Membumikan Kemandirian Praja



Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Kini kita semakin menyadari bahwa sumber kemakmuran masa depan tak lagi bersandar pada seberapa besar sumber daya alam yang melimpah (comparative advantage), sebab pada saatnya sumber daya alam semacam itu akan lapuk, tak bertumbuh dan tak berkembang.  Kita percaya, bahwa sumber kemakmuran bergeser pada persoalan competitive advantage yang meliputi kecerdasan, visi dan gagasan besar, semangat pantang menyerah, percaya pada kemampuan diri sendiri sehingga tercipta kemandirian politik, ekonomi dan budaya. Diluar semua itu tentu saja diperlukan keyakinan yang teguh lewat doa untuk terus mengucap syukur kepada Yang Maha Pencipta. Dalam hubungan itulah maka dunia pendidikan menjadi garda terdepan untuk menciptakan insan manusia yang unggul dan berkarakter.  Inti orasi ilmiah Ketua DPD RI (Irman Gusman) lewat tajuk Pembangunan Sumber Daya Insani yang Unggul dan Berkarakter Menghadapi Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada Dies Natalis ke-50 Universitas Negeri Semarang (Unnes), Senin, 30 Maret 2015 cukup mengusik pikiran saya untuk berpikir lebih jauh bagi pembangunan dan masa depan IPDN 5 hingga 20 tahun kedepan. Ditengah upaya mendorong tanggungjawab pendidikan sebagai suatu “gerakan” dan bukan “program”, kita perlu memaknai kembali outcomes pendidikan itu sendiri sesuai visi pemerintah dewasa ini. Apabila pendidikan diharapkan mampu melahirkan kemandirian politik, ekonomi dan budaya, maka peserta didik seperti apakah yang dapat mencirikan variabel tersebut?
Bagi saya, kemandirian politik ditandai oleh kemampuan peserta didik melahirkan gagasan dalam skala mikro hingga makrokosmos.  Ide orisinil dalam bentuk konsep yang dipresentasikan praja melalui lomba karya ilmiah nasional adalah contoh konkrit dari output kemandirian politik.  Pada lingkup yang lebih luas jika gagasan tersebut dikembangkan secara deduktif maupun induktif bukan mustahil menjadi rujukan yang dapat diadopsi secara universal. Inilah bibit kemandirian politik, dimana IPDN dalam latar IIP dan STPDN pernah menjadi rujukan pendidikan kepamongprajaan antara tahun 1967-2000. Kini IPDN mesti membangun kembali marwahnya sebagai pendidikan kedinasan yang memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage).  Bukankah kita pernah menjadi sentral rujukan atas ide desentralisasi di tahun-tahun awal pasca runtuhnya orde baru (1999)? Dalam konteks domestik, secara politik Indonesia pernah menjadi rujukan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika ketika Soekarno mampu meletakkan gagasan Dasasila Bandung (25 April 1955) sebagai platform perjuangan bersama mengusir penjajah di negeri masing-masing. Indonesia kini memperlihatkan diri dihadapan dunia melalui gagasan konkrit seperti pembebasan Palestina dan anti terorisme. Jika itu dapat dilakukan lewat negara dan organisasi masyarakat sekelas Muhammadiyah dan NU, maka bukan tak mungkin pola pemikiran yang selama ini cenderung berkiblat ke Barat dapat bergeser ke Timur dengan Indonesia sebagai sentrum politiknya.  Bukankah pada tingkatan semesta, dunia pernah merujuk pada Pemikiran Timur sebagai titik pijak analisis pengetahuan ilmiah sebelum datangnya masa renaisance (pencerahan) pada abad ke-18 di Eropa Barat. 
Kemandirian ekonomi pada intinya adalah bagaimana menghasilkan peserta didik yang memiliki kreativitas tanpa bersandar pada nilai kuantitatif uang sebagai sumber pemecah setiap masalah. Kreativitas dapat membuahkan berbagai altenatif pilihan sebagai upaya penyelesaian masalah, bukan pasrah dan bergantung pada satu hal.  Pada tahun-tahun pertama STPDN didirikan (1990), semua kreativitas praja pada berbagai acara kolosal seperti puncak kegiatan hari proklamasi, pendidikan, pahlawan, Kartini, Sumpah Pemuda, Kebangkitan Nasional, perayaan agama hingga malam perpisahan dirayakan dengan cara gotong royong tanpa menumpukan pada uang sebagai satu-satunya harapan hidup. Uang penting, namun bukan segala-galanya, ibarat istri anda diberi uang setiap bulan (kuantitatif), namun yakin Ia tak akan puas jika jarang dibelai (kualitatif). Tumpulnya kreativitas dan inovasi Praja menunjukkan rendahnya kemandirian ekonomi. Menyewa event organizier dalam setiap acara puncak, termasuk menghabiskan ratusan juta rupiah hasil penyisihan gaji setiap bulan di malam perpisahan dengan menghadirkan artis berkelas ibukota yang diadakan setiap akhir masa pendidikan lewat Gelar Purna Praja (GPP) merupakan bentuk dari kegagalan mentransformasikan spirit kemandirian ekonomi dalam kerangka revolusi mental praja. Dalam skop yang lebih luas, menggantungkan diri pada gaji pokok, sertifikasi dan tunjangan kinerja dengan menjentikkan mesin finger setiap pagi hingga sore adalah juga gambaran dari sepinya kemandirian ekonomi. Mesin finger telah menciptakan ketergantungan, kreativitas mandek, inovasi berhenti, bahkan daya nalar melemah hingga ke titik nadir.  Pada nilai tertentu tercipta kemunafikan dan kebohongan, karena setelah finger semua orang terlihat masuk kerja, kenyataannya kembali kerumah masing-masing hingga kembali petang nanti. Dosen harus berani keluar dari jeratan kabel mesin finger, agar Ia mampu membuat karya besar lewat pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Inilah bentuk kreativitas yang dapat berdampak bagi alternatif ekonomi jangka panjang, bukan menanti kebaikan hati petugas blok menyodorkan kuitansi setiap bulan.
Dalam pikiran kreativitas saya, lahan luas dibelakang IPDN adalah sumber aset yang dapat dikembangkan lewat pembangunan yang bernuansa Taman Pamongpraja Muda berlapis rumput Jepang laksana Padang Golf dengan melibatkan pihak ketiga. Lewat pembangunan yang terintegrasi dengan sejumlah pengungkit ekonomi seperti Restoran Nusantara versus Hoka-Hoka Bento, Pizza Hut, Mic Donald, KFC plus wifi, agar semua Praja dan keluarganya yang ingin melepas rindu pasca pengukuhan dan wisuda dapat duduk atau berbaring santai di atas rumput taman sambil memandang panorama golf dan rumah penduduk dari kejauhan. Konsekuensinya, semua kantin disela-sela kelas dan wisma Praja segera ditutup agar fokus untuk belajar dan tinggal, bukan tempat transaksi Piscok (Pisang Coklat) dan Beng-Beng antara Praja dengan Aa’ sebelum dosen memberikan perkualiahan. Pohon-pohon Pinus (tidak termasuk Panus) dapat ditumbuhkan agar menjadi peneduh daripada membiarkan Praja dan keluarganya berseliweran kepanasan dilapangan parade sekaligus meninggalkan sampah tak karuan pasca wisuda. Kita juga membutuhkan sebuah hotel berbintang 5 yaitu Hotel Pamongpraja.  Bagi keluarga Praja yang tak sempat menonton parade prosesi pengukuhan Pamongpraja Muda karena keterbatasan undangan, cukup menonton sepuasnya dari lantai 15 Hotel Pamongpraja. Hotel yang akan dibangun sebaiknya dilengkapi dengan ruang meeting yang representatif agar dapat digunakan untuk seminar berskala international tanpa bergantung pada Hotel Katulistiwa sebagai langganan Bendahara PPTK di setiap bagian. Hampir semua perguruan tinggi ternama kini memiliki cottage/wisma/gueshouse dengan manajemen perhotelan standar, bukan manajemen Penginapan Palapa yang penuh horor saat masuk midnight. Saya berpikir sebenarnya ruang kelas di IPDN untuk beberapa diantaranya dapat diubah menjadi ruangan kelas mirip Theater XXI (lihat gedung utama Trisakti, ITB, UI, UGM).  Saya membayangkan ketika Bu Etin mengajar misalnya, hanya satu sorot lampu yang fokus ke beliau, ruangan sengaja di desain gelap dan kedap suara sehingga praja fokus memandang sang pembicara, atau mungkin tertidur lelap akibat nyamannya ruangan serta rileksnya perkuliahan Bu Lina. Dengan kreativitas ekonomi semacam itu maka kita dengan sengaja telah mengendalikan siklus ekonomi Praja dan keluarganya yang dibawa dari 538 daerah otonom masuk ke kas Badan Usaha Milik IPDN. Selama ini yang diuntungkan lewat belanja Praja dan keluarganya setiap tahun (2x) adalah hotel dan restoran diluar IPDN. Di depan IPDN kini bahkan berdiri tegak apartemen besar sebagai pleasure datangnya keuntungan besar atas eksistensi IPDN. Sementara Dosen, Pengasuh dan Pelatih tetap saja gigit jari dengan pendapatan dibawa rata-rata. Sebagian keuntungan dari perputaran ekonomi tentu saja harus dipikirkan agar dapat di-sharing untuk kesejahteraan civitas, bukan disetor seluruhnya pada negara tanpa menyisakan sesenpun, itu konyol, alias gagal menegakkan kemandirian ekonomi. Kita cukup membangun seperlunya, agar hotel, apartemen, penginapan, rumah sewa penduduk, restoran, warung, angkot dan tukang ojek diluar kampus IPDN tetap kecipratan ‘barokah’ IPDN sekaligus bentuk corporate social responsibility (CSR). Diluar konteks IPDN, Pemerintahan Indonesia harus mampu menciptakan kreativitas sebagai alternatif untuk melepaskan diri dari lingkaran ketergantungan ekonomi. Dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia melalui industri alternatif, kita dengan mudah dapat melepaskan diri dari ketergantungan pangan dan ekonomi dari berbagai donatur dan negara lain yang berperilaku ‘tengkulak’.
