Catatan Pinggir Pertemuan Alumni dan Ahok



Oleh. Dr. Muhadam Labolo

Ketika Ahok menyempatkan diri bertemu dengan Dewan Pimpinan Nasional Ikatan Keluarga Alumni Perguruan Tinggi Kepamongprajaan (DPN IKPTK) Senin, 14 September 2015 pukul 15.30-16.30 di ruang Balai Kota Kantor Gubernur DKI Jakarta, pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh ketua umum adalah apakah konten dan konteks yang disampaikan Pak Gubernur tentang ide pembubaran IPDN? Pertanyaan tersebut sekaligus upaya untuk memperoleh klarifikasi langsung dari Mr. Ahok secara man to man, agar tiada hutang dan tiada dusta diantara kita, meminjam kompilasi lirik lagu klasik Pance Pondaag. Sebelum itu Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA sebagai ketua umum memperkenalkan sejumlah anggota dewan penasehat seperti Dr. Made Suwandi, M.Soc (mantan Dirjend PUM Kemendagri), Drs. Andi Luthfi Mutty, MSi (Mantan Bupati Luwu Utara dua periode plus anggota DPR RI Periode 2014-2019 dari Partai Nasdem), Drs. Fadjar Pandjaitan, MSi (mantan sekda provinsi DKI Jakarta) Ketua IKPTK Provinsi DKI Jakarta periode 2014-2019, Drs. Syafrizal, MSi (Kabag Perencanaan di Ditjend PUM Kemendagri), serta saya sendiri sebagai anggota sekaligus Ketua Departemen Pusat Kajian Pemerintahan. Saya pikir kehadiran kami berlima cukup representatif  mewakili alumni APDN, IIP, STPDN dan IPDN.
Sebenarnya pertanyaan ketua umum lebih dulu dijawab Ahok karena beliau memahami maksud kedatangan kami ke kantor gubernur. Ahok mengklarifikasi bahwa konteks statement beliau pada dasarnya ditujukan pada bapak Presiden Jokowi saat bersama dalam satu mobil. Sedangkan konten pembicaraan dalam konteks tersebut sebenarnya bukanlah soal IPDN, namun perkara rencana pemerintah yang akan melakukan moratorium bagi ASN, termasuk pengangkatan guru honorer dalam  lima tahun kedepan. Ahok berpendapat dan menyarankan jika moratorium jadi dilaksanakan, sebaiknya Presiden Jokowi tak bersikap diskriminatif di instansi lain, termasuk penerimaan ASN melalui IPDN. Presiden Jokowi tampaknya hanya tersenyum kecil ditengah semangat Ahok memberikan masukan atas berbagai perkara kebijakan di Indonesia.  Selesai klarifikasi itu Andi Luthfi memotong orasi Ahok yang tak kenal koma, “Pak Gub harus paham bahwa sistem rekrutmen ASN pada umumnya berbeda dengan rekrutmen pada IPDN.  Ini sama halnya dalam dunia militer dan kepolisian dimana Akmil dan Akpol tetap melalui jalur khusus dibanding rekrutmen tentara dan polisi biasa (sistem reguler). Statement Pak Gub juga cukup melukai dan mendemoralisasi semangat kerja alumni IPDN hingga diperbatasan wilayah yang tak satupun ASN mau bekerja disana”. Ahok menimpali bahwa jika IPDN dikatakan khusus, apakah kelebihan IPDN dibanding ASN lain? Bukankah STAN lebih khusus dan tidak mutlak menjadi ASN seperti IPDN? Kalau dikatakan IPDN lebih baik dari ASN lain buktinya di DKI Jakarta tidak semua alumni IPDN bagus.  Beberapa diantaranya tak dapat membuat nota dinas dan mengkonsep surat dengan cepat.  Rasanya dada saya sedikit meringis karena dialog dalam ruang tertutup tersebut seperti dikuasai sepenuhnya oleh Ahok tanpa sela untuk menginterupsi. Ditengah ketegangan antara Ahok dan Pak Luthfi sesekali Pak Djo mencoba masuk namun gagal.  Saya tiba-tiba memberanikan diri bicara soal perkembangan rekrutmen IPDN sejauh ini, saya katakan bahwa sistem rekrutmen IPDN selama ini sebenarnya sudah mirip seperti STAN. Dimulai sejak angkatan 19, rekrutmen IPDN tidak lagi langsung menjadi CPNS sebagaimana saya alami ketika masuk tahun 1992. Mereka lewat tes di tingkat akhir, jika tak lulus mesti mengulang kembali sebagaimana angkatan 19, 20 dan 21 beberapa tahun lalu.  Menurut pengalaman saya, dulu, begitu Praja masuk STPDN cukup menunggu setahun, SK CPNS segera keluar 80%. Sekarang semua Praja mesti melewati tes CAT oleh Bandiklat dan Kemenpan. Bahkan dalam tiga tahun terakhir sistem penerimaan IPDN menyertakan institusi KPK lewat tes integritas. Dalam masa pendidikan selama empat tahun tersebut Praja mengalami proses pendidikan khusus (Jarlatsuh) sampai mereka memperoleh izajah dan SK CPNS/PNS. Jadi, kalo Pak Gub menyatakan bahwa sistem rekrutmen IPDN tidak jelas dan kurang transparan sebenarnya tidak juga, bahkan mungkin kamilah institusi pendidikan yang paling pertama berpartner dengan KPK.  Itu respon saya dengan tenang dan percaya diri.
