Eksistensi IPDN, Tinjauan Historis, Filosofis, Normatif dan Relevansi Kekinian
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Latar Belakang
Pasca tewasnya Wahyu Hidayat (2004)
dan Clif Muntu (2007), IPDN menjadi satu-satunya kampus paling populer karena
insiden kekerasan. Rentetan insiden
tersebut semakin melemahkan citra IPDN sebagai satu-satunya pendidikan tinggi Kepamongprajaan
yang memiliki reputasi positif sepanjang didirikan dilingkungan Kementrian Dalam Negeri dalam bentuk KDC, APDN, IIP, STPDN hingga IPDN sekarang ini. Dimasa lalu, pendidikan semacam OSVIA dan MOSVIA menjadi cikal bakal dan sumber inspirasi utama. Sungguhpun demikian, pendidikan
dasar Kepamongprajaan sebenarnya telah diperkenalkan pasca kemerdekaan Republik
Indonesia Serikat (RIS) lewat Middelbare Bestuurshool
(MBS, 1948), Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Pangrehpraja, SMA- Pamongpraja hingga
pembentukan Sekolah Menengah Pegawai Pemerintah/Administrasi Bagian Atas (SMPAA
di Jakarta dan Makassar). Setelah pemulihan
kedaulatan, dilingkungan kementerian dalam negeri dibentuk pula KPPA, KPPB dan KDC (Malang
1952, Medan, 1954 dan kota-kota lain). Reputasi positif
itu relatif dapat dikemukakan dengan indikasi yang dapat dilihat dan dirasakan
yaitu kemampuan membangun integrasi, koordinasi dan menjaga perbedaan dalam
kerangka Bhinneka Tunggal Ika. Kemampuan itu merupakan wujud dari mantra
internal pendidikan Pamongpraja lewat sesanti Bhinneka Nara Eka Bhakti (berbeda-beda tetapi satu pengabdian) pada bangsa dan negara.
Sebagai konsekuensi dari kondisi IPDN
yang mengalami degradasi tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengeluarkan keputusan presiden penggabungan STPDN kedalam IIP dengan wajah
baru IPDN (2004). Ini adalah kompromi paling maksimal yang dapat dicapai oleh
tim investigasi pimpinan Ryaas Rasyid setelah keluar dari tekanan publik selama
berbulan-bulan lamanya. Hasilnya, Presiden mengambil opsi keempat, yaitu tetap
melanjutkan pendidikan Kepamongprajaan dengan pengembangan regionalisasi. Ringkasnya,
sentral pengelolaan kampus berada di dua lokasi strategis yaitu Jakarta dan Jatinangor. Jakarta mengelola program pasca sarjana dan penelitian
serta pengembangan, sedangkan Jatinangor fokus mengelola program diploma dengan
segala konsekuensinya.
Sebagai tindak lanjut lebih luas dari Keppres dimaksud, awal tahun 2009 gelombang pertama
Praja Angkatan 19 disebar ke sejumlah IPDN regional yang disiapkan tergesa-gesa
pada lima daerah yaitu, Makassar, Manado, Bukit Tinggi dan Riau. Hingga tahun 2011, IPDN regional bertambah
dengan lahirnya IPDN regional Mataram, Pontianak dan Papua. Tahun 2011 IPDN melakukan
rekrutmen Praja sebanyak 2000 Praja di tengah moratorium Pegawai Negeri Sipil yang
dinilai publik menjadi persoalan pemerintah. Secara internal dilakukan pula
pengembangan program diploma ke strata satu dan pengembangan program magister
serta doktoral. Bagaimanakah dampak dari kebijakan tersebut bagi
kelangsungan hidup IPDN selanjutnya? dan mengapa IPDN perlu dipertahankan?
Tulisan ini bermaksud merespon opini publik dimasa lalu, sekaligus menjawab statemen Ahok beberapa minggu lalu.
Perspektif
Publik Terhadap IPDN
Jauh sebelum Ahok berkicau di media
sosial, antara bulan September-November 2011 terdapat beberapa opini
publik terhadap eksistensi IPDN. Waktu itu bukan karena alasan klasik kekerasan
semata, kendatipun pada saat yang sama publik tak begitu yakin seratus persen
atas reformasi internal yang selama ini telah dilakukan. Dalam pertanyaan
sinisme, publik menguji apakah benar slogan dan bahasa baliho no body contac dilingkungan kampus berkorelasi
dengan kenyataan dilapangan. Hal ini muncul akibat keluhan sejumlah praja
tentang tindakan satu-dua oknum bagian pengasuhan yang memang menjadi momok selama ini (tentu saja tak seluruhnya). Jangan-jangan di
tingkat elitnya saja bahasa itu luwes diperdengarkan, dilevel operasionalnya
tetap konsisten dengan tradisi masa lalu. Kritik lain sebagai indikasi adalah orientasi
studi banding masih pada sekolah-sekolah militer, bukan boarding school sipil sebagaimana harapan publik. Kini kritik itu secara internal
seperti memasuki realita purba, dimana IPDN cenderung kembali kedalam simbol-simbol kebudayaan
yang dapat memicu sensivitas publik, seperti penggunaan kepangkatan ala militer pada
garis jabatan struktural murni maupun akademik, tongkat komando, perubahan
status Rektor menjadi Gubernur seperti Gubernur AKMIL, plus rencana integrasi
Muda Praja ke AKMIL/AKPOL. Ini merupakan gambaran internal yang memprihatinkan di
tengah sinyalemen eksternal Ahok pada Presiden Jokowi tanggal 4 September 2015
di sejumlah media sosial agar IPDN dibubarkan. Diluar itu, kritik alumni secara umum adalah persoalan internal di ruang birokrasi Provinsi DKI
Jakarta tak dapat digeneralisasi sehingga menyesatkan opini publik, apalagi sampai
menyimpulkan bahwa pendidikan Kepamongprajaan sebagaimana diresmikan Presiden pertama
Republik Indonesia Ir. Soekarno pada 17 Maret 1956 lewat APDN Malang dapat di
produk swasta. Ahok harus paham bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diprivatisasi sebagaimana pendapat banyak ahli seperti David Osborn, Ted Gabriel atau Rondinelli. Tentu saja pendapat liar semacam itu bersifat ahistoris, emosional,
politis, tak berpengetahuan cukup, bahkan kehilangan idiologi terhadap makna ke-Indonesiaan. Dalam pidato itu, Soekarno mengamanatkan tugas utama Akademi Pemerintahan sebagai sentral human of skill investmant, mental investmant dan managerial skill (Buku; Sasana Karya, 1956-1966, APDN Malang). Ketiga aspek tersebut kini berkembang menjadi pola pelatihan, pengasuhan dan pengajaran sekaligus membedakannya dengan pola pengajaran diberbagai perguruan tinggi umum dan kedinasan. Gagasan itu muncul dikarenakan banyaknya keputusan-keputusan yang baik namun berakhir dalam realitas yang buruk oleh sebab kegagalan administrator dilapangan pemerintahan. Maknanya, sebagus apapun keputusan di level pimpinan, pada akhirnya bergantung pada implementator kebijakan, yaitu birokrasi sebagai mesin pemerintahan yang real. Disinilah nilai strategis yang diemban pemerintah sehingga selain alasan idiologi, pendidikan Kepamongprajaan di desain untuk membulatkan putusan yang ideal dengan hasil yang ideal pula. Pendidikan swasta tak bisa diserahkan percuma soal idiologi negara, dan negara tak bisa menyerahkan semua urusan pemerintahan pada swasta yang secara teoritik bersifat profit oriented, market minded, liberal, capital oriented, atau money oriented. Jika itu dilakukan maka loyalitas akan diukur oleh seberapa besar uang yang diterima, bukan loyalitas penuh pada negara/pemerintah/rakyat.
Beberapa tahun lalu, terdapat pula opini dari sejumlah kalangan untuk membubarkan IPDN dengan alasan efisiensi. Sebuah acara di salah satu stasiun TV pada bulan September 2011, mantan Menteri/Ketua Bappenas RI yang baru saja di reshuffle oleh Jokowi pernah berpendapat bahwa salah satu kebijakan yang mesti dilakukan dalam rangkaian moratorium Pegawai Negeri Sipil adalah menghentikan rekrutmen lewat jalur sekolah kedinasan. Salah satunya dengan membubarkan IPDN. Ini menurutnya dapat mendorong terciptanya efisiensi. Apalagi dengan lahirnya sistem pendidikan nasional yang sejak dua tahun terakhir pada dasarnya telah mengakhiri riwayat sekolah kedinasan, kecuali Akademi Militer/Kepolisian, karena keduanya bersandar pada sistem yang berbeda, yaitu undang-undang sistem pertahananan dan keamanan negara. Diluar itu, semua sekolah kedinasan merujuk pada sistem pendidikan nasional dan aturan internal masing-masing departemen. Beruntung, hasil revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23/2014 memberi pijakan yang lebih jelas atas eksistensi pendidikan Kepamongprajaan dilingkungan kementrian dalam negeri. Dengan demikian status IPDN sebagai salah satu pendidikan tinggi kedinasan memiliki dasar yang setaraf dengan AKMIL dan AKPOL. Sekalipun pengaturan soal rekrutmen pegawai diatur menurut UU ASN Nomor 5/2014, namun dasar hukum yang melandasi sebagian sekolah/perguruan tinggi dibawah kementrian bersifat spesialis, sehingga berlaku prinsip hukum umum lex specialis derogat lex generalis. Kalaupun ingin membubarkan, ubah kembali undang-undang pemerintahan daerah.
Beberapa tahun lalu, terdapat pula opini dari sejumlah kalangan untuk membubarkan IPDN dengan alasan efisiensi. Sebuah acara di salah satu stasiun TV pada bulan September 2011, mantan Menteri/Ketua Bappenas RI yang baru saja di reshuffle oleh Jokowi pernah berpendapat bahwa salah satu kebijakan yang mesti dilakukan dalam rangkaian moratorium Pegawai Negeri Sipil adalah menghentikan rekrutmen lewat jalur sekolah kedinasan. Salah satunya dengan membubarkan IPDN. Ini menurutnya dapat mendorong terciptanya efisiensi. Apalagi dengan lahirnya sistem pendidikan nasional yang sejak dua tahun terakhir pada dasarnya telah mengakhiri riwayat sekolah kedinasan, kecuali Akademi Militer/Kepolisian, karena keduanya bersandar pada sistem yang berbeda, yaitu undang-undang sistem pertahananan dan keamanan negara. Diluar itu, semua sekolah kedinasan merujuk pada sistem pendidikan nasional dan aturan internal masing-masing departemen. Beruntung, hasil revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23/2014 memberi pijakan yang lebih jelas atas eksistensi pendidikan Kepamongprajaan dilingkungan kementrian dalam negeri. Dengan demikian status IPDN sebagai salah satu pendidikan tinggi kedinasan memiliki dasar yang setaraf dengan AKMIL dan AKPOL. Sekalipun pengaturan soal rekrutmen pegawai diatur menurut UU ASN Nomor 5/2014, namun dasar hukum yang melandasi sebagian sekolah/perguruan tinggi dibawah kementrian bersifat spesialis, sehingga berlaku prinsip hukum umum lex specialis derogat lex generalis. Kalaupun ingin membubarkan, ubah kembali undang-undang pemerintahan daerah.
Pada awal November 2011, salah seorang
politisi senior dari partai berkuasa mengkritik pedas Kemendagri dalam sebuah
rapat komisi II tentang ketidakkonsistenan pemerintah berkaitan dengan rekrutmen
pegawai negeri sipil. Hal itu ditunjukkan dengan rekrutmen praja IPDN yang mencapai
2000 orang pada tahun 2011, sementara pada saat yang sama moratorium rekrutmen
pegawai negeri diberlakukan. Kebijakan tersebut menurutnya telah menimbulkan
diskriminasi dan menunjukkan bahwa kepentingan pusatlah yang lebih dominan
muncul dibanding kepentingan rakyat di daerah. Dengan penuh spekulasi beliau
menyatakan bahwa jumlah alumni IPDN dilapangan sudah terlalu banyak khususnya
mereka yang ditempatkan di level kecamatan, kelurahan dan sekretaris desa. Sekalipun
spekulasi tersebut cukup menggelikkan jika dikonfirmasikan pada realitas
dilapangan namun cukup bagi kita untuk merenungkan kembali sejauhmana eksistensi
dan masa depan IPDN.
Pada tgl 20 November 2011 seorang
kawan saya yang bekerja di lingkungan IPDN Jatinangor meminta tanggapan lewat facebook sebuah draft permendagri
tentang status pengukuhan Pamongpraja Muda yang diajukan ke Kemendagri untuk disahkan.
