu menyelamatkan berbagai spesies
mahluk hidup. Pemerintah dan masyarakat dilingkungan Nabi Nuh As gagal
mengantisipasi banjir terbesar dalam sejarah umat manusia ketika itu. Diluar
ancaman Kaum Quraisy dan Bani Israil, sebenarnya migrasi Muhammad SAW dan Musa
As telah mendorong berkembangnya kota-kota yang lebih kompetitif dan menarik
seperti Madinah dan Palestina dimasa itu. Sejarah spiritual di atas semestinya
menjadi sumber inspirasi bagi pemerintah dalam mengantisipasi kelangkaan pangan
dewasa ini. Dengan perencanaan yang matang Indonesia seharusnya tak perlu
bergantung beras, kedelai, gula, daging, sayur dan buah dari negara lain. Dalam
konteks banjir misalnya, Pemerintah DKI Jakarta mesti belajar dari nilai
spiritual perencanaan jangka panjang Nuh As yang mampu menyiapkan kapal diatas
bukit dan dikerjakan bertahun-tahun sebelum banjir melanda negerinya. Demikian pula
Belanda, dimana sejak Desember 1973 telah menyelesaikan Master Plan for Drainage and Flood Control of
Jakarta" (Prof.H.
Van Breen dari Burgelijke Openbare Werken/BOW)
untuk mengantisipasi banjir lewat penyelesaian projek Banjir Kanal Timur (BKT).
Soal kepadatan penduduk Jakarta memang rasanya kurang manusiawi jika dilakukan
lewat kebijakan yang bersifat pembatasan, mengusir seperti jaman para Nabi
tentu sulit dilakukan, namun dengan berbagai strategi perencanaan jangka
panjang dan terintegrasi dengan berbagai sektor dan daerah penyangga, bukan
mustahil problem demografi yang tumbuh bak deret hitung di Jakarta dapat dikendalikan.
Inilah visi jangka panjang, bukan kerja day
to day.
Disisi lain perencanaan berkaitan erat
dengan persoalan efisiensi dan efektivitas. Sayangnya, efisiensi dan
efektivitas lebih ditekankan pada sejumlah program dan kegiatan yang menyentuh
kebutuhan masyarakat kelas bawah (alit), sementara alokasi bagi kepentingan kelas
atas (elit) seringkali menihilkan prinsip efisiensi dan efektivitas. Akibatnya,
di tingkat atas penuh kemewahan seperti terlihat dalam pemberian fasilitas bagi
pejabat tertentu, termasuk Down Payment
(DP) cicilan mobil dinas, ketimbang memberi keleluasan kredit tanpa anggunan
bagi kebutuhan masyarakat kelas bawah guna mengembangkan usaha ekonomi kecil
dan mikro misalnya.[4]
Agar perencananaan dapat mengikat
secara bulat dan merepresentasikan kehendak pemimpin dan masyarakatnya, kiranya
diperlukan suatu mekanisme perencanaan sebagaimana terlihat dalam praktek
selama ini yaitu, pola perkawinan perencanaan top down dan bottom up
planning (Sabatier & Mazmanian, 1986). Mekanisme perencanaan
teknokratis semacam ini setidaknya dapat merangsang partisipasi masyarakat luas
untuk terlibat dan bertanggungjawab atas masa depan mereka dalam bentuk serapan
Aspirasi Masyarakat (Jaring Asmara). Perencanaan semacam ini mengindikasikan
suatu kontrol yang ketat dari tingkat paling bawah (desa/kelurahan) hingga
level puncak pemerintah nasional (Musrembangnas). Kontrol itu setidaknya dapat mengendurkan
tekanan atas gagasan pemimpin semata yang dapat mengukuhkan sifat otoritarianisme.
Lewat integrasi perencanaan antara ‘atas’ dan ‘bawah’ diharapkan lahir
perencanaan yang padu dari kemauan masyarakat, bukan semata-mata kepentingan
pemerintah (Nurcholis,2010). Produktivitas demikian akan menumbuhkan janin
pembangunan yang mampu menjamin kepentingan semua orang. Kegagalan mekanisme
perencanaan yang bersifat formalistik dalam bentuk Musrembang dari tingkat
bawah hingga puncak kekuasaan selama ini telah menciptakan sikap apatisme masyarakat. Sikap ini kemungkinan
tumbuh disebabkan oleh keseluruhan aspirasi yang tumbuh dari bawah seringkali
menemui ‘tembok’ kokoh sehingga tak mengalir sebagaimana output perencanaan
dalam konsepsi idealnya. Ibarat kegagalan berjuta-juta sperma ketika menuju titik ovum,
aspirasi masyarakat seringkali kehilangan kanalisasi sehingga yang tersisa
hanyalah sejumlah projek sebagai hasil akhir dari kompromi singkat elit dan
birokrasi.