Semestinya Ahok memahami bahwa proses pendidikan selama 4 tahun tersebut adalah modal khusus dilapangan pemerintahan. Inilah yang membedakan antara ASN lain yang hanya direkrut seketika, prajabatan dan ADUM selama sebulan lalu tiba-tiba dilantik di satu jabatan. Tentu saja input, proses dan outputnya beda. Kalau Ahok mengatakan bahwa tidak semua alumni IPDN itu bagus dan dengan alasan itu pula IPDN mesti dibubarkan saya pikir itu adalah pemikiran yang sesat secara metodologi, ahistoris, emosional dan politis. Secara metodologis, kasus-kasus di DKI Jakarta sebaiknya tak mudah digeneralisasi.  Apakah karena Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin mantan anggota KPU atau Prof. Dr. Miranda Gultom pernah disangka korupsi lalu penting membubarkan Universitas Indonesia (UI) yang telah memproduk banyak ilmuan, politisi, pengusaha, dosen, guru dan pemimpin baik di Indonesia? Apakah karena ulah Prof. Dr. Rudi Rubiandini sebagai tersangka korupsi Migas lalu perlu membubarkan Intitut Teknologi bandung (ITB) yang telah melahirkan Ir. Soekarno, Prof. Habibie serta sederet orang hebat lain di Indonesia? Apakah karena perbuatan Prof. Dr. Musakkir, SH, MH  di Hotel Grand Malibu Makassar lalu Ahok berkenan membubarkan Universitas Hasanuddin (Unhas) yang banyak menghasilkan sumber daya manusia berkualitas di wilayah Indonesia Timur seperti Jusuf Kalla? Apakah karena keikutsertaan Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira sebagai tersangka anggota KPU dimasa lalu, kemudian dengan mudah kita sudi membubarkan Universitas Padjadjaran (Unpadj)? Atau apakah karena aksi Prof. Dr. Denny Indrayana yang disangka Polisi sebagai aktor pungli dalam projek payment gateway mesti merekomendasikan pembubaran Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai institusi tertua dan banyak melahirkan pemimpin terbaik bangsa di Indonesia? Bahkan, apakah hanya karena tindakan Prof. Dr. Rokhmin Dahuri dianggap salah hingga dibui, mestikah harus meniadakan Intitut Pertanian Bogor (IPB) yang telah berkontribusi bagi pembangunan bidang pertanian dan lingkungan hidup di Indonesia?