Draft tersebut ditolak dengan alasan ketidakjelasan dasarnya. Tentu saja secara normatif yang dimaksud
adalah tidak jelas baik yuridis, sosiologis dan filosofis. Praktisnya,
penolakan tersebut dilengkapi dengan isi disposisi; apakah signifikansinya jika
pengukuhan Pamongpraja Muda tanpa dilandasi oleh permendagri dimaksud? Lebih
jauh, apakah dampak yang dapat timbul pada pegawai negeri sipil lain? Dengan
berasumsi bahwa semua pegawai negeri sipil dalam konteks kekinian adalah juga
Pamongpraja, maka apakah perbedaan dengan alumni IPDN dilingkungan kementrian
dalam negeri? Tidakkah hal ini menimbulkan diskriminasi? Hari ini IPDN justru menjadi episentrum bagi
kepentingan pemerintah guna merealisasikan spirit revolusi mental. Untuk maksud
itu tidak saja permendagri, statusnya kini kemungkinan dinaikkan menjadi
instruksi presiden.
Lepas dari perspektif publik dan
sedikit kegelisahan owner (Kemendagri)
yang kadang lupa sebagai rahim IPDN, yang menarik untuk dicermati
adalah statement mantan Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP4) dimasa Pemerintahan SBY, pada tgl 21 November 2011
(sebagaimana kutipan hal. facebook
Kasubag Rumah Tangga Kemendagri), bahwa pendidikan kedinasan sebagaimana STPDN
yang saat ini berganti nama menjadi IPDN diusulkan untuk dibubarkan dengan
alasan pola regionalisasi saat ini menjadi sumber disintegrasi bangsa. Tanpa evalusi
komprehensif bagaimana kondisi IPDN regional lebih jauh, Ia menganggap bahwa
dengan kebijakan regionalisasi justru merupakan gejala awal lahirnya disintegrasi.
Akar-akar pemerintahan menurutnya berada di kecamatan, kelurahan dan desa, yang
semua entitas itu sudah dimasuki oleh alumni IPDN, namun menjadikan
regionalisasi adalah awal dari tumbuhnya bibit kedaerahan, bukan nasionalisasi
yang dapat melahirkan spirit nasionalisme sebagaimana harapan semula ketika
dibentuk di Jatinangor (1990). Membandingkan kondisi IPDN regional saat ini
dengan pernyataan sentimentil itu harus diakui tak seluruhnya keliru, terdapat
sejumlah catatan penting yang mesti dikerjakan oleh owner, termasuk
barangkali merestuinya agar kembali kedalam kesatuan IPDN terpusat.
Efisiensi dan Masa Depan IPDN
Sebagaimana kita ketahui, kebijakan
regionalisasi adalah konsekuensi dari pilihan paling mungkin yang telah diambil
oleh Presiden SBY pasca evaluasi IPDN menyeluruh tahun 2004. Alasan
regionalisasi pada dasarnya merujuk dari dokumen hasil tim evaluasi IPDN saat
itu, yaitu bertambahnya jumlah Praja tanpa diimbangi kapasitas yang tersedia ditengarai
cenderung menimbulkan gesekan konflik baik vertikal maupun horisontal. Kondisi
ini hanya mungkin dilakukan melalui perluasan kampus sebagaimana tertuang dalam
salah satu opsi yang diajukan waktu itu, yaitu regionalisasi.
Pilihan terhadap opsi tersebut bukan
tanpa disadari menimbulkan biaya yang tak sedikit. Sebenarnya, jika IPDN masih menggunakan dana
alternatif seperti Dana Pendamping (Dapen) yang selama ini di sharing dari pemerintah daerah, maka
beban pembukaan IPDN regional mungkin tak begitu terasa menyedot APBN
sedemikian besar (+600 M/tahun). Namun sejak alokasi Dapen dihentikan
atas catatan BPK, praktis semua operasionalisasi IPDN di pusat maupun daerah bertumpu
pada APBN semata. Alasan BPK menghentikan Dapen pada waktu itu karena banyak
temuan yang menunjukkan bahwa penggunaan Dapen lebih untuk kepentingan yang
tidak jelas. Dana
tersebut mengucur deras untuk urusan seremonial yang menjadi ciri khas lembaga
kedinasan seperti upacara pengukuhan muda praja, wisuda dan pengukuhan Pamongpraja Muda. Dalam
setahun, ritual tersebut dilakukan tiga kali sehingga relatif menyedot biaya
yang tak sedikit. Kini pembiayaan IPDN di pusat maupun regional bertumpu pada
APBN murni, selain berharap sedikit banyak bantuan Pemda yang kebetulan
wilayahnya menjadi lokus IPDN regional. Hal itu dapat dilihat mulai dari tukar
guling pengadaan tanah, bantuan operasional kenderaan dinas hingga penempatan
personil Pemda dilingkungan organisasi IPDN regional. Pendeknya, IPDN regional
dijalankan dengan semangat pantang menyerah, apa adanya, jatuh bangun demi
menjalankan amanah pemerintah (Keppres).
Dengan segala bentuk keterbatasan
tersebut, rekrutmen IPDN sebenarnya tidaklah bermasalah jika dilakukan dengan
membatasi jumlah yang akan diterima pada tahun 2011. Disinilah masalahnya, ketika
kebijakan moratorium dikeluarkan presiden sejak bulan Juli 2011 hingga Desember
2012, semua akumulasi dari sisa pegawai yang seharusnya diterima pada rentang
waktu tersebut tak memiliki peluang. Kemungkinan idealnya adalah memindahkan
alokasi ke pendidikan kedinasan seperti IPDN yang dengan cara tersebut masalah
rekrutmen pegawai sisa dapat dituntaskan, kecuali tenaga dokter spesialis,
guru/dosen, analis, apoteker dan perencana. Mungkin saja bagi owner ini adalah peluang, namun bagi
IPDN sendiri merupakan tantangan penuh resiko. Peluang, karena rekrutmen yang
banyak dapat mendatangkan rezeki mulai dari testing
masuk hingga kenaikan alokasi anggaran bagi siapa saja. Bagi IPDN sendiri, ini
menjadi semacam duri dalam daging, sebab
menerima praja dalam jumlah banyak sama saja beresiko berhadapan kembali dengan
peristiwa mengenaskan yang dapat terjadi sewaktu-waktu seperti insiden Wahyu Hidayat
(2004) dan Clift Muntu (2007). Tetapi, bagaimanapun hebatnya sejumlah guru
besar dan doktor yang mulai melimpah, sulit menolak kebijakan owner yang bersifat hirarkhis dan top down. Apalagi IPDN hanya semacam
unit pelaksana teknis dibawah koordinasi Badan Diklat dan berada dibawah
kendali langsung setjend. Publik harus memahami hal itu. Owner-nya adalah kementrian dalam negeri. Situasi ini jelas sangat berbeda jika dibandingkan pola pengangkatan
Rektor di lingkungan IIP yang lebih demokratis justru pada saat rezim
otoriter-sentralistik masih berkuasa. Saat ini, ketika lingkungan kita tampak
demokratis-desentralistik, justru pola pengangkatan Rektor hingga pelantikan seorang pejabat paling rendah dilakukan jauh dari standar baku dan ciri merit sistem. Praktisnya, IPDN sebenarnya kehilangan sebagian otonomi
sejak digabungkannya IIP dan STPDN menjadi IPDN, sekalipun disatu sisi sangat
disadari sebagai lembaga pendidikan kedinasan. Inilah alasan logis mengapa IPDN
agak lambat dalam reformasi. Satu hal yang perlu diketahui publik bahwa penerimaan IPDN bukanlah satu-satunya tanggungjawab Kemendagri, kini termasuk Menpan dan KPK. Dalam 3 angkatan terakhir Menpan bertanggungjawab dalam soal rekrutmen teknis, KPK mengambil bagian dalam pengawasan, serta Kemendagri dalam hal fasilitasi pendidikan, pelatihan dan pengasuhannya. Dalam hal ini IPDN sedikit lebih maju diluar sejumlah persoalan internal akut
yang belum selesai dan terawat berlarut-larut. Dampak eksternal dapat kita amati dari
sejumlah kritik dan hasil evaluasi seperti dikemukakan diatas. Pada sisi lain ekstensifikasi
IPDN melalui perluasan kampus menambah biaya tak sedikit setiap tahun. Membengkaknya
dana setiap tahun tentu saja mengundang pertanyaan besar tentang seberapa efektifkah pendidikan di IPDN memberikan hasil yang optimal
bagi bangsa dan negara.
Pendapat
politisi dan pejabat negara bahwa entitas pemerintah di level kecamatan
dan kelurahan telah sesak oleh alumni IPDN tentu saja mudah dijelaskan
seandainya bagian inventarisasi alumni memiliki data yang komprehensif di
daerah. Sepanjang perjalanan saya dan beberapa kawan dari Sabang sampai
Merauke, alumni IPDN di kecamatan, kelurahan dan desa terbilang sedikit,
sekalipun harus diakui bahwa mereka lebih dominan dibanding pegawai lain.
Mengapa? Karena setiap alumni memang diproduk untuk merepresentasikan 3 orang
pegawai biasa, atau 1 berbanding 3. Apa yang dominan terlihat? Karakter mereka
mudah dikenali dari performance fisikal, psikologikal, moral dan sosial. Fisikalitas
direpresentasikan oleh tubuh yang sehat, kuat, tinggi, bersih, rapi dan tak
gampang lelah. Ini menjamin ouput kinerja performance pemerintah yang melebihi rata-rata. Tak perlu heran
jika lebih kurang 826 alumni yang tersebar di DKI Jakarta mampu menduduki
eselon 4 hingga 2 dengan nilai diatas rata-rata. Tampaknya, kalaupun benar statement Ahok, sebenarnya kontra produktif
dengan kenyataan dimana setiap pelantikan pejabat dilingkungan Provinsi DKI
Jakarta hasil lelang jabatan (open biding)
selalu diramaikan oleh lulusan IPDN. Psikologikalitasnya dilihat dari
kemampuan mereka untuk survive dan
mengendalikan emosi saat berhadapan dengan setiap masalah dalam lingkungan
birokrasi. Ini menjamin sikap kenetralan dalam menghadapi situasi politik
dimana saja. Kalaupun ada, ini persoalan individu yang tak dapat digeneralisasi
menurut tradisi metodologi keilmuan. Moralitas menjamin kemampuan mereka
menyerap nilai-nilai luhur agama dan budaya sebagai sumber etika tertinggi
dalam bersikap pada masyarakat dan patuh sepenuhnya pada hukum positif, etika birokrasi
dan etika pemerintahan. Ini memproduk kejujuran sebagaimana contoh kecil ketika
Tsunami Aceh terjadi, hanya 3 orang alumni yang menjaga uang tunai benilai
ratusan miliar rupiah di sebuah tempat di Aceh atas perintah seorang Menteri
tanpa kekurangan sepersenpun sampai kemudian diserahkan secara manual kepada
tim BRR pimpinan Pak Kuntoro. Sedangkan sosialitas tercermin dari sikap mereka
dalam beradaptasi dimanapun Pamongpraja Muda ditempatkan. Kemampuan ini tak
jarang mendorong mereka menjadi alternatif pilihan dalam seleksi kepemimpinan
lokal. Itulah mengapa beberapa diantaranya menjadi pejabat politik sekalipun
masih di usai belia. Lihat saja penjabat
kepala daerah saat ini (2015) 7 diantaranya berasal dari lulusan IPDN. Kenyataan
sebelumnya dapat dilihat pada puluhan jabatan politik sebagai Bupati dan Wakil
Bupati, anggota DPRD dan DPR-RI, hingga ratusan jabatan eselon 2 (Sekda dan
Kepala Dinas, Badan dan Kantor), eselon 3 (Kabag, Camat, Lurah dan Kepala
Bidang), dan eselon 4 (kasubag dan sejenisnya) yang diduduki dihampir semua
strata pemerintahan. Jabatan politik di
dominasi oleh lulusan APDN dan IIP, sedangkan jabatan struktural dikuasai oleh
alumni lanjutannya, STPDN dan IPDN. Aspek intelektual masuk dalam bidang
pengajaran walau porsinya tak begitu dominan, sebab fokus utama pendidikan IPDN
adalah membangun karakter manajerial pemerintahan yang profesional sesuai visi
misinya. Aspek intelektual dikembangkan pada strata selanjutnya selepas
melaksanakan tugas selama dua tahun.
Inilah basis empirikal yang akan dipertemukan dalam dunia teoritik dan
konseptual sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan seorang alumni
pendidikan Pamongpraja ketika pendidikan lanjutan dilaksanakan pada tahap
berikutnya (S1,S2,S3). Faktanya, sebagian besar alumni telah menyelesaikan
strata magister di dalam dan luar negeri. Ditingkat post graduate, diantaranya adalah lulusan universitas ternama di
Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Belanda, Perancis, Australia, Jepang, Malaysia
dan Singapura. Hingga tulisan ini
dibuat, ratusan alumni yang masih berstatus sebagai tugas belajar di universitas
lokal seperti UI, UGM, UNPADJ, UNHAS, UNBRAW, UNDIP, UNTAD, UNTAN, UNCEN hingga
luar negeri tentu saja merasa penting untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa
dan negara.
Pendidikan
Kepamongprajaan pada dasarnya tak dapat diberikan begitu saja kepada pihak
swasta. Pendidikan Kepamongprajaan memiliki misi idiologi negara, yaitu
Bhinneka Tunggal Ika (Ndraha, 2003).
Kalau diserahkan ke swasta seperti pendidikan Satpam, maka idiologi
Pamongpraja adalah idiologi Majikan/Tuan, siapapun yang mampu memberi makan
disitulah loyalitasnya. Dapat dimaklumi bahwa mereka yang mengusulkan agar IPDN
diserahkan pada pihak swasta kemungkinan besar adalah pemimpin tanpa idiologi,
kecuali majikan Toko Kelontong yang menggaji buruh sambil memeras keringatnya.
Menurut pendapat saya, pemimpin tanpa partai politik adalah pemimpin tanpa
idiologi, sekalipun banyak juga kader partai yang kehilangan idiologi ketika
mendapat kekuasaan. Tetapi
setidaknya seseorang yang memiliki partai tentu saja memiliki kejelasan
idiologi dan platform seperti apa
yang akan diperjuangkan. Pada
kenyataannya, setiap tahun pemerintah daerah hanya menerima rata-rata dua
sampai 3 orang alumni IPDN. Ini jelas jauh dari kebutuhan riil Pamongpraja yang
diharapkan. Bahkan dampak dari pemilukada langsung saat ini telah membatasi
peluang alumni IPDN menduduki jabatan yang sejak awal dipersiapkan untuk itu,
yaitu Camat dan Lurah. Diberbagai kasus
daerah otonom, peluang sistem yang longgar tersebut memungkinkan alumni
perguruan tinggi lain seperti sarjana agama, olah raga, seni, teknik dan
kesehatan bukan mustahil bahkan dominan menjabat sebagai Camat dan Lurah. Belum lagi tingkat kepatuhan pemerintah daerah
terhadap regulasi pusat sebagaimana amanat UU 32/2004 (23/2014), PP 19/2008
atau Permendagri 30/2009 berkaitan dengan persyaratan Camat dan Lurah dianggap
angin lalu. Semua itu menunjukkan secara
gamblang bahwa alumni IPDN justru tak memperoleh posisi siginifikan sebagaimana
diasumsikan oleh opini publik. Sebaliknya,
diperlukan sebuah political will yang
mampu mendorong dilaksanakannnya semua aturan dimaksud. Mungkin satu-satunya
kepala daerah yang berbaik hati menempatkan semua alumni IPDN/APDN/IIP kedalam
posisi yang sesuai adalah Bupati Lebong Provinsi Bengkulu periode 2010.
Sisanya, sekalipun kepala daerahnya alumni pendidikan tinggi Kepamongprajaan,
tidak dengan serta merta legowo menempatkan
alumni IPDN kedalam jabatan yang sesuai dengan porsinya. Bahkan, kita semua relatif sangat sulit
menemukan alumni IPDN menjadi camat atau lurah di daerah tertentu. Mengutus calon praja-pun jarang, disebabkan
dinamika lokal yang bernuansa monarchis-feodalistis.
Lepas dari kesenjangan itu, dalam kondisi demikianpun mereka masih
memperlihatkan prestasi yang membanggakan dimana setiap tahun peraih Lurah
Terbaik dan Camat Terbaik di Istana Presiden didominasi oleh lulusan APDN, IIP,
STPDN dan IPDN.
Isu Disintegrasi dan IPDN
Isu disintegrasi selama ini merujuk
pada upaya dan potensi terjadinya separatisme. Dijaman orde baru isu ini muncul
sejak pola pembagian kue ekonomi dan eksistensi budaya dinilai tak mencapai
keadilan antara pusat dan daerah. Hal
ini bisa ditelusuri dalam kasus Aceh, Papua, Riau hingga Jogja. Lalu apa
hubungannya dengan IPDN? Selama ini, satu-satunya alasan filosofis-historis
yang membentengi eksistensi pendidikan Pamongpraja adalah kemampuan melakukan
integrasi melalui sikap adaptif sebagai seorang pemimpin yang diajarkan untuk
mampu mengayomi siapa saja dan dimana saja.
Unsur asthabrata yang menjadi
karakteristik sosok kepemimpinan Jawa selama ini diterima secara universal dan
menjadi pondasi utama dalam proses penanaman nilai di IPDN. Bandingkan dengan
nilai-nilai kepemimpinan Akabri yang dijiwai oleh banyak prajurit seperti
Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto. Dengan modal itulah maka setiap
alumni diharapkan mampu hidup dan menghidupi lingkungannya dalam segala bentuk
ruang dan waktu.
Dalam proses pendidikan yang dijalani,
setiap praja diarahkan belajar pada realitas kehidupan yang hampir mendekati miniatur
objek dilapangan. Disinilah mengapa
praja mesti hidup secara kolektif dari Sabang hingga Merauke, agar mereka
saling mengenal dan mampu mengembangkan daya adaptabilitasnya disetiap
persentuhan dan interaksi sejak bangun hingga tidur kembali. Kebijakan regionalisasi pada dasarnya hanya
memindahkan ruang yang terlalu sempit di Jatinangor tanpa mengurangi
representasi praja dari berbagai wilayah penerimaan. Artinya, semua IPDN
regional setidaknya tetap merepresentasikan kebhinekaan dalam ketunggal-ikaan,
dimana praja dari setiap provinsi terwakili. Jadi pada dasarnya tidak ada yang
berubah kecuali lokasi, lokasi dan lokasi. Jika bukan karena opsi
regionalisasi, tentu saja yang lebih tepat adalah opsi pertama, yaitu
mengembangkan lokasi IPDN di Jatinangor yang masih luas dan mubazir (300 ha).
Bagi semua yang pernah belajar tentang
ilmu pemerintahan, paham bahwa desa adalah akar dan basis pemerintahan
traditional dan paling tua dibanding negara itu sendiri. Bahkan jauh sebelum
terbentuknya desa, individu dan keluarga adalah cikal bakal dari akar-akar
pemerintahan di desa (Mac Iver, 1999).
Karena itulah mengapa semua objek pembangunan ditujukan ke arah pembangunan
individu, keluarga dan desa, hanya dengan satu harapan terbentuknya
pemerintahan yang baik dapat dimulai. Demikian pula kelurahan dan kecamatan
yang merupakan basis pengembangan pemerintahan lebih lanjut. Justru karena
pemahaman itulah sehingga perlunya tanggungjawab pemerintah pusat terhadap
akar-akar pemerintahan tadi dimana diperlukan aparat khusus yang benar-benar
memahami karakteristik pemerintahan desa, kelurahan dan kecamatan. Dan dalam
konteks itulah kita membangun pendidikan tinggi Kepamongprajaan (IPDN), agar mampu
menjawab masalah minimal dimulai sebagai sekretaris desa. Adakah perguruan
tinggi lain yang secara khusus menyiapkan dan menjawab masalah yang dikemukakan
diatas? Saya yakin belum ada, kecuali di IPDN. Saya sependapat jika alumni STAN
terkesan hanya milik Kemenkeu, Akademi Perhubungan milik Kemenhub atau Akademi
Imigrasi hanya milik Kemenhum dan HAM, namun bukankah IPDN bukan milik
Kementrian Dalam Negeri semata? Semua
alumni begitu selesai langsung kembali ke daerah otonom di seluruh penjuru
tanah air, berasimilasi dan berjibaku dengan kompleksitas masalah di daerah
yang penuh suka dan dukanya. Kemendagri pada dasarnya hanya memfasilitasi mulai
dari rekrutmen hingga menghasilkan outputnya.
Untuk apa? Karena Kemendagri menjalankan tugas filosofistik negara, yaitu
menjaga perbedaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini direpsentasikan
oleh Dirjend Otda, Kesbangpol dan Pemerintahan Umum. Sebagai bentuk konkrit
dari tugas pokok itu, maka IPDN dibentuk Kemendagri agar terbentuk sebuah
wawasan kebangsaan yang mampu menciptakan integrasi dimanapun ditugaskan. Betapa semua filosofi itu dapat dibuktikan
ketika Timor Leste pisah dari NKRI, sebagian alumni Timor Leste hingga saat ini
tetap bertahan sebagai pegawai negeri diberbagai pelosok Pulau Jawa yang justru
semula dipandang sebagai penjajah bagi bangsa mereka. Bukankah semua itu menunjukkan keefektifan
dari tujuan dan makna integrasi yang dicita-citakan? Bukan diserahkan pada
swasta sebagaimana saran Ahok. Swasta juga dapat memproduk polisi dan tentara
bayaran seperti di Eropa, demikian pula spesialisasi lain seperti pengelolaan
keuangan, akuntansi, auditor publik/swasta dan sebagainya. Namun sekali lagi, mereka bukan membawa
idiologi negara, namun membawa idiologi kapitalisme, kelompok dan isi perut
semata. Kalaupun ada kasus dimana alumni IPDN terkait GAM di Aceh (2008),
bukanlah hal yang dapat ditolerir begitu saja, apalagi sampai tutup mata, semua
itu harus dilihat kasus-perkasus, tak bisa digeneralisasikan secara sederhana. Apakah sejumlah tentara dan polisi yang
berbelot menjadi anggota pemberontak dijaman kemerdekaan atau menjadi anggota
GAM patut digeneralisasi? Kita semua sependapat, tidak.
Efisiensi IPDN
Jika efisiensi yang menjadi alasan
untuk melakukan restrukturisasi dilingkungan IPDN, saya pikir semua alumni
relatif sependapat. Memperluas IPDN
dalam bentuk regionalisasi bukanlah solusi yang efektif dalam upaya
menghentikan kasus kekerasan di IPDN. Buktinya,
sepanjang IPDN regional dibuka sedikit kasus kekerasan tetap muncul sekalipun
dalam skala yang lebih kecil. Hal itu
bisa dibuktikan pada sejumlah Praja yang dikeluarkan sepanjang tahun 2009-2014
di IPDN regional akibat kekerasan dan perilaku asusila. Dampak pembukaan IPDN
regional secara teknis setidaknya meliputi ; pertama, membengkaknya
biaya pengelolaan pendidikan, khususnya operasionalisasi belajar-mengajar. Atas konsekuensi
dari kebijakan diatas maka seluruh proses belajar-mengajar diserahkan sepenuhnya
pada IPDN regional dengan menggandeng dosen, pelatih dan pengasuh lokal. Kedua, Akibatnya, kompetensi pengajar tentu saja jauh
dari harapan, dimana muatan teoritik cenderung lebih banyak karena bergantung
pada universitas lokal dibanding praktikum yang diharapkan berasal dari dosen
yang setidaknya memiliki pengalaman lapangan (Pamongpraja). Kondisi ini menjadikan IPDN regional praktis
kehilangan nilai utama yang justru menjadi pembeda dengan sekolah lain. Belum
lagi jika kampus lokal tak begitu steril dengan isu separatisme dan
berakreditasi rendah pada perguruan tinggi yang menjadi partner kerja. Ketiga, perluasan
IPDN regional kurang diimbangi paralel dengan rekrutmen dosen, pelatih dan
pengasuh yang kompatibel. Akibat pertama,
terjadi kelangkaan dosen, pelatih dan pengasuh.
Dampaknya, bertumpuknya mata kuliah pada setiap dosen aktif. Setiap
dosen memegang lebih dari 3 mata kuliah yang bahkan tak sesuai dengan
kompetensinya. Semua itu dilakukan dengan alasan untuk memenuhi target
sertifikasi. Kedua, kekurangan dosen secara terpaksa ditutupi dengan mengkonversi
pegawai struktural menjadi dosen tanpa seleksi fairness. Akibatnya, banyak dosen yang benar-benar tak memiliki
kompetensi dasar lahir sebagai dosen yang berkarakter nekat. Semua itu dapat menjadikan
IPDN jauh dari ras unggul, apalagi bernilai istimewa. Sejumlah dosen hasil rekrutmen tak jelas
mengakibatkan biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi semakin
tinggi ditengah terbatasnya dana yang dimiliki, selain mempersempit peluang
bagi rekrutmen dosen, pelatih dan pengasuh yang benar-benar memiliki
kompetensi. Keempat, pola
distribusi praja secara regional tak mempunyai ukuran yang jelas sehingga
membuka peluang terciptanya mekanisme transaksional antara Praja yang ingin
tetap di Jatinangor dengan oknum birokrat. Bagi Praja yang tak memiliki akses sudah pasti harus pasrah menerima nasib ditempatkan di
IPDN regional. Kelima, ketiadaan
evaluasi komprehensif apakah perbedaan Praja yang pernah ditempatkan secara
regional di daerah dengan mereka yang tetap di Jatinangor memiliki keunggulan atau sebaliknya. Apakah mereka yang berada di IPDN regional jauh
lebih berwawasan atau mungkin lebih tinggi fighting
spirit-nya dibanding mereka yang duduk manis di IPDN Jatinangor? Ataukah justru sebaliknya. Ini penting untuk
mengukur keberhasilan dan kegagalan atas kebijakan regionalisasi. Perlu
diingat, lingkungan sangat mempengaruhi tahap pertumbuhan dan perkembangan
pendidikan seorang kader.
Kekhususan IPDN
Membahas
kekhususan IPDN dalam prasangka dan kecurigaan banyak pihak dipandang sebagai
sebuah ekslusivisme. Secara filosofistik,
pemerintah merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki keistimewaan. Keistimewaan itu menurut Ndraha (1999)
terletak pada penggunaan kekuasaan yang secara otoritatif dapat digunakan pada
semua cabang kekuasaan, apakah selaku eksekutor, legislator maupun yudikator.
Sebagai eksekutor, pemerintah menentukan tindakan apa yang sepatutnya dilakukan
atau bahkan tidak dilakukan untuk kepentingan publik (perspektif implementasi
kebijakan publik, Thomas R. Day). Sebagai legislator, pemerintah menentukan
aturan apa yang sebaiknya dibuat agar efektif menjamin kemaslahatan orang
banyak (perspektif politik Aristoteles).
Bahkan sebagai yudikator, pemerintah berhak menentukan seberapa besar perlindungan
yang mesti diberikan pada setiap warganya sejauh benar-benar untuk kepentingan
umum (perspektif hukum Cicero).
Oleh karena pemerintah memiliki
keistimewaan tadi, maka memikul tanggungjawab sebagai pemerintah tidaklah dapat
dilakukan oleh orang biasa. Setidaknya
demikian kata Aristoteles (Giroth:2006). Mereka perlu dididik sedemikian rupa
untuk menjalankan fungsi-fungsi istimewa tersebut. Dalam kaitan inilah mengapa IPDN secara
khusus dibentuk sejak jaman pra-kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan (Labolo:2011).
Jika kita pelajari sejarah Pamongpraja (Suryaninggrat:1992, Haily:2010,
Ndraha:2010), terlihat jelas bahwa kebutuhan pendidikan Pamongpraja memiliki
makna khusus. Dengan demikian jika IPDN
sejak awal pembentukannya tak memiliki makna khusus, bukankah Kemendagri
sebagai pencetus awalnya tak beralasan untuk mempertahankan hingga saat ini?
Saya pikir justru karena terdapatnya kekhususan itulah sehingga eksistensi IPDN
masih tetap dipertahankan. Jika tidak, lebih efektif dan efisien jika rekrutmen
pegawai diserahkan sepenuhnya ke daerah atau mungkin ke swata sebagaimana
harapan Ahok.
Meninggalkan
sejenak pertanyaan diatas, saya ingin menjelaskan apakah nilai khusus dimaksud?
Pertama, kekhususan tersebut tentu
saja berkaitan dengan filosofi fungsi pemerintahan diatas. Kedua,
kekhususan tadi berkaitan dengan kompetensi yang dimilikinya, yaitu kemampuan
membangun integrasi, koordinasi dan adaptasi. Kemampuan integrasi menghasilkan
modal kepemimpinan dalam masyarakat, kemampuan menjalin koordinasi melahirkan
karakteristik sebagai manajer dalam birokrasi, sedangkan kemampuan beradaptasi
menghasilkan sikap kenegarawanan dalam mengawal pluralitas masyarakat. Ketiga, penggunaan otoritas oleh
pemerintah membutuhkan seperangkat mental yang tak rapuh dan tak mudah goyah
oleh tekanan, termasuk ketika membuat sebuah keputusan yang berkecenderungan
menimbulkan resiko tinggi. Semua itu harus ditanggung dan dijawab sedemikian
rupa sehingga setiap Pamong haruslah mereka yang memiliki nyali dan dapat
menerima kenyataan yang terburuk sekalipun.
Bukan pejabat yang lemah mental hingga meneteskan air mata ketika
terdesak oleh sejumlah pertanyaan politis sebagaimana kita saksikan setiap kali
pemerintah berhadapan dengan kaum politisi. Inilah salah satu keistimewaannya. Keempat, jika menjadi kelompok yang
diperintah membutuhkan sebuah pemahaman akan hak dan kewajiban yang jelas, lalu
mengapa menjadi kelompok yang memerintah tak dibekali oleh pendidikan yang
secara khusus dapat membentuk karakter dimaksud? (Intelektual, Moral dan Keahlian
Praktis; Aristoteles). Disinilah keistimewaan berikutnya. Kelima, apapun nilai kekhususan atau keistimewaan yang melekat
sebagai konsekuensi dari fungsi pemerintah yang istimewa diatas tidaklah dapat
dipandang secara diskriminatif. Disini mengandung nilai keadilan
proporsionalitas. Logikanya, bukankah
diantara 33 provinsi ada 4 provinsi yang tak boleh kita anggap diskriminatif
karena diperlakukan asimetrik lewat
undang-undang khusus. Ini namanya keadilan proporsional. Dengan demikian ASN
alumni IPDN tidaklah boleh dipandang diskriminatif jika dibanding dengan ASN
lain dikarenakan mereka dididik dengan kompetensi khusus. Kekhususan itupun tak serta merta
meningkatkan gaji mereka atau mempercepat kenaikan pangkat mereka, bukankah
hal ini sama saja dengan ASN lain. Demikian pula
mereka yang lulus AKPOL dan AKMIL, mereka dididik dengan kompetensi khusus,
namun tak mengubah hak dan kewajiban mereka sebagaimana anggota militer lain,
semua bergantung pada pimpinan masing-masing.