Identifikasi
Problem Perencanaan Pemerintah daerah
Dalam pengamatan saya sebagai pendamping
diberbagai daerah pada penyusunan rencana pembangunan daerah untuk 5 hingga 20
tahun kedepan, tampak bahwa daerah tak mampu mempertahankan konsistensi
perencanaan jangka pendek (RKPD) dan menengahnya (RPJMD) kedalam bingkai
perencanaan jangka panjang (RPJP). Jika persoalan pertama secara internal
pemerintah daerah mengalami diskontinuitas perencanaan seperti itu, maka persoalan
kedua
secara eksternal perencanaan daerah juga tak begitu terkoneksi dengan sejumlah
isu strategis yang ditetapkan pemerintah pusat. Pada soal pertama dapat
dikenali lewat kasus Uninterrutible
Power Supply (UPS) tahun 2014 di DKI Jakarta. Ini
adalah contoh nyata bagaimana das sain
dan das sollen mengalami kesenjangan
yang lebar.[5] Perencanaan semacam itu
jelas selain tak aspiratif juga tak produktif dalam bingkai wacana perencanaan
yang demokratis, aspiratif, efisien dan efektif. Contoh soal kedua adalah visi Revolusi Mental dan sejumlah isu
strategis yang dituangkan dalam sistem perencanaan daerah setiap tahun lewat
aktivitas rutin penyusunan rencana pembangunan tak sepenuhnya tergambarkan
dengan gamblang dalam dokumen perencanaan tahunan daerah. Dalam kasus tertentu
sejumlah daerah yang belum menyelesaikan dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD) mendorong lahirnya kreativitas ambisius berdasarkan
pesanan dan kemauan elit lokal yang sewaktu-waktu dapat berubah sesuai daftar
keinginan (list service), dan bukan perencanaan
yang relatif kekal sesuai kebutuhan masyarakat jangka panjang. Ketiga,
problem perencanaan daerah seringkali terjebak pada ritual formalistik sehingga
masyarakat bersikap apatis dalam siklus
tahunan pengajuan program dan kegiatan. Realitas menunjukkan masyarakat dipaksa
menyodorkan usulan sebanyak-banyaknya pada tahap perencanaan awal (Musrembang
Tingkat Kecamatan), namun dari sekian banyak usulan yang lolos pada tingkat
berikutnya hanya 10-30 %. Selanjutnya secara hierarkhis usulan tersebut
mengalami seleksi (buatan) hingga tersisa 1-5%, atau bahkan tak tersisa sama
sekali hilang ditelan perdebatan yang lebih elitis di puncak kekuasaan. Kejenuhan
demikian membuat prosesi Musrembang di sebagian daerah terpenuhi secara
kuantitatif, namun kosong secara kualitatif. Masyarakat jenuh dan bosan
mengajukan program dan kegiatan hingga menyerah pada keputusan birokrasi yang
tak jelas berujung kemana (dark ending).
Keempat,
ketiadaan mekanisme baku dalam proses tindak lanjut (Pemda dan DPRD)
pasca evaluasi perencanaan di level atas (Provinsi dan Pusat) menjadikan pola
perbaikan (revisi) perencanaan seringkali menimbulkan ketegangan antara
eksekutif dan legislatif. Faktanya hasil evaluasi baik berbentuk revisi redaksional
maupun subtantif tak memiliki mekanisme yang jelas sehingga tanggungjawab
revisi pada akhirnya didominasi oleh eksekutif tanpa melibatkan DPRD. Kondisi
ini seringkali memicu kontraksi di internal DPRD hingga menimbulkan ketegangan.
Kekosongan mekanisme ini telah menciptakan konflik laten antara DPRD dan Pemda sebagaimana
puncaknya di DKI Jakarta (Jan-Feb, 2015). Kelima, lemahnya kemampuan sumber
daya perencana mengakibatkan perencanaan di daerah bersifat tambal sulam dan copy paste (copas) dari rutinitas tahun
sebelumnya. Akibatnya sulit menemukan perencanaan yang bersifat monumental di setiap
pergantian rezim lokal. Perencanaan rutin menciptakan lapisan kegiatan yang
bertumpuk dari tahun ketahun tanpa kreativitas dan alternatif lain. Tanpa
gagasan besar yang dapat dicairkan secara teknis menjadikan daerah dalam setiap
periode kehilangan momentum kearah perubahan fundamental (pencapaian visi)
kecuali terkuras pada aktivitas rutin yang menyerap energi. Jika RPJPD (20
tahun) kita jadikan visi, maka idealnya RPJMD (5 tahun) menjadi 4 periode
penting guna menopang tercapainya visi. Pada sisi lain RKPD (1 tahun) berperan
menjadi penyangga teknis bagi tercapainya RPJMD. Dengan demikian tersusunlah suatu perencanaan
yang terintegrasi dan simultan dalam kerangka yang saling menopang dan
menguatkan rumah tangga daerah. Hilangnya pola perencanaan demikian
mengakibatkan setiap penopang ibarat pasak tak menembus tiang bangunan. Gejala
ini membuat perencanaan terkesan berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain.
Akhirnya upaya pencapaian visi dalam 20 tahun bukan membangun berturut-turut
pondasi, tembok, rangka, dinding dan atap, namun selama waktu itu (20 tahun) pemerintah
daerah hanya menyelesaikan pondasi. Keenam,
orientasi perencanaan bersifat ‘memelihara kegiatan rutin’ agar tak kehilangan
pekerjaan. Dampaknya, pemerintah daerah (baca; birokrasi daerah) lebih giat
‘merawat masalah’, bukan menyelesaikan masalah. Perawatan masalah merupakan
gejala umum yang cenderung dilakukan birokrasi untuk mempertahankan program dan
kegiatan yang dianggap menguntungkan. Menyelesaikan masalah hingga tuntas sama
halnya menghilangkan peluang memperoleh projek berikutnya. Pola pikir semacam itu
pada akhirnya membuat desain perencanaan mengalami stagnasi, kehilangan
kreativitas dan inovasi dalam menyelesaikan masalah publik (public problem). Dalam jangka panjang birokrasi bertambah manja,
lamban, pemalas dan gagap informasi karena sebagian besar implementasi
perencanaan dikerjakan dan diambil alih kontraktor dan konsultan. Dengan
kelemahan itu birokrasi mudah terjebak dalam celah korupsi (Labolo, 2010). Ketujuh,
orientasi perencanaan kegiatan cenderung terjebak pada aktivitas ‘menghabiskan
anggaran’ secepat-cepatnya, bukan meningkatkan kualitas pembiayaan itu sendiri
(Ndraha, 2003). Pola ini terjadi tidak saja disebabkan oleh faktor internal
sumber daya aparatur yang kurang disiplin dengan siklus pembahasan rencana
pembangunan, namun lebih banyak disebabkan oleh dorongan faktor eksternal
dimana sistem pertanggungjawaban anggaran bersifat cash and carry sehingga aparat ‘dipaksa’ agar segera ‘berbelanja’
jika tak ingin berimplikasi pada pencairan anggaran berikutnya. Tekanan sistem
penganggaran ini membuat birokrasi terkesan ‘royal’ dengan membelanjakan
sebanyak mungkin dari sejumlah kegiatan yang tersedia anggarannya. Dampaknya
pembelanjaan secara administratif berjalan lancar sesuai pemeriksaan tim audit
(BPK), namun kenyataan menunjukkan bahwa material hasil pembelanjaan hanya
bertahan beberapa waktu, rusak atau bahkan tak sesuai perencanaan/pesanan. Pola
perencanaan demikian menciptakan kemubaziran di tengah dahaga masyarakat
terhadap berbagai kebutuhan yang lebih mendesak. Kebiasaan belanja
sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya tanpa perencanaan yang jelas seringkali
menemukan musimnya dikala menghadapi siklus akhir anggaran antara September
hingga Desember. Kedelapan, lemahnya pengawasan mengakibatkan perencanaan di
daerah tak memenuhi standar pada tingkat implementasi. Bagi saya, pengawasan
strategis sebenarnya berada pada tahap perencanaan. Sayangnya pengawasan selalu dianggap berada pada
sikuensi akhir setelah planning,
organizing dan actuating. Kenyataan ini membuat penyusunan rencana awal
berkembang membentuk satu daftar keinginan, bukan kebutuhan senyatanya. Pada
tahap berikutnya terjadi pembengkakan anggaran dalam tipuan klasik seperti
penggelembungan anggaran (mark up). Dalam
banyak temuan BPK menunjukkan bahwa pola penganggaran yang didasarkan pada
perencanaan nihil kontrol telah menciptakan inefisiensi dilingkungan
pemerintahan daerah. DPRD dan Pemda semestinya menyadari bahwa fungsi
pengawasan politik hanya mungkin efektif jika dilakukan pada saat proses
perencanaan dilakukan, bukan setelah implementasi. Jika hal itu yang terjadi,
maka nasi telah menjadi bubur, dimana
penyelesaian masalah tidak lagi bersifat preventif (pencegahan korupsi), namun
represif (Polisi, Jaksa, KPK).
Kearah
Perbaikan Perencanaan Pemerintah Daerah
Dengan mengamati delapan problem pokok
perencanaan di daerah, saran saya bagi Pemda DKI Jakarta dalam momentum
penyerapan aspirasi masyarakat lewat Musrembang kali ini adalah pertama,
perlunya mensinergikan pola perencanaan yang terkait secara internal antara
RPJPD, RPJMD dan RKPD. Untuk itu dibutuhkan satu tim khusus yang secara cermat
menyelesaikan lembar perlembar untuk melihat keterkaitan perencanaan sehingga
benar-benar mendukung pencapaian visi besar Jakarta menuju Kota Modern dimasa
mendatang. Kedua, perlunya koneksitas antara dokumen perencanaan Pemda DKI
dengan perencanaan nasional (RPJPN, RPJPMN dan RKPN). Untuk kebutuhan itu
diperlukan tim yang terdiri dari Pemda dan Pemerintah Pusat agar dapat
mensinergikan visi daerah dengan visi nasional yang ingin dicapai. Aktivitas
konsultasi penting dilakukan sebelum perencanaan menimbulkan masalah
kemana-mana. Banyaknya hasil supervisi dan evaluasi dokumen perencanaan daerah
yang tak sejalan dengan visi pemerintah dapat menyita banyak energi, bahkan
dapat menimbulkan implikasi ekstrem seperti tertundanya pembayaran hak-hak
(gaji dan tunjangan) anggota DPRD dan Kepala Daerah sesuai UU Nomor 9/2015
tentang Pemerintahan Daerah.[6] Ketiga, agar perencanaan tak
menimbulkan sikap apatisme masyarakat, sebaiknya Musrembang lebih akomodatif
dalam menyerap aspirasi masyarakat sehingga usulan dalam bentuk program dan
kegiatan benar-benar sesuai dengan kehendak masayarakat. Untuk memenuhi saran ini
sebaiknya pelaksana kegiatan Musrembang (Bappeda) menyepakati daftar urut
program dan kegiatan mana yang paling mendesak (urgensif), misalnya nomor urut
1-5 dari 7 usulan kegiatan, sehingga yang lain menjadi alternatif. Keempat,
guna mencegah ketegangan antara eksekutif dan legislatif dalam menanggapi hasil
evaluasi pemerintah pusat sebaiknya disepakati dalam bentuk MOU, atau dapat
dibuka pasal baru dalam Peraturan Tata Tertib DPRD misalnya, hasil evaluasi
rancangan perda baik inisiatif dewan maupun pemda jika menyangkut revisi
substansi dapat disepakati dalam bentuk pembahasan bersama pada bagian yang
dievaluasi/diberi catatan. Sedangkan revisi perda yang sifatnya perbaikan
redaksional/yuridis mungkin sebaiknya cukup menjadi tanggungjawab Pemda (SKPD
terkait) tanpa mesti duduk bersama DPRD. Jika ini dapat disepakati setidaknya
terbuka satu mekanisme pengelolaan konflik antara eksekutif dan legislatif yang
tak perlu berlarut-larut. Kelima, perlunya peningkatan
kualitas aparatur perencana yang bersifat permanen sehingga semua perencanaan
dari tahun ketahun terjaga kontinuitasnya hingga mencapai visi dalam 20 tahun
kedepan. Kenyataan menunjukkan aparatur perencana minim jumlahnya serta tak bersifat
tetap. Kondisi ini menjadikan perencanaan mandeg dan terputus, bahkan
kehilangan spirit bagi pencapaian visi jangka panjang. Secara konkrit Pemda
perlu menyiapkan tenaga analyst,
counselor dan designer perencanaan.
Keenam,
perlunya komitmen yang kuat dari pemimpin untuk memberi warning agar setiap masalah dapat dituntaskan baik dalam jangka
pendek, menengah hingga panjang. Bagi DKI Jakarta khususnya, kepemimpinan yang
kuat setidaknya menjadi modalitas awal dalam memberikan ultimatum bagi pencapaian
visi bersama. Tanpa itu, laju pencapaian visi akan terus melambat, bahkan
diujung masa jabatan seorang pemimpin seakan semua gagasan cemerlang raib
bersamanya. Lihat saja bagaimana daerah-daerah seperti Solo, Gorontalo,
Sumatera Barat dan Jembarana yang awalnya memiliki Indonesia Governance Index (IGI,
2008) tinggi kini melambat setelah
ditinggal pergi Joko Widodo, Fadel Muhammad, Gamawan Fauzi dan I Gede Winase
(Bandingkan dgn hasil IGI, 2013). Ketujuh,
perlunya disiplin anggaran oleh aparat melalui pembelanjaan yang berkualitas (pro poor, pro growth, pro job). Secara
eksternal diperlukan strategi pengeluaran belanja dengan memanfaatkan
‘kekhususan’ Jakarta agar terjadi daya tawar pada pemerintah pusat guna
mempercepat akselerasi pembangunan di Ibukota Negara. Tanpa itu, penyerapan
anggaran tak akan maksimal, lambat dan menumpuk. Kedelapan, diperlukan
pengawasan (control) sejak dini dalam
perencanaan dengan melibatkan semua instrumen pengawasan baik internal (self control), eksternal (built in control), fungsional (independen control), politik (political control) dan publik (costumer control) agar perencanaan
benar-benar terlihat terang-benderang dalam realitas senyatanya.
Referensi
Lanjutan;
Alfian, M Alfan, 2010. Menjadi Pemimpin Politik, Gramedia,
Jakarta
Abdul Wahab, Solichin, 2005. Analisis Kebijaksanaan, Bumi Aksara,
Jakarta
Covers, Diana, 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga,
Jogjakarta, Gadjah Mada University Press.
Dye, Thomas, 1968. Understanding Public Policy, Prentice
Hall, Cliffs, Englewood, N.J.
Djopari, JRG, 2001. Kebijakan Pemerintah, Universitas
Terbuka, Modul, Jakarta
Dun, William N, 1981. Public Policy Analysis; An Introduction,
London: Prentice Hall International, Inc.
Hamdi, Muchlis, 2014, Kebijakan Publik,Proses Analisis dan Partisipasi,Bogor, Ghalia Indonesia.
Labolo, Muhadam, 2010. Mencegah
Negara Gagal, RajaGrafindo, Jakarta
Ndraha, Taliziduhu, 2003. Kybernology (1), Ilmu Pemerintahan Baru, Rineka Cipta, Jakarta
Nurcholish, Hanif, 2009. Perencanaan Partisipatif Pemerintahan Daerah,
Grasindo, Jakarta
Sabatier, Paul and Daniel Mazmanian,
1986, Top Down and Bottom Up Approaches
to Implementation Research (Journal
of Public Policy).
[1] Makalah pendek ini disampaikan sebagai
bahan masukan dalam acara Musrembang DKI Jakarta sesuai undangan Panitia
tanggal 14-16 April 2015 di Kantor Bappeda Provinsi DKI Jakarta.
[2] Ketua Pusat Kajian
Desentralisasi Forum Doktor IIP/IPDN Cilandak.
[3] Inilah Visi Misi Jokowi untuk Jakarta, Republica.co.id, 5 Maret
2013.
[4] Polemik Perpres Nomor 39/2015 Tentang Tunjangan Uang Muka Kendaraan
Bermotor Perorangan Pejabat Negara pada akhirnya dicabut oleh Presiden Joko
Widodo.
[5] KPK Bisa Ambil Alih Kasus UPS, Suara Pembaharuan, Selasa, 31 Maret
2015.
[6] Undang-Undang Pemda sejauh ini
telah berganti beberapa kali sejak revisi dari UU 32/2004 menjadi UU 23/2014,
Perpu Nomor 2/2014, UU 2/2015 hingga UU 9/2015.
Komentar
Posting Komentar