Secara historis, pendidikan Kepamongprajaan diresmikan Soekarno pada tanggal 17 Maret 1956 di Malang adalah upaya untuk mewujudkan kader pemerintahan yang mampu melaksanakan urusan pemerintahan umum (algemene besturen). Spesifikasi pada semua urusan pemerintahan seperti pertanian, pendidikan, kesehatan, kehutanan, hukum, sosial budaya, ekonomi mesti dikendalikan oleh seorang kader pemerintahan yang memiliki kapasitas memadai. Kapasitas itu berkaitan dengan seperangkat ilmu pengetahuan yang luas agar dapat melaksanakan inti dari tugas pemerintahan umum itu sendiri yaitu koordinasi, pembinaan dan pengawasan. Demikian pentingnya urusan koordinasi misalnya, presiden perlu membentuk kementerian koordinator (Menko) yang menjalankan fungsi koordinasi, pembinaan sekaligus pengawasan. Ukuran keberhasilan pendidikan Pamongpraja bukan seberapa banyak jumlah praja yang akan diterima sebagai ASN, namun ukuran sebenarnya adalah semakin tingginya moralitas pelayanan publik oleh Pamongpraja dilapangan pemerintahan, serta semakin tingginya efisiensi dan efektivitas yang dicapai dalam pelayanan. Variabel pertama dapat dilihat secara kasat mata oleh Ahok, bahwa hampir semua Lurah dan Camat terbaik yang ke Istana menerima penghargaan atas berbagai prestasi dari Presiden Republik Indonesia setiap tahun adalah alumni IPDN. Pemandangan itu dapat dimaknai bahwa moralitas alumni IPDN secara umum masih baik jika hanya korupsi satu-dua karung beras miskin (Raskin) dibanding alumni lain yang cenderung korupsi dengan nilai milyaran bahkan triliunan rupiah. Jadi, jangan bawa-bawa institusi pendidikan jika Ahok hanya melihat kasus perkasus sejak menjadi Bupati di Belitung Timur hingga Gubernur di DKI Jakarta. Terhadap ukuran atas variabel kedua Ahok tidak perlu melihat contoh jauh-jauh, bukankah Ahok misalnya mengakui di depan pengurus IKPTK  bahwa banyak alumni IPDN ternyata mampu menerjemahkan ide-ide gilanya seperti Kepala Dinas Perhubungan dan Kepala PTSP DKI Jakarta angkatan 02 dan 07 IPDN.  Mereka bekerja dan melayani secara efisien dan efektif. Hampir tak ada perintah yang tak selesai dilaksanakan. Ibarat Handphone, alumni IPDN seperti memiliki daya tahan melebihi lempengan baterey Samsung dan Iphone6, hingga diperebutkan oleh user di daerah (lihat permintaan Wagub Dedi Mizwar dari Provinsi Jawa Barat misalnya). Daya tahan tersebut sebanding dengan 2-3 tenaga ASN lain yang direkrut dan dipekerjakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bahkan setiap dilakukan lelang jabatan (open biding) dilingkungan pemerintah DKI Jakarta selalu didominasi oleh alumni IPDN. Untuk kasus ini Ahok sebenarnya mengakui sekalipun tak begitu ikhlas menyampaikan hal itu di depan pengurus IKPTK.
Ahok menurut saya adalah contoh salah satu pemimpin yang cukup emosional dimana setiap isu yang disampaikan bersifat sentimentil. Resikonya, seperti menepuk air di dulang, terpercik tidak saja pada orang lain, termasuk membasahi mukanya sendiri. Statment Ahok menurut saya secara emosional telah memicu integrasi alumni pendidikan tinggi Kepamongprajaan dari Sabang sampai Merauke dimana Ahok menjadi center of common enemy. Bagi Ahok sendiri, tanpa sadar bahwa semua statement yang dikeluarkan selama ini telah menggodam mukanya sendiri, dimana setiap pejabat yang dilantik dari eselon 4 hingga 2 di DKI Jakarta selalu saja diwarnai alumni IPDN Manglayang yang lolos lelang jabatan. Ironisnya, Ahok sendiri tak banyak tau soal latar belakang pejabat yang dilantik tersebut, kata salah seorang pejabat teras dilingkungan Pemda DKI Jakarta via handphone beberapa saat sebelum pertemuan. Akhirnya, semua perkara yang dilempar Ahok sejauh ini menurut beberapa kawan yang represif menghadapi statmentnya mengatakan, secara politis hanya menguntungkan posisinya, dimana setiap statement yang disiapkan oleh tim suksesnya adalah panggung politik menuju suksesi Gubernur DKI Jakarta tahun 2017.
Diluar semua itu secara pribadi, saya mengakui bahwa Ahok memang pemimpin yang cukup cerdas, diplomatis, pandai berbicara dengan gaya ceplas-ceplos dan tak mudah ditengarai, serta berani dengan gagasan ekstremnya. Namun menurut saya, disitulah bertengger sekaligus kesombongan dan keangkuhan pemimpin yang menyandang double minoritas. Jika ia tak hati-hati dapat berpotensi melahirkan tirani minoritas di kelak hari.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian