Menggugat Superioritas Demokrasi Liberal, Catatan Atas Makalah Ryaas Rasyid
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Kebebasan
(liberty) dan keamanan (security) adalah dua variabel utama yang
melandasi tujuan utama terbentuknya pemerintahan. Kedua variabel tersebut pada
akhirnya bermuara pada variabel kunci yaitu terciptanya kesejahteraan
masyarakat (welfare state). Kebebasan
menjadi modal bagi setiap individu untuk mengekspresikan setiap gagasan yang
dimiliki sepanjang tak merugikan orang lain. Disebagian besar negara Eropa dan
Amerika, kebebasan menjadi modal paling berharga sehingga melapangkan setiap
ide hingga ke puncak paling tinggi yang dilindungi negara. Namun perlu diingat bahwa disepanjang
penggunaan kebebasan bagi setiap warga negara terdapat variabel keamanan
sebagai instrumen yang membatasi meluapnya kebebasan hingga menjadi ancaman
bagi orang lain. Batasan kebebasan yang
kemudian menjadi salah satu inti dari pemaknaan atas demokrasi pada akhirnya
mesti dibatasi ketika berhadapan dengan kebebasan orang lain. Disinilah
pentingnya peranan variabel kedua yaitu keamanan dalam menjamin kebebasan
setiap individu terhadap penggunaan kebebasan itu sendiri, sekaligus menjamin
ketiadaan ancaman atas ekspresi kebebasan orang lain. Untuk membatasi luapan
kebebasan tadi, maka menjadi penting peran fungsi pengaturan pemerintah (regulation) sehingga tercipta
ketertiban sosial (social order). Jika pengaturan oleh pemerintah bersifat
terbatas, maka sistem sosial secara alamiah membatasi kebebasan setiap individu
mulai dari entitas paling tradisional (keluarga) hingga kelompok-kelompok
berinisial agama. Simpelnya, andaikan tak ada satupun hukum negara yang
mengatur soal prostitusi, maka sistem agama-lah yang paling dapat diandalkan
untuk mengendalikan bisnis syahwat yang paling menggairahkan seperti itu.
Bahkan bagi Ryaas sendiri, sekiranya tak ada ancaman dalam agama seperti neraka
dan sorga, mungkin profesi yang paling dipilih oleh laki-laki paling normal dan
paling rasional adalah bisnis prostitusi. Tentu saja selain secara ekonomi
memberi tambahan yang cukup fantastis, secara konsumtif juga dapat memberi
banyak pilihan paling menggiurkan. Saya pilih dua! mengutip iklan populer
Yakult.
Bagi saya, catatan Daron Acemoglu dan
James. A Robinson dalam buku populer dewasa ini, Why Nations Fail, The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012,
dalam edisi kedua Indonesia, Januari 2015), sudah cukup menggambarkan mengapa
ragam sistem politik yang dipraktekkan di dunia barat dan timur tak kunjung
memberi banyak harapan bagi masyarakatnya. Dalam pemikiran saya, dan itu
sejalan dengan kesimpulan Taliziduhu Ndraha pada suatu kesempatan (2005), bahwa
sistem politik apapun yang kita terapkan tak memiliki korelasi yang kuat bagi
terciptanya kesejahteraan rakyat. Semua penerapan idiologi dan sistem politik pada
suatu pemerintahan sangat bergantung pada variabel kunci yaitu ‘kepemimpinan’,
yang dalam makalah Ryaas dilengkapi dengan variabel manajemen dan
organisasi. Terhadap isu demokrasi
setidaknya saya memiliki sejumlah argumentasi atas diskusi menarik tersebut
dari gejala global hingga menukik dalam konteks Indonesia. Pertama, negara-negara
yang bertumbuh dengan sistem politik non demokrasi di Asia dan Amerika Latin
seperti China, Singapura, Malaysia dan Kuba misalnya, tidaklah dapat dikatakan
lebih suram dari aspek kesejahteraan ekonominya dibanding misalnya India,
Indonesia, Philipina dan Afrika Selatan yang boleh dikatakan mengalami big bang demokrasi. Saya mengecualikan
Amerika dan Inggris yang jauh lebih stabil sebagai pengekspor paham demokrasi. Sebagai
catatan pinggir saja, pertumbuhan ekonomi kwartal pertama Indonesia dimasa
Jokowi (Mei 2015) hanya bertumbuh di atas rata-rata 4,7%, selisih 0,5%
dibanding India (4,2%) yang sama-sama secara konstitusional menerapkan sistem
politik demokrasi. Sementara China dan Singapura yang tetap keukeh dengan sistem politik otoriter
tumbuh rata-rata normal di atas 8-12% (diluar krisis yang sewaktu-waktu menjadi
faktor penentu fluktuasi). Catatan lain
tentu sedikit mengerikan ketika menengok kasus Soviet yang rontok tanpa