Titik penting kemandirian budaya terletak pada soal bagaimana melahirkan anak didik agar yakin dan percaya atas dirinya sendiri sebagai pembeda dari yang lain. Kemampuan anak didik memelihara perbedaan sebagai refleksi atas karakteristik dan identitas dirinya dapat menjadi modal tak ternilai dalam membangun bangsa. Bagi seorang Praja, tampil diatas karakter utama jauh lebih baik daripada menjadi orang lain yang bersifat kepura-puraan.  Moment hari Kartini lewat penampilan Putri Nusantara (Pinus) dan Putra Nusantara (Panus) di Cilandak dua hari lalu menampilkan berbagai perbedaan dari karakteristik lokal masing-masing. Sayangnya, praja belum mampu memaknai simbol budaya dalam arti sesungguhnya, teriakan histeria sebagai ekspresi sponsor bagi Pinus dan Panus di atas panggung dari tiap-tiap kontingen sekalipun dihadiri Rektor lebih merefleksikan pentas sebagai lapangan sepak bola yang dihadiri penonton bonek dalam Liga Sepak-bola Indonesia (LSI) asuhan PSSI tanpa masa depan, ketimbang dihadiri Praja sekelas penikmat budaya yang sebenarnya. Secara pribadi, tak ada yang dapat dinikmati kecuali suara kompetitif antara sorak-sorai pengunjuk rasa budaya, musik rock and roll Praja, asap tebal sebagai upaya mendramatisir suasana, serta suara bising speaker pinjaman tetangga sebelah (BNP). Tentu saja semua “kekacauan” tersebut sekaligus mempercepat langkah Rektor untuk segera kembali ke Jatinangor. Diluar itu, apakah praja kehilangan identitasnya? Mungkin iya, cirinya dalam setiap aktivitas yang menggunakan Mut dan Pet sepertinya kurang Pede untuk diletakkan di kepala, lebih suka ditanggalkan atau disimpan dalam celana saat pesiar. Sebelum masuk IPDN mereka bersemangat ingin menjadi Praja agar gagah menggunakan baju dinas. Semangat itu tak berlangsung lama, luntur ketika memasuki Nindya dan Wasana, rasanya lebih suka menggunakan baju preman ketimbang baju dinas, bahkan kalau bisa dipercepat wisuda itu lebih baik, ada rasa tak betah, pengen cepat selesai dan berbaur dengan masyarakat daripada berbaur dengan pengasuh. Kebanggaan sebagai praja melemah, semangat hanya muncul saat atraksi drumband, sisanya tidur di kelas, dosen kebingungan, pelatih merasa tak dihargai, akhirnya pengasuh memiliki seribu satu alasan untuk menjewer. Budaya mesti dimunculkan pada peserta didik lewat fisik (body), pikiran (mind) dan jiwa (spirit). Fisik lazimnya membawa simbol berupa pernak-pernik yang mewakili pikiran dan jiwa. Pikiran menghasilkan gagasan sebagai investasi kebudayaan, sedangkan jiwa melahirkan nilai sebagai sumber bagi pembentukan perilaku individu, masyarakat, bangsa dan negara.  Inilah kemandirian budaya, sekaligus merangkumnya dalam ambisi besar beberapa politisi agar ada ‘pelangi’ di tengah Praja sebagai Pelopor Revolusi Mental....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian