Memelopori Revolusi Mental Dalam Kerangka Basis Pendidikan Kepamongprajaan
Oleh.
Dr. Muhadam Labolo[2]
Pengantar
Memasuki setahun periode pemerintahan
baru 2014-2019, sepertinya kita diingatkan kembali pada konsepsi Revolusi
Mental yang menjadi kata kunci (key word)
dalam membentuk kerangka visi dan misi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yaitu, Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat,
Mandiri dan Berkepribadian. Visi tersebut selanjutnya dipolakan lewat seperangkat
misi yaitu Terwujudnya Indonesia yang
Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong.[3] Secara
historis visi tersebut didasarkan pada pemikiran Soekarno lewat konsep Tri
Sakti. Konsep ini dikemukakan Soekarno dalam pidato berjudul Tahun Vivere Pericoloso (Taviv) dalam
rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI tahun 1964. [4] Inti konsep Tri Sakti adalah pentingnya bangsa
Indonesia memperjuangkan dan mewujudkan kedaulatan di bidang politik,
kemandirian dalam ekonomi serta kepribadian dalam bidang kebudayaan. Konsepsi
ini lahir tidak saja karena dorongan faktor internal, juga tekanan eksternal
dimana terdapat dua kekuatan politik internasional yaitu blok Barat yang bersifat
kapitalistik dan blok Timur yang cenderung berkarakter komunistik. Dalam
konteks itu Soekarno hendak memastikan bahwa bangsa Indonesia mesti teguh pada
posisinya sebagai bangsa yang merdeka dan tidak ikut menceburkan diri dalam
pusaran arus politik global, baik Timur maupun ke Barat. Terlepas bahwa sejarah
dikemudian hari memberikan catatan lain atas kecenderungan realitas politik
luar negeri Indonesia, namun secara domestik gagasan Tri Sakti dalam jangkauan
sejarah yang panjang sepatutnya dapat direvitalisasi menjadi pondasi yang kuat
dalam membangun bangsa di tengah persoalan internal yang lebih membutuhkan
perhatian serius.
Jika faktor internal hari-hari ini lebih
mendominasi persoalan bangsa maka tidaklah salah jika focus group discuss kali ini menjadi pemantik untuk mengembangkan
sejumlah pertanyaan mendasar, sekaligus menyiapkan action plan guna mencapai tujuan konstitusional negara melalui
kepeloporan revolusi mental. Sumber persoalan utama dalam relasi ini menurut
tesis sementara terkait pada pembangunan individu bangsa. Apabila kita
asumsikan bahwa setiap individu memiliki karakter postitif yang memadai, maka dalam
kumpulan yang luas (keluarga) hingga organisasi paling kompleks laiknya negara
akan mampu berdaulat secara politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan imaji semacam itu maka tidak saja
persoalan internal seperti isu transisi demokratisasi, Hak Asasi Manusia,
desentralisasi hingga reformasi birokrasi akan mudah terselesaikan dengan
sendirinya. Dampak lebih jauh dari itu persoalan eksternal yang selama ini menyentuh
harga diri bangsa seperti mobilitas tenaga kerja ke luar negeri karena dorongan
ekonomi, kemampuan melaksanakan hukuman
mati bagi siapa saja yang bersalah sebagai refleksi kedaulatan politik bangsa,
serta kemampuan menampilkan karakter individu yang cemerlang dari berbagai
aspek kehidupan dapat segera menggeser identitas budaya negara lain yang kini
justru menjadi trending di negara
sendiri. Indikasi yang dapat dilihat adalah kebiasaan generasi muda yang lebih
mudah beradaptasi dengan budaya bangsa lain lewat film, fashion dan food. Film
dengan mudah mempengaruhi cara berpikir dan spirit generasi muda lewat layar
lebar (Theater), layar sedang (Televisi) hingga layar mini (Handphone). Dalam titik tertentu gejala
ini mampu memompa kebanggaan bagi negara lain, sekaligus pada saat yang sama
mengikis nasionalisme bangsa sendiri. Fashion
tampak dari melimpahnya asesoris dan sentuhan life style yang secara perlahan menggerus motif dan cara hidup
sederhana. Dipenghujung upaya menggapai semua titik kepuasan tersebut
melahirkan cara hidup hedonisme,
dimana korupsi menjadi jalan pintas di segala bidang. Sementara kontribusi
makanan (food) kini menjadi semacam
ketergantungan hidup dalam berbagai bentuknya, mulai dari kegemaran
mengkonsumsi makanan kecil (snack) dari
Malaysia, buah dari Bangkok hingga menunggu import
beras dan daging dari Vietnam dan Australia sebagai pengganti kebutuhan pokok
manusia Indonesia.
Pada akhirnya, semua gejala di atas kini
menjadi sebuah pertanyaan strategis di atas kerangka visi dan misi Pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bagaimanakah mewujudkan revolusi mental dalam jangka
panjang? Siapakah pelopor dan wadah seperti apakah yang ideal menjadi daya
dorong (starting point) untuk
mewujudkan visi dan misi revolusi mental dimaksud? Apabila IPDN ‘diminta’
mengambil porsi terdepan dalam keramaian konsepsi tersebut, maka bagaimanakah action plan yang paling konkrit dari rencana
besar revolusi mental dilakukan dalam kampus yang khas seperti Institut
Pemerintahan Dalam Negeri?[5]
Ketiga pertanyaan tersebut hanyalah bagian kecil dari upaya menemukan jawaban
atas berbagai pandangan terhadap konsepsi revolusi mental baik dari sudut
teoritik filsafati, politik, budaya, agama, ekonomi, hukum, maupun praktek
dilapangan empirik.
Misi dan Nawacita Revolusi Mental
Untuk mewujudkan visi revolusi mental yang
telah dikemukakan sebelumnya, Jokowi-JK menetapkan 7 (tujuh) misi strategis
yang akan ditempuh dalam lima tahun kedepan, pertama, mewujudkan
keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian
ekonomi dengan mengamankan sumberdaya maritim dan mencerminkan kepribadian
Indonesia sebagai negara kepulauan. Kedua, mewujudkan masyarakat maju,
berkeseimbangan dan demokratis berlandaskan negara hukum. Ketiga, mewujudkan
politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Keempat,
mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera. Kelima,
mewujudkan bangsa yang berdaya-saing. Keenam, mewujudkan Indonesia menjadi
Negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional. Ketujuh,
mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan. Dalam dokumen itu
juga dirumuskan Sembilan Agenda Prioritas
yang dikenal dengan istilah Nawacita
(Nawa artinya Sembilan, Cita artinya Tujuan/Keinginan/Harapan).
Kesembilan agenda prioritas itu adalah pertama, menghadirkan kembali negara
untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga
negara. Kedua, membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata
kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Ketiga,
membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat Daerah dan Desa dalam
kerangka Negara Kesatuan. Keempat, menolak negara lemah dengan
melakukan reformasi sistim penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan
terpercaya. Kelima, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Keenam,
meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Ketujuh, mewujudkan kemandirian
ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedelapan,
melakukan revolusi karakter bangsa. Kesembilan, memperteguh kebhinekaan
dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah
bagaimanakah mewujudkan Nawacita tersebut? Apakah dimulai secara sikuensi,
ataukah cukup menentukan prioritas utama yang dengan sendirinya mampu menjawab
semua agenda yang tersisa? Pilihan lain dilakukan secara simultan dengan
membagi pada semua sektor terkait untuk dituntaskan bersama.
Menurut hemat saya alternatif kedua
lebih tepat kita lakukan, namun perlu ditetapkan satu sumbu utama untuk
melahirkan output Nawacita dalam
jangka panjang, bukan sekedar menanti kinerja day to day sebagaimana tampak sementara ini. Buah dari revolusi
mental pada dasarnya hanya dapat dinikmati dalam jangka panjang, sepuluh hingga
dua puluh tahun kedepan dengan menyiapkan landasan kokoh hari ini. Sebagaimana
negara-negara di asia lainnya seperti Jepang, Korea, India, Malaysia dan
Singapura yang hanya berselisih hari, bulan dan tahun dari pijakan kemerdekaan awal,
kini telah memasuki suatu masa yang diperhitungkan dalam percaturan dunia
international. Untuk menggapai harapan itu, maka tidaklah berlebihan jika kita
bermaksud menjadikan IPDN sebagai wadah pelopor bagi terciptanya revolusi
mental dimasa akan datang.
IPDN sebagai Wadah Strategis
Pelopor Revolusi Mental
Sejak
kelahiran Institut Ilmu Pemerintahan pada tahun 1964, Soekarno menyatakan
dengan jelas dalam pidato pengantar di depan segenap civitas akademika APDN
Malang, bahwa pembentukan pendidikan Pamongpraja dimaksudkan sebagai sosok
perekat bangsa selain ujung tombak pemerintah pusat dalam penyelenggaraan roda
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di daerah.[6]
Jika dua peran strategis itu menjadi dasar kita bertolak, maka IPDN setidaknya
memiliki misi penting sebagai pelopor revolusi mental dalam menciptakan kader
yang memiliki kemampuan kenegarawanan (statemanship)
dan kemampuan memberikan pelayanan bagi kepentingan masyarakat. Dua kemampuan
tersebut hanya mungkin dibentuk melalui pendidikan dan pengalaman yang panjang.
Pendidikan dibutuhkan untuk mengubah diri dan lingkungannya menuju suatu tujuan
yang dikehendaki. Perubahan diri dimaksud adalah perubahan karakter individu.
Perubahan karakter individu dapat memicu perubahan luas pada masyarakat baik
pada tingkat mikro hingga yang paling kompleks, negara. Karakter (kharassein) sendiri adalah lukisan
jiwa, cetakan dasar kepribadian seseorang/sekelompok orang yang terkait dengan
kualitas moral, integritas, ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya,
sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman (habitus). Menurut Yudi Latif dalam pengantar bukunya, cara
mencetak nilai menjadi karakter tidak cukup diajarkan lewat hafalan.[7]
Mengutip peribahasa Inggris, moral is not
taught but caught. Nilai-nilai keteladanan dan kepahlawanan tidaklah cukup
diajarkan (taught) secara kognitif
lewat hafalan dan pilihan ganda, melainkan ditangkap (caught) lewat penghayatan emotif.
Pendidikan karakter seringkali diintrodusir kedalam kelas melalui contoh-contoh
keteladanan dan kepahlawanan. Pengaruh kesusastraan terhadap kehidupan tak bisa
diremehkan begitu saja. Tokoh-tokoh fiksi dalam deskripsi kualitatif seringkali
mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, bahkan
mengubah dunia. Bukankah kisah Rosie the
Riveter menjadi pengungkit bagi Women’s
Liberation Movement. Kisah Siegfried,
kesatria-pahlawan legendaris dari nasionalisme Teutonik mendorong pecahnya perang saudara Jerman. Kisah Barbie, boneka molek menjadi role model bagi jutaan gadis-gadis
cantik cilik dengan standar gaya dan kecantikan. Bandingkan pula bagaimana
sinetron Korea akhir-akhir ini yang mampu melahirkan role model bagi ibu-ibu dan remaja di Indonesia. Jika rekayasa
fiksi semacam itu dapat berpengaruh kuat bagi moralitas bangsa kita, apatah
lagi jika mereka benar-benar pernah ada dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam kaitan itu, IPDN mengemban tugas
melakukan perubahan karakter praja untuk mengemban dua misi besar sebagaimana
disebutkan diatas. Lewat pendidikan khas yang mengintegrasikan aspek
pengajaran, pelatihan dan pengasuhan diharapkan mampu membentuk karakter yang
dapat merevolusi diri dan lingkungannya dalam kerangka tujuan bermasyarakat,
berpemerintahan dan bernegara. Pada titik ini pertanyaan dasarnya adalah apakah
nilai inti dari proses pengajaran, pengasuhan dan pelatihan di IPDN? Apabila
nilai penting dari ketiga aspek tersebut dapat kita jawab, maka pilihan
berikutnya adalah kenderaan (vehicle)
seperti apakah yang akan kita siapkan secara konkrit agar semua nilai tadi
dapat mewujud kedalam pribadi pembelajarnya (praja), bahkan kalau boleh
civitasnya. Tanpa itu, saya kuatir FGD ini hanya akan mengantar kita pada
perbincangan vehicle yang penuh sesak
dengan kegiatan projek, bukan menjawab persoalan inti dari revolusi mental itu
sendiri. Akibatnya, hayalan buruk saya dapat mengantarkan kita pada
perbincangan revolusi projek, dimana IPDN menjadi objek yang paling mudah
dikambinghitamkan akibat dari kegagalan revolusi mental lewat kelinci percobaan. Akhirnya, IPDN-lah yang
paling mungkin dituding sebagai objek sekaligus subjek yang perlu di revolusi
mental. Karena itu, amanah revolusi mental ini dapat menjadi semacam dua bilah
mata pedang yang membawa harapan optimisme dan pesimisme, menantang IPDN sebagai
titik pijak revoluasi mental ke-Indonesiaan, sekaligus ujian bagi masa depan
IPDN jika gagal mengawal revolusi mental. Namun satu hal yang tak dapat
dibantah bahwa konsepsi revolusi mental berupa kemandirian pada tiga aspek
penting yaitu politik, ekonomi dan sosial budaya sangat konsentrik dengan
paradigma ilmu pemerintahan baru (kybernology)
sebagaimana digagas oleh Taliziduhu Ndraha sejak tahun 2003. Menurut pendapat saya, dalam hubungan inilah
IPDN patut memperoleh tempat paling strategis dibanding perguruan tinggi lain
karena memiliki pondasi akademik paling siap secara ontologik, epistemologik
dan aksiologik.
Nilai penting dari aspek pengajaran adalah
mendorong area kognitif praja agar mampu memecahkan problem pemerintahan yang
dihadapi dilapangan. Pengajaran teoritik diperlukan untuk memperkuat peran
salah satu asas penting dalam pemerintahan, yaitu asas berpikir panjang.[8]
Dalam praktek, asas ini membutuhkan cara pandang terhadap suatu hal secara
menyeluruh. Sebagai contoh, berdasarkan program penegakan hukum, rumah liar di
bantaran Kali Ciliwung dibongkar paksa dengan berbagai alasan pemerintah kota.
Pertanyaannya, apakah pemerintah kota peduli dengan nasib penduduk yang
kehilangan tempat tinggal dan mungkin saja lapangan kerjanya sebagai dampak
dari penggusuran tersebut? Harus di ingat bahwa asas ‘perintah adalah perintah’ tidak berlaku dalam masyarakat civil.
Inilah salah satu hal fundamental yang membedakan IPDN dengan perguruan tinggi
kedinasan lain termasuk AKPOL dan AKMIL. Standar rekrutmen boleh jadi sama,
namun fokus yang menjadi lahan garapan jauh berbeda. Dalam masyarakat civil
setiap warga negara berhak mengetahui mengapa dan apa akibat dari tindakan
pemerintah. Kesadaran akan hubungan sebab-akibat dan sebaliknya akibat-sebab
dapat diperoleh lewat pengalaman. Namun upaya untuk memperoleh pengalaman
tersebut dibatasi oleh waktu hidup manusia yang singkat guna menyadari hubungan
kausalitas, maka teorilah yang memungkinkan orang mengetahui hubungan kausal
sebanyak mungkin tanpa harus mengalaminya satu persatu. Oleh karena itu setiap
praja sebagai bakal aktor pemerintah mutlak memerlukan bekal pengetahuan teoritik umum (filsafat,
metodologi, logika dan sebagainya), serta pengetahuan
teoritik khusus dibidangnya masing-masing. Maka amat naiflah jika sejumlah
orang mengatakan bahwa perguruan tinggi kedinasan yang bertugas membentuk calon
kader/aktor pemerintahan tidak perlu mengajarkan pengetahuan teoritik, cukup
pengetahuan teknik-administratif-operasional belaka.
Dalam kaitan dengan nilai pengasuhan,
penting mengingatkan bahwa pola transaksional dalam menyelesaikan masalah
pemerintahan kini menjadi trend yang
jika tak dihentikan dapat menjadi subur dan beban bagi pemerintahan
selanjutnya. Dengan kelihaian semacam itu bukan mustahil kita secara tak
langsung telah berkontribusi bagi terbentuknya birokrat yang ulet memeras
rakyat untuk menyelesaikan setiap masalah. Inilah seni, yang menurut kritik
Adam Smith tak ada seni yang paling cepat dipelajari suatu pemerintahan,
kecuali seni menguras uang dari saku rakyatnya. Lewat aspek pengasuhan kita
berharap terbentuk kesadaran individu sekaligus kesadaran
kolektif yang bertumpu pada moralitas dan etika, apakah etika
pendidikan yang kita sepakati sebagai modal bermasyarakat dan berpemerintahan,
maupun moralitas agama yang menjadi pondasi paling kuno di muka bumi. Lewat
kesadaran semacam itulah maka pengasuhan IPDN diharapkan mampu memberikan
kontribusi signifikan bagi terbangunnya kesadaran seorang praja untuk mengubah
dirinya, sekaligus secara kolektif mendorong dinamika masyarakat lewat prinsip good governance. Jika bagian ini
tercapai, maka pendidikan dalam bentuk apapun sebagaimana dikatakan oleh pakar
pendidikan Jhon Dewey (1999) telah mencapai tujuan sebenarnya, yaitu mengubah
diri dan lingkungannya menjadi lebih baik, dan bukan sebaliknya. Namun perlu di
ingat bahwa sebelum kesadaran itu muncul ia membutuhkan intervensi pengetahuan
dan contoh tauladan yang memadai. Kesadaran tak akan muncul hanya dengan
mengucapkan mantra abrakadabra dan alakazam. Disini menginspirasikan bahwa
semua civitas harus menjadi contoh, bukan menjadi momok yang menakutkan
sehingga kesadaran lahir karena dorongan luhur sebagai manusia biasa, bukan
karena rasa takut sehingga membentuk pribadi robot (formalistik).
Pada level selanjutnya keseluruhan
pengetahuan dan karakter yang dibentuk lewat pengajaran dan pengasuhan
membutuhkan percontohan untuk diujicobakan. Dalam konteks inilah kita
menyertakan nilai pelatihan, dimana kampus sekaligus menjadi laboratorium
alamiah yang dapat dipraktekkan secara kasat mata. Ketika kita menguraikan
pelajaran tentang pemerintahan yang baik, maka pada saat yang sama semua
prinsip yang mengkonstruksi makna pemerintahan yang baik harus mampu teraplikasikan
dengan cara dilatih terus-menerus. Sebagai contoh, prinsip akuntabilitas dan
transparansi dalam pemerintahan yang baik membutuhkan pelatihan lewat pemberian
tanggungjawab yang memungkinkan setiap praja dapat mempertanggungjawabkan
tugasnya secara baik, tepat waktu dan terang-benderang. Alokasi pelatihan yang
banyak dalam bentuk PPL, PKL, BKP, KKN, Latsitarda, Magang hingga Laboratorium
Unit Kerja di Desa merupakan strategi yang diharapkan dapat menyerap sejumlah
keterampilan lapangan secara langsung (direct)
untuk menjadi modal bagi penyelesaian problem pemerintahan yang sesungguhnya di
kelak hari.
Jika dari ketiga aspek di atas yang
menjadi wadah bagi penanaman nilai-nilai yang diharapkan di IPDN, maka apakah
cukup kita sepakati saja ataukah perlu direvitalisasi, reposisi, reaktualisasi
maupun direformasi kembali dalam kerangka revolusi mental? Bagi saya, dan
mungkin kita semua akan sependapat bawah sistem diatas realtif cukup ideal,
terbukti mampu dipraktekkan lebih dari 15 tahun dengan hasil yang tak begitu
mengecewakan dilapangan tugas sebagai Pamongpraja. Persoalan pentingnya adalah vehicle seperti apakah yang akan kita
gunakan untuk mengkonkritkan dan memaksimumkan semua nilai penting yang
diharapkan kedepan agar sejalan dengan konsepsi revolusi mental? Tentu saja FGD
ini dapat menjadi bagian untuk merangkum semua unek-unek peserta undangan yang
akan diramu dalam bentuk vehicle
perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang bagi upaya mewujudkan IPDN
sebagai pelopor revolusi mental. Pada tahap implementasi ini menjadi bagian
birokrat tulen sekelas kepala biro kebawah yang menekuni dan ‘menyukai’ program
dan kegiatan semacam itu. Saya akan fokus pada beberapa hal sebagai respon atas
Nawacita Revolusi Mental.
Menanamkan Azas Omnipresence, Menjawab Nawacita 1
Omnipresence
bermakna bahwa pemerintah semestinya dapat hadir dimana-mana. Namun dengan
keterbatasan pemerintah secara kuantitas sekaligus manusia biasa, maka
kehadiran pemerintah hanya dapat dimunculkan lewat spirit ilahiah pada setiap
aktor pemerintahan. Artinya, konsepsi
pemerintahan dapat ditanamkan pada dua aspek penting yaitu, sebagai pengatur
yang dipercaya dan sebagai ruh (geist,
spirit dan jiwa). Sebagai pengatur, pemerintah dapat hadir dimana saja secara
fisik (physical power). Namun pada
saat yang sama dengan menyadari kelemahan itu, maka pemerintah dapat hadir
secara spirit dimana saja tanpa hadir secara fisik. Untuk mewujudkan peran
kedua itu, pemerintah harus mampu membangun kepercayaan (trust) sebagai modal utama, sehingga tanpa kehadiran pemerintah
secara fisik sekalipun, masyarakat akan
merasa bahwa pemerintah hadir memberi perlindungan. Sebagai contoh, Polisi dapat saja tak berada di lokasi lampu
merah pada tengah malam ketika seorang warga negara berkenderaan lewat, namun
atas spirit tadi setiap warga negara dengan sendirinya berhenti sebagai bentuk
kesadaran adanya pemerintah sekalipun nyata-nyatanya tak tampak secara fisual.
Menanamkan kesadaran sedemikian rupa
mulai dari tingkat Muda Praja hingga Wasana Praja dapat menjadi investasi yang
mahal dan langka, dimana setiap kader pemerintahan menyadari diri sebagai
pengatur sekaligus spirit ditengah-tengah masyarakat. Dengan kesadaran itu
setiap kader pemerintahan harus mampu menjaga diri agar kepercayaan masyarakat
dapat dipertahankan. Jika konsep ilahiah ini dapat ditanamkan lewat aspek
pengasuhan, maka setiap kader pemerintahan yang akan datang dapat menjadi
simbol penggerak, dan sumber inspirasi hadirnya pemerintahan dimanapun
masyarakat berada. Inilah makna hakiki dari asas omnipresence guna menjawab problem nawacita pertama, yaitu hilangnya ruh pemerintahan yang
mengakibatkan masyarakat merasa hilangnya peran pemerintah dalam berbagai
persoalan yang dihadapi dewasa ini.
Membangun Pemerintahan Yang Baik,
Menjawab Nawacita 2
Pada
dasarnya masyarakat berhak
mendapatkan pemerintahan yang baik. Pemerintah sendiri adalah produk dari
dinamika politik masyarakat. Pemerintah yang baik hanya mungkin tumbuh dan
berkembang dari masyarakat yang baik pula. Masyarakat sendiri terdiri dari kelompok-kelompok
tertentu yang terorganisasikan sedemikian rupa. Kelompok tersebut dapat berupa
organisasi masyarakat (ormas), politik maupun institusi pendidikan yang di
desain untuk mencapai tujuan bersama. Semua organisasi pada pokoknya bertujuan
baik sekalipun memiliki nilai, budaya dan tujuan yang berbeda-beda. Tekanan
penting diletakkan pada komponen
masyarakat sebab diantara tiga komponen penting dalam konsepsi good governance (pemerintah, wiraswasta
dan masyarakat), inilah komponen yang paling lemah dalam relasi itu.
Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan masyarakat tak memiliki akses yang
kuat dalam menentukan masa depan dirinya sendiri. Atas kesadaran itu maka
penting bagi kita untuk membangun kembali pemerintahan yang baik dengan memberi
akses yang lebih luas pada masyarakat dalam menentukan masa depannya
masing-masing. Dengan maksud itu maka salah-satu fungsi pemerintahan menurut
Rasyid (1999) yaitu pemberdayaan (empowerment)
mesti dilakukan dalam jangka panjang sehingga masyarakat sebagai pemetik
manfaat dapat memiliki posisi tawar yang lebih menguntungkan diantara komponen
pemerintah dan wiraswasta. Sayang sekali semua kegiatan yang berkaitan dengan
upaya pemberdayaan masyarakat dan tersebar pada hampir semua departemen dan
instansi terkait di tingkat pusat dan daerah belum menunjukkan hasil yang
maksimal, kecuali masyarakat itu sendiri yang kerap dijadikan objek proposal
dimana-mana. Menyadari hal itu maka penting bagi lembaga pendidikan kedinasan
IPDN untuk membekali kader Pamongpraja teknik perencanaan, strategi
implementasi, penerapan program hingga bentuk-bentuk kegiatan nyata yang dapat
memampukan (memberdayakan) masyarakat hingga lepas dari sifat dan kondisi powerless.
Pemerintahan yang baik mengandung
sejumlah prinsip penting seperti akuntabilitas, transparansi, kepastian hukum,
efisiensi, efektivitas dan memiliki visi yang jauh kedepan. Prinsip-prinsip
tersebut lahir sebagai koreksi atas munculnya gejala bad governance dalam tubuh birokrasi pemerintahan. Nilai-nilai
buruk dalam birokrasi pemerintahan kini menggejala pada negara-negara
berkembang seperti lamban, arogan, korup, birokratisme, boros, naluriah, enggan
berubah dan tak berorientasi pada kepentingan publik. Untuk memperbaiki semua
gejala itu maka tugas pemerintah tidak saja melakukan perubahan struktur,
tetapi jauh lebih penting adalah perubahan kultur birokrasi. Oleh karena itu,
menjadi penting meletakkan kader Pamongpraja IPDN sebagai objek perubahan
kultur untuk memasuki ruang struktur yang kini sedang mengalami perubahan evolutif
melalui reformasi birokrasi. Dengan demikian kita percaya bahwa kultur dapat
mengubah struktur secara rasional, sekalipun dalam realitasnya struktur
terkadang melenyapkan semua idealisme pemerintah, termasuk idealisme kader
pemerintahan dilingkungan masyarakat tempat bertugas.
Memperkuat Otonomi Desa, Menjawab
Nawacita 3
Sebagaimana
kita ketahui bahwa desa adalah akar-akar pemerintahan yang secara sosiologis
menjadi basis perkembangan pemerintahan hingga mengubah diri menjadi kompleks
dalam bentuk negara. Maknanya, memperkuat desa berarti memperkuat negara yang
merefleksikan sel-sel penyangga dilapis terbawah pemerintahan. Problem desa
sebagai penyangga utama negara sangat menyolok jika dibandingkan dengan pusat
pemerintahan. Kemiskinan dan kebodohan sebagai masalah utama 60% bertengger di
wilayah pesisir desa. Masalah ini mendorong pemerintah mendirikan Kementrian
Desa sebagai instrumen untuk merespon ketertinggalan desa selama ini. Menyadari
masalah itu, sebenarnya sejak awal 1994, STPDN
menyiapkan kader pemerintahan yang ditempatkan di pelosok desa terpencil
sebagai Kasubag Pemerintahan Desa. Sampai hari ini sebagian besar alumni IPDN
memulai karir sebagai Pamong Desa baik sebagai Sekretaris Desa maupun staf kelurahan
untuk menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat pada unit pemerintahan
terendah. Pertanyaannya, bagaimanakah memperkuat peran tersebut dalam sistem
pemerintahan desa yang bersifat otonom penuh sebagaimana gambaran UU Nomor
6/2014 dan PP 43/2014? Jika IPDN dapat mengambil peran dalam konteks ini maka
sebaiknya mereka dipersiapkan menjadi pendamping dalam penyusunan RPJM Desa,
APB Desa, Administrasi Desa, Peraturan Desa, hingga Pelaporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa (LPPD). Peran ini penting dilakukan dimana Desa saat ini
sedang mempersiapkan diri untuk mengelola dana desa guna mewujudkan desa yang
berdaya, mandiri, kreatif, inovatif dalam kerangka otonom desa.
Memperkuat Fungsi Negara,
Mencegah Negara Gagal, Menjawab Nawacita 4
Oleh karena pemerintah adalah
personifikasi paling konkrit negara, maka
fungsi
pemerintahan menurut Rasyid (1999) meliputi pelayanan (public service),
pengaturan (regulation), pembangunan (development) dan pemberdayaan (empowerment).
[9] Pelayanan merupakan akar
utama dari fungsi pemerintahan itu sendiri.
Semua fungsi berikutnya pada dasarnya bermakna pelayanan, atau dengan
kata lain pelayanan dalam arti luas mencakup keseluruhan fungsi pemerintahan.
Pelayanan bermakna memastikan tersedianya pengaturan dan pengurusan bagi
kepentingan masyarakat agar dapat hidup wajar, aman dan nyaman dalam kerangka
bernegara. Lewat pengaturan dimungkinkan setiap warga negara memperoleh akses
bagi terpenuhinya hak dan kewajibannya.
Dengan pengaturan pula setiap orang dibolehkan, dibatasi bahkan dilarang
sejauh bermaksud untuk melindungi kepentingan setiap warga dan negara pada
umumnya. Pelayanan pada ujungnya bermuara pada upaya penyediaan kebutuhan
masyarakat secara umum (public goods) sekaligus memenuhi kepentingan individu
pada skala tertentu (privat goods). Dalam banyak defenisi fungsi pengaturan
pemerintah seringkali disandingkan dengan fungsi pengurusan. Jika pengaturan berbentuk regulasi untuk
memastikan terciptanya landasan yang kokoh bagi negara dalam memberikan
perlindungan, maka pengurusan berkenaan dengan pelayanan pemerintah secara
langsung guna menjamin terpenuhinya kepentingan masyarakat secara luas. Fungsi
pembangunan bermakna pada kemampuan pemerintah dalam menyediakan sarana dan
prasarana bagi kepentingan setiap warga negaranya. Kemampuan pemerintah dalam
memastikan fungsi kedua berjalan meliputi pembangunan jasmani dan rohani.
Pembangunan jasmani bermakna negara mampu mewujudkan kebutuhan warga negara
agar tumbuh dan berkembang wajar untuk mencapai tujuan hidupnya sekaligus
tujuan bernegara. Pembangunan rohani berarti negara hendaknya mampu mewujudkan
kebutuhan warga agar bebas berekspresi guna memperoleh modal spiritual sebagai
produk meditasi vertikal dengan penciptanya.
Fungsi pemberdayaan berkaitan dengan upaya memberikan penguatan terhadap
keterbatasan sebagian masyarakat agar tercipta kemandirian.
Dalam
relasi itu pemerintahan membutuhkan kepemimpinan pemerintahan yang mampu
menyatukan sumber daya menjadi satu kekuatan. Kepemimpinan pemerintahan yang memiliki kecakapan
abstraktif, kemampuan teknikal, teruji serta memiliki aksebilitas yang luas
inilah yang kita sebut negawaran (statemanship). Dalam
pikiran ideal Plato, negarawan tidak saja memiliki suatu keahlian
tetapi mampu mengendalikan keahlian lain menjadi irama konser yang padu
lagi dinamis. Menilik dari filosofis pembangunan manusia
Indonesia yang seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, kualifikasi
setiap negawaran sebagaimana dikonstruksikan oleh Ndraha (1985)
meliputi dimensi performance, scientific, moralistic-filosofis, otoritatif dan generatif.[10] Dimensi-dimensi tersebut
merupakan tanggungjawab yang seharusnya dipikul IPDN sebagai kontribusi penting
dalam menjawab permasalahan yang muncul dari waktu ke waktu. Dengan demikian
dimensi tersebut harus terpikul di pundak setiap Pamongpraja guna melaksanakan
fungsi-fungsi pemerintahan sekaligus menyelesaikan tantangan yang dihadapi.
Dimensi performance merujuk pada terpenuhinya persyaratan kesehatan jasmani dan
rohani sebagai modal bagi tercapainya fungsi pemerintahan (terkait sistem
seleksi IPDN). Scientific bermakna pemimpin memiliki pengetahuan yang luas (generalis)
sekaligus mampu menerapkannya secara khusus/specialist (terkait sistem
pengajaran IPDN). Persyaratan tersebut diperlukan agar negara dan pemerintahan
berjalan menurut visi dan misi yang telah ditetapkan, bukan bersandar pada
rencana kompromistik-pragmatis semata. Moralis-filosofis berarti setiap Pamongpraja
dipersyaratkan memiliki kandungan moralitas yang memungkinkan pemerintahan
memiliki kepercayaan (trust) bagi jalannya roda pemerintahan (terkait sistem
praktek kepemimpinan pemerintahan IPDN).
Tanpa itu pemerintahan tak lebih dari segerombolan bandit yang
sewaktu-waktu dapat menipu rakyatnya sendiri. Pamongpraja dalam konteks ini
menjadi examplary center, yaitu pusat percontohan dari moralitas dan kebersihan
diri. Otoritatif bermakna bahwa setiap Pamongpraja selayaknya memiliki kemampuan
mengelola kewenangan yang diberikan sesuai aturan yang berlaku sehingga tak
menjadi ancaman bagi masyarakat luas lewat perilaku diktatorial. Generatif
bermakna bahwa setiap Pamongpraja semestinya memiliki visi bernegara sebagai
suatu bentuk peradaban yang membutuhkan keberlanjutan. Dengan kesadaran inilah
diperlukan regenerasi IPDN untuk melanjutkan tanggungjawab dalam bermasyarakat,
berbangsa, berpemerintahan dan bernegara.
Pemberdayaan Masyarakat, Menjawab
Nawacita 5
Fungsi
Pemberdayaan pada dasarnya diorientasikan
pada aspek
politik, ekonomi dan sosial (kerangka revoluasi mental). Aspek politik
berhubungan dengan kemampuan pemerintah memampukan masyarakat guna memahami
negara dan tujuan dibentuknya pemerintahan sehingga setiap warga negara
memiliki tanggungjawab atas masa depan negaranya. Aspek ekonomi berkaitan
dengan upaya pemerintah memampukan setiap warga negara agar memiliki semangat
kemandirian, kreativitas dan inovasi dalam mengembangkan diri dan masyarakat
menuju terciptanya kesejahteraan
individu dan kolektif. Aspek sosial berhubungan dengan upaya pemerintah
guna memampukan warga negara dalam memahami masalah-masalah sosial sebagai
tanggungjawab bersama guna mencapai persatuan dan kesatuan berbangsa, bernegara
serta berpemerintahan. Output dari fungsi pemberdayaan sosial memungkinkan
tercapainya integrasi dan toleransi antara kelompok mayoritas dan minoritas.
Pemahaman yang selaras tentang masalah-masalah sosial sebagai tanggungjawab
bersama pada akhirnya mampu mengurangi tekanan demografis, pelanggaran hak
asasi manusia serta diskriminasi sosial dalam kerangka mayoritas-minoritas.
Kesadaran masyarakat tentang pentingnya keseimbangan lahan sebagai ruang hidup
sekaligus tempat tinggal setidaknya mampu mengendalikan tekanan demografis yang
membahayakan masa depan bangsa dan negara. Kesadaran tentang pentingnya
menghargai hak asasi orang lain setidaknya mampu mendorong terciptanya tertib
sosial (social order) sebagai harapan dan tujuan bernegara (ketertiban
umum). Sedangkan kesadaran terhadap
persamaan atas mahluk ciptaan Tuhan serta penghargaan terhadap
kelompok-kelompok tertentu yang memperjuangkan kepentingan patut dihargai
sebagai wujud kebebasan dalam negara demokrasi. Terhadap keseluruhan fungsi
pemerintah tersebut negara patut hadir untuk melindungi serta memastikan
tercapainya tujuan bersama sebagaimana termaktub dalam konstitusi.
Bagi IPDN, peran penting yang dapat dikonstruksikan adalah
bagaimana menggali lebih banyak problem masyarakat di level terbawah (lewat blusukan
kualitatif) agar dapat diformulasikan secara konkrit lewat Lembaga Pengabdian
Masyarakat (LPM) sehingga upaya pemberdayaan dibidang politik, ekonomi dan
sosial dapat diwujudkan. Sejauh ini
peran LPM IPDN baru sebatas menyelenggarakan program dan kegiatan, belum
menyentuh akar persoalan yang kini dihadapi oleh masyarakat di level terendah.
Meningkatkan Kualitas Bangsa, Menjawab
Nawacita 6
Kualitas
bangsa ditentukan oleh kualitas individu. Bangsa pada dasarnya merupakan puncak
perkembangan suatu masyarakat. Kualitas individu tercermin dari nilai-nilai
yang ditanamkan. Nilai-nilai tersebut membutuhkan vehicle sehingga dapat dirasakan oleh orang lain (Ndraha:1999).
Jika IPDN menyangga dua nilai utama sebagai pemersatu dan pelayan masyarakat,
maka kualitas Pamongpraja hendaknya memiliki dua hal utama yaitu pertama,
kekuatan pengikat berbagai masyarakat, sosok pengintegrasi bangsa, serta mediator
atas berbagai perbedaan dalam masyarakat. Kekuatan pemersatu juga harus
diimbangi dengan kesadaran akan perbedaan sebagai rahmat yang dapat dirajut
menjadi modal bagi kekuatan bangsa, bukan sumber perpecahan dan disintegrasi
bangsa. Sebab itu perbedaan tidaklah mesti semata-mata diikat oleh nilai
persatuan, demikian pula nilai perbedaan agar membentuk semacam jaring (jala)
yang terikat diatas (center) dan
terjalin juga dibawah (coperiferal).
Selama ini yang terikat hanya diatas, namun tercerai dibawah seperti sapu lidi.
Kedua,
nilai input dalam proses budaya (nation
building) seharusnya adalah nilai-nilai faktual kebhinekaan masyarakat yang dapat dikelola menjadi nilai ideal
yaitu tunggal ika (persatuan).
Ironisnya, yang dijadikan nilai input
selama ini bukan realitas kebhinekaan dimaksud, namun mythos. Akibatnya yang terjadi bukan proses budaya, namun proses mythicizing. Pada keyakinan sebagian
elite di IPDN, siklus kekerasan dan pelanggaran kehidupan praja masih dianggap
sebagai ‘siklus lima tahunan’. Ini contoh kegagalan melihat perbedaan (IPDN
sebagai miniatur kebhinekaan) guna membangun kecerdasan untuk mencari solusi
sebagai proses budaya dalam dunia akademik, namun yang muncul adalah kepasrahan
pada mitos. Simpelnya, IPDN harus mampu melakukan revolusi mental pada aspek
budaya akademik, bukan strategi politik praktis yang dapat menjebak dirinya tak
lebih dari sekedar kantor pendidikan dan pelatihan.
Meningkatkan Kualitas Ekonomi, Menjawab
Nawacita 7
Peningkatan
kualitas ekonomi dapat dilakukan dengan menyadari pengembangan nilai sumber
daya yang tersedia dalam masyarakat dilapis bawah. Realitas menunjukkan bahwa
masyarakat mengalami masalah dalam hal keberdayaan dirinya (powerless) dan ketiadaan akses terhadap
sumber daya yang tersedia. Jika kedua hal tersebut dapat diatasi pemerintah,
maka kesejahteraan ekonomi dalam wujud dimana masyarakat dapat membeli semurah
mungkin, menjual seuntung mungkin dan membuat sehemat mungkin dapat menjadi
kenyataan. Hilangnya sense pemerintah
terhadap problem dibidang ekonomi dapat mendorong terciptanya seleksi alam, struggle for life, survival of the fittest,
konflik dan ketidakadilan. Dalam
konteks itulah diperlukan aturan pemerintah, dan untuk menegakkan aturan
diperlukan kekuasaan. Kekuasaan dalam bentuk formal adalah kewenangan (authority). Kewenangan tak dapat
disangkal adalah modal utama pemerintah dalam menjalankan fungsinya guna
mewujudkan kesejahteraan ekonomi.
Peran IPDN berkenaan dengan hal diatas
adalah bagaimana menanamkan nilai kekuasaan (kewenangan) dalam hal ini
(Pamongpraja) agar dapat digunakan untuk memberikan akses seluas mungkin pada
masyarakat sehingga aktivitasnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pada
lingkup mikro guna membebaskan dirinya dari lingkaran setan kemiskinan. Dalam banyak
realitas menggambarkan bahwa kekuasaan sering dan menjadi jamak digunakan untuk
memberi akses pada aktor pemerintahan dan kelompoknya untuk memperkaya diri,
bukan membebaskan masyarakat dari problem ekonomi.[11]
Nilai ini penting ditanamkan agar kekuasaan tak digunakan untuk kepentingan
dirinya sendiri, sebagaimana orientasi umum masyarakat ketika menjadi PNS yang
ingin menjadi kaya, bukan melayani rakyat.
Meningkatkan Kualitas Budaya, Menjawab
Nawacita 8
Kualitas
sosial budaya yang ingin diwujudkan adalah lahirnya kepedulian, kesadaran dan
keberanian (heroisme) individu
sebanyak mungkin dalam masyarakat. Indikasi paling mudah ditemukan adalah semakin
sulit menemukan individu berani dalam kasus pemberantasan korupsi. Selain itu
terkait realitas dewasa ini tantangan terberat adalah bagaimana mengurangi
budaya konsumeristik. Jika kesadaran individu lahir sebagaimana dikemukakan,
maka pada ujungnya lahir pula kesadaran kolektif (collective action). Bangsa-bangsa besar dan maju hari-hari ini
memiliki kesadaran kolektif yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsanya
dimata dunia international. Kesadaran kolektif semacam itu hanya mungkin jika
terbentuk kesadaran individu. Kesadaran individu terbentuk mulai dari
lingkungan keluarga, pendidikan dan sistem bernegara (contoh kepemimpinan) yang
akan membentuk kualitas budaya suatu bangsa (Van Poeltje,1953:28). Dalam relasi
itu peran IPDN sebagai institusi pendidikan harus mampu membentuk kesadaran
individu pada semua civitas dan alumni tentang kepedulian, kesadaran diri,
keberanian dan kemampuan mengurangi hidup konsumeristik. Kesadaran kolektif
IPDN akan menjadi simbol bagi perubahan sebagian agenda bangsa. Nilai-nilai
kepemimpinan Pamongpraja yang selama ini ditanamkan melalui asthabhrata setidaknya menjadi modal
untuk menggerakkan secara kolektif dalam interaksi dilapangan tugas.
Mengukuhkan Kebhinekaan, Menjawab
Nawacita 9
Sebagaimana
dikatakan pada Nawacita 6, realitas kebhinekaan adalah kodrat yang tak dapat
hindari. Kesadaran akan kemajemukan adalah modal dalam mewujudkan nilai ideal
ke-ikaan (persatuan). Indonesia adalah cermin atas kebhinekaan dimaksud. Dalam
kebhinekaan itulah kita membangun kesadaran untuk mencapai tujuan bersama.
Demokrasi menjadi wadah untuk mencapai kehendak bersama berdasarkan konstitusi.
Perbedaan adalah nilai bagi upaya memperkuat dan menjalin kebersamaan dalam
bentuk jejaring (web) sehingga
kelemahan yang satu dapat diperkuat oleh kelebihan yang lain. Peran IPDN dalam
hal ini adalah memastikan agar nilai kebhinekaan dan keikaan dapat terawat
dengan baik dalam interaksi kehidupan kampus sehari-hari. Perbedaan latar
belakang, agama, keyakinan, ras, suku, golongan, kedaerahan serta jenis kelamin
bukanlah halangan dalam membentuk kesadaran bersama tentang tujuan berbangsa
dan bernegara. Seluruh fasilitas yang dihadirkan untuk Praja dalam prakteknya
harus mampu menjamin hilangnya diskriminasi sehingga tak muncul perbedaan
menyolok antara yang kaya dan miskin mulai bangun pagi hingga tidur kembali. Penanaman nilai ini penting mulai dari
pembatasan kumpul kontingen (kedaerahan) guna menghindari dominasi kesukuan,
pemberian ruang bagi ekspresi kehidupan beragama (perayaan agama), serta
pemberian kesempatan bagi upaya mengembangkan kemampuan yang sekalipun berbeda
menjadi modal bagi upaya pencapain tujuan bersama.
Inilah sejumlah penting nilai dan
mungkin saja beberapa bentuk vehicle
yang muncul secara tak sengaja sehingga membutuhkan diskusi yang lebih intensif
guna memperoleh formulasi yang sistematik dan bentuk yang lebih konkrit bagi roadmap IPDN sebagai Pelopor Revolusi
Mental.
Referensi Pilihan;
Alfian, M Alfan, 2010. Menjadi Pemimpin Politik, Gramedia, Jakarta
Anwar, Rosihan, 2008. Kenang-Kenangan Pangreh Praja, Balai Pustaka, Jakarta
Finer,
S.E, 1974. Comparative Government,
Penguin Books Ltd.,Harmonds Worth, Middlesex, England
Haryanto, 2005. Kekuasaan
Elite, JIP UGM, Jogjakarta,
Ilham, Muhammad, 2008. Manajemen Strategis Peningkatan Mutu Pendidikan Kepamongprajaan,
Indra Prahasta, Bandung
Kartodihardjo, Sartono, 1981. Elite Dalam Perspektif Sejarah, LP3ES, Jakarta
Kuper, Adam, & Jessica, 2000. The Social Science Encyclopedia (terj), PT.Raja Grafindo, Jakarta
Labolo, Muhadam, 2012. Mencegah Negara Gagal, Indrapress, Jakarta,
Labolo dkk, 2008. Beberapa
Pandangan Dasar Tentang Ilmu Pemerintahan, Bayu Media, Jogjakarta
Latif, Yudi, 2014. Pancasila,
Mata Air Keteladanan. Kompas
Gramedia, Jakarta
Ndraha, Taliziduhu, 2005. Kybernologi, Jilid 1-2, Rineka Cipta, Jakarta
...............................,2010. Nilai-Nilai Kepamongprajaan, Credencia, Jakarta
M Giroth, Lexie, 2004. Edukasi dan Profesi Pamong Praja, STPDN Press, Bandung
.........................., 2009. Status dan Peran Pendidikan Pamong Praja Indonesia, Indra Prahasta, Bandung
Pamudji,
1985. Kepemimpinan Pemerintahan di
Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
Rasyid, Ryass, 2001. Makna
Pemerintahan. Yarsif Watampone, Jakarta
Sutherland, Heather, 1983. Terbentuknya
Sebuah Elite Birokrasi, Sinar Harapan, Jakarta
Suratno, Pardi, 2009. Sang Pemimpin Menurut Astabhrata, Jakarta
Susetya, Wawan, 2007. Kepemimpinan Jawa, Jogjakarta.
Sasana Karya 1956-1966. Menjongsong Peningkatannja Mendjadi Institut Ilmu
Pemerintahan, APDN Malang
Suseno, F Magnis, 1999. Etika
Kekuasaan, Prinsip-Prinsip Kewarganegaraan, Kanisius, Jakarta.
Suryaninggrat,
Bayu, 1980. Pamong Praja dan Kepala
Wilayah, Aksara Baru, Bandung
Tjokrowinoto, Meljarto,
2010. Birokrasi dalam Polemik, Pustaka Pelajar Unismuh, Malang
Webe,
Agung, 2007. Javanese Wisdom, Berpikir dan Berjiwa Besar, Indonesia
Cerdas, Yogyakarta
Varma, 2008. Politik Modern, Rajawali, Jakarta
Van Niel, Robert, 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta
Visser, Leontine, 2009.
Bakti Pamong Praja Papua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Makalah :
Nurdin, Ismail, 2010, Quo
Vadis Pamong Praja, IPDN Jatinangor
Salim Said, 2004, Meningkatkan
Nilai-Nilai Kebangsaan di Era Otonomi Daerah, Jakarta
Wasistiono, 2009, Redefenisi Kode
Kehormatan dan Nilai-Nilai Kepamongprajaan, Materi TOT Diklat Kemendagri.
Haily, Aziz, 2006, Sejarah
Pendidikan Kedinasan di Indonesia, Jakarta
IPDN, 2006, Laporan Pendidikan IPDN Tahun Akademik 2005-2006,
Jatinangor
Syafruddin, Ateng, 1963, Pamong Praja sebagai Golongan Karya Pemerintahan Umum, Makalah, Bandung
Syafruddin, Ateng, 1963, Jabatan Pamong Praja Dalam Penelitian Antroplogi dan Hukum Adat,
Makalah, Bandung.
[1]
Sebuah
catatan dalam rangka menyiapkan Praja IPDN sebagai pelopor Revolusi Mental.
[3] [3] Kpu.go.id., dokumen Visi, Misi dan Program Pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 2014-2019.
[4]Roso Daras, Benang Merah Pidato Bung Karno, dalam Rosodaras.wordpress.com
[5] Hal yang sama dilakukan pula misalnya oleh Lembaga
Pemilih Indonesia (LPI) dalam Seminar Nasional, Dari Trisaksi Melalui Nawacita Menuju Revolusi Mental, Minggu, 22
Maret 2015 di Jakarta.
[6] Dokumentasi Sasana
Karya 1956-1966. Menjongsong Peningkatannja Mendjadi Institut Ilmu
Pemerintahan, APDN Malang
[9] Rasyid, Ryaas, 1999. Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi
Etika, Yarsif Watampone, Jakarta.
[10] Lihat makalah
Taliziduhu Ndraha dalam Labolo dkk,
2008, edisi 2.
Beberapa Pandangan Dasar Tentang Ilmu
Pemerintahan, Bayu Media,
Jogjakarta.
[11] Sesuai data
Direktorat Otda Kemendagri, sampai 2015, lebih dari 300 Kepala Daerah bertalian
dengan kasus korupsi
Komentar
Posting Komentar