demonstrasi, sebuah deskripsi bagaimana pemerintahan mengalami kehancuran
berkeping-keping akibat kegagalan demokrasi. Kedua, hampir semua
negara yang kini tak bergeming di atas idiologi dan sistem politik non
demokrasi seperti China dan Singapura dalam kenyataannya berpraktek kapitalis
sebagai ciri utama pengelolaan sumber daya ekonomi di negara-negara demokrasi. Bagi
negara-negara tersebut, mendiskusikan apakah idiologi dan sistem politik
otoriter maupun demokrasi yang akan digunakan, sepanjang pemerintah lewat
kepemimpinan yang efektif mampu menjamin hidup warga negaranya dari aspek
sandang, pangan dan papan (kesejahteraan minimum), maka menjadi tak relevan
memperbincangkan sistem politik apakah yang akan diterapkan. Dalam bahasa
sinisme untuk kaum politisi, pikiran boleh idealis, bicara boleh sosialis,
perut boleh kapitalis, sementara dibawah perut bukankah boleh liberalis. Tak begitu
penting apakah kucing putih atau kucing hitam, sepanjang mampu menangkap tikus,
silahkan berbisnis ke negara-negara tersebut. Tampaknya, sistem politik tak
lagi tegas dicirikan oleh setiap negara yang menganutnya, pada faktanya lebih
pada campuran, sebagaimana juga dalam sistem pemerintahan Indonesia yang tampak
secara konstitusional presidensial, namun realitasnya beraroma
parlementer. Ketiga, jika dibandingkan
dengan kasus Asia, negara-negara dengan ciri sistem politik traditional (Monarchi-Otoriter) seperti Malaysia,
Brunei, Kamboja dan Thailand dalam faktanya sejauh ini masih eksis sekalipun
berhadapan kuat dengan tekanan sistem politik modern (demokrasi liberal).
Fenomena ini setidaknya dijelaskan oleh Pavin Chachavalpongpun (Center for
Southeast Asian Studies Universitas Kyoto, 2014), bahwa eksistensi sistem politik monarchi semacam itu sangat bergantung
pada kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri pada tiga level utama yaitu identitas
pribadi, nasional dan internasional. Keempat negara tersebut paling tidak tetap survive disebabkan oleh tiga variabel
tadi. Keempat, negara-negara di
timur tengah yang mengalami serpihan ‘arab
spring” pasca ‘revolusi melati’ tak memiliki banyak pengalaman transisi
dari sistem politik otoriter ke sistem politik demokrasi sebaimana pengalaman Indonesia. Mursi dan seluruh pembawa panji revolusi di
Mesir faktanya tak jauh lebih otoriter di bandingkan rezim yang ditumbangkan
Hoesni Mubarak. Demikian pula fakta di
sepanjang timur tengah yang kini sedang dalam proses pemulihan tanpa masa depan
yang pasti. Menggunakan tesis Azyumardi Azra (2013), Indonesia setidaknya memiliki tiga faktor penting yang memuluskan
transisi demokrasi sejauh ini yaitu, pengalaman demokrasi yang mengalami
fluktuasi sejak demokrasi liberal (1945-1959), demokrasi terpimpin (1959-1958),
demokrasi Pancasila (1958-1998), dan demokrasi liberal (1999-sekarang). Faktor
lain yang cukup mempengaruhi adalah kemampuan middle class memberi alternatif sebagai produk human investman era rezim orde baru ke jalan lurus menuju
konsolidasi demokrasi yang relatif stabil. Amien Rais misalnya memberi jalan
bagi lokomotif reformasi, Yusril menyentuh kesakralan amandemen konstitusi,
Ryaas memberi pilihan bagi terbukanya katup desentralisasi, serta sejumlah
tokoh penting reformasi yang turut mempercepat transisi demokrasi. Beruntung,
semua gagasan tersebut memperoleh ruang yang cukup di era Habibie hingga
pemerintahan selanjutnya. Dibagian lain kelompok-kelompok feodal yang selama
ini memainkan peran sebelum kemerdekaan tak begitu dominan dalam mengendalikan
transisi demokrasi, kecuali menyetujui tanpa syarat atas semua proposal yang
diajukan oleh kelompok middle class. Kelima, dengan menggunakan Indeks
Demokrasi Indonesia (IDI), sekalipun tak dapat digeneralisasi, saya setuju
bahwa faktor kepemimpinan sangat berpengaruh dalam mendongkrak kinerja
birokrasi pemerintahan. Sebagai contoh fenomena kepemimpinan di tingkat lokal,
pasca ditinggal tokoh-tokoh kunci seperti Fadel Muhammad, Gamawan Fauzi, Jokowi
dan I Gede Winase, daerah Gorontalo, Sumbar, Solo dan Jembrana tak
memperlihatkan laju kinerja governance
yang lebih baik (lihat IDI, 2012-2014).
Dalam konteks Indonesia, pasca runtuhnya rezim Soeharto kita mesti
mengakui bahwa angka pertumbuhan ekonomi belum memperlihatkan cuaca yang lebih
baik bagi kinerja pemerintahan dewasa ini. Tanpa melihat kasus Timur Tengah
yang sulit menantikan datangnya rezim pengganti yang jauh lebih baik dari yang
ditumbangkan, Mahathir, Lew Kuan Yeuw dan Soeharto di Asia adalah cermin tiga
sahabat yang patut diberi catatan ketika membawa Malaysia, Singapura dan
Indonesia dalam kendali sistem politik non demokrasi kearah pertumbuhan ekonomi
yang relatif lebih stabil (Urbaningrum, 2015). Perbandingan semacam itu
seringkali menimbulkan semacam kerinduan atas romantisme masa lalu dalam
ekspresi sekelompok orang, ‘piye kabare
bro, Uenak jamanku to? Keenam, bagi saya, tanpa menutup
mata terhadap penyakit bawaan demokrasi (defective
of democrazy) persoalan utamanya dalam praktek di Indonesia lebih pada
pilihan mekanisme demokrasi, bukan sistem politik itu sendiri. Sistem hanyalah
sebuah pilihan bilamana digunakan sesuai suasana kebatinan masyarakat di suatu
periode (Ryaas, 2001). Menggunakan mekanisme langsung dalam memilih eksekutif
pada masyarakat dengan tingkat pendidikan dan pendapat rendah sama artinya kita
sedang mengubur masa depan setiap individu lewat kelemahan demokrasi itu
sendiri (one man one vote). Pada lajur legislatif, pemilihan mekanisme
proporsional terbuka sama maknanya dengan upaya pembunuhan berencana terhadap
masa depan partai politik yang menjadi salah satu ciri utama dalam sistem
politik demokrasi itu sendiri. Partai tak lebih dari sekedar event organizer, atau semacam perahu
penyeberangan antar sungai asal jelas NPWP-nya, Nomor Piro Wani Piro. Inilah
sejumlah persoalan yang tampak menjadi kerikil tajam dalam pembangunan
demokrasi di Indonesia, sekaligus menjadi kekuatiran bagi negara jiran Malaysia
dan Singapura dalam transisi yang terasa sedang mengendap-ngendap. Sekalipun
Malaysia tampak solid, namun tanpa malu-malu sejumlah elite partai UMNO yang
tergabung dalam Barisan Nasional (BARNAS) rutin berkunjung ke Indonesia guna
mempelajari transisi dan pembangunan demokrasi yang kini memasuki tahapan akhir
konsolidasi. PKR sebagai simbol partai
oposisi adalah sinyal bagi masa depan demokrasi yang mungkin tak akan
terhindarkan di Malaysia di kelak hari. Sementara Singapura, sepeninggal ‘Bapak
Bangsa’ bagi 6,5 juta penduduknya, seperti sedang memasuki era ‘galau’ akan
masa depannya sendiri yang menurut catatan majalah Time (April, 2015) sedang
berada di titik keraguan untuk melangkah ke sebuah sistem politik yang lebih
menjanjikan.
Komentar
Posting Komentar