Dan sejauh ini tak ada militer biasa yang protes karena kekhususan
dimaksud. Demikian pula ASN alumni IPDN,
sejauh ini tak ada ASN biasa yang protes disebabkan kekhususan yang dimilikinya
sejak awal. Lalu, mengapa kita selaku desainer
dan owner yang gelisah dan terkadang mempersoalkan?
Jika ingin biasa-biasa saja, tutuplah kampus IPDN, lalu biarkan rekrutmen
berlangsung menurut kehendak raja-raja kecil yang ada di daerah, atau
perusahaan swasta milik Taipan, mudah-mudahan kompetensi lokal mereka mampu melahirkan
kemampuan membangun integrasi, koordinasi dan adaptasi.
Akhirnya, kita semua semakin optimistik, jika APDN lokal saja mampu melahirkan putra-putra terbaik sekelas Moerdiono (Mantan Mensekneg 3 periode di era Orde Baru), Prof. Dr. Ryaas Rasyid (mantan Menteri Otonomi, Menpan dan Wantipres, Konseptor dan perubah sistem pemerintahan daerah lewat desentralisasi dan otonomi daerah), Prof. Dr. Taliduhu Ndraha (Guru Besar IIP), Prof. Dr. Djohermansyah Djohan (Mantan Dirjen Otda), Dr. Made Suwandi (Mantan Dirjen PUM), Dr. Syamsul Arief (Mantan Dirjend Bangda), Tursandi Alwi (mantan Deputi Wapres), Andi Luthfi (Mantan Deputi Wapres dan anggota DPR RI), Dr. Edy Sutopo (mantan Kepala BKN), Dr. Suhajar (Staf ahli Menteri Bidang Pemerintahan), Prof. Dr. Sadu Wasistiono, dan puluhan doktor serta guru besar di pusat dan daerah, apatah lagi jika ia lulusan pendidikan tinggi Kepamongprajaan yang berstatus nasional seperti saat ini. Dengan segala hormat, Ahok yang populer dengan ceplas-ceplosnya tak perlu kuatir, sebab dalam tempo 5 hingga 10 tahun kedepan semua tampuk pemerintahan dari akar hingga pucuk pimpinan akan terisi dengan sejumlah alumni terbaik lulusan IPDN.
Akhirnya, kita semua semakin optimistik, jika APDN lokal saja mampu melahirkan putra-putra terbaik sekelas Moerdiono (Mantan Mensekneg 3 periode di era Orde Baru), Prof. Dr. Ryaas Rasyid (mantan Menteri Otonomi, Menpan dan Wantipres, Konseptor dan perubah sistem pemerintahan daerah lewat desentralisasi dan otonomi daerah), Prof. Dr. Taliduhu Ndraha (Guru Besar IIP), Prof. Dr. Djohermansyah Djohan (Mantan Dirjen Otda), Dr. Made Suwandi (Mantan Dirjen PUM), Dr. Syamsul Arief (Mantan Dirjend Bangda), Tursandi Alwi (mantan Deputi Wapres), Andi Luthfi (Mantan Deputi Wapres dan anggota DPR RI), Dr. Edy Sutopo (mantan Kepala BKN), Dr. Suhajar (Staf ahli Menteri Bidang Pemerintahan), Prof. Dr. Sadu Wasistiono, dan puluhan doktor serta guru besar di pusat dan daerah, apatah lagi jika ia lulusan pendidikan tinggi Kepamongprajaan yang berstatus nasional seperti saat ini. Dengan segala hormat, Ahok yang populer dengan ceplas-ceplosnya tak perlu kuatir, sebab dalam tempo 5 hingga 10 tahun kedepan semua tampuk pemerintahan dari akar hingga pucuk pimpinan akan terisi dengan sejumlah alumni terbaik lulusan IPDN.
Luar biasa kawan
BalasHapusTrima Kasih apresiasinya Mas Tri, semoga tetap semangat,...
HapusBangga sekali membaca tulisan mu ini bro muhadam ..sukses selalu..bravo 04..bhineka nara eka bhakti..
BalasHapusTrima ksih, "berbagi untuk berarti", saya senang dengan motto tersebut,..bravon...
HapusBhinneka nara eka bhakti...
BalasHapusSemangat yang sama,..Bhinneka nara eka bhakti,...
HapusLuar biasa kanda.. Semoga ahok baca sehingga membuka mata, hati dan pikirannya.. Sukses slalu kanda..
BalasHapusTrima kasih, semoga Ahok baca dengan baik,...
Hapusbhineka nara eka bhakti...subhannallah...
BalasHapusBhinneka Nara Eka Bhakti,....Subhanallah,...
HapusBhineka nara eka bhakti, sukses terus IPDN
BalasHapusSukses selalu Yusran Nasir,...tetap berkarya dengan baik,...
HapusIjin pak..tulisan yang berimbang..semoga menginspirasi..
BalasHapusTrima kasih Cynthia Febri Sri Indarti,....
HapusPemahaman yg gagal..membuat gagal paham.. Selalu merasa yg paling benar, itlah Ahok. Kita tdk merasa yg paling benar tetapi berusaha unt menjadi benar... tdk merasa bisa tp bisa merasakan sbg kader harapan bangsa. Terus berkarya.m..BNEB
BalasHapusThanks "serba serbi otda",..mengingatkan kita pd ikrar, "tdk merasa bisa, tapi bisa merasakan",.....
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusPemikiran komprehensif dan gradual yang telah melewati skat-skat ide individualistik materialisme negara ...negara bangsa adalah ideologi yang dipahami oleh seluruh mantan praja...walaupun ada beberapa yang memaknainya dengan perbedaan pandangan. Semoga pak ahok dapat memahami dan memaknai konsep dan realitas keberadaan pamong praja itupun kalau dia mau sedikit mengkaji. Terima kasih saudaraku, dalam bahasa yang lugas telah bertutur tentang apa, siapa, dan untuk apa para mantan praja yang sampai dengan saat ini masih banyak memegang teguh idealism sebagai abdi negara dan bangsa bukan mengabdi kepada penguasa...dengan konskuensi logis "tidak dipakai"...hehehe...itupun kalimat yg aneh ya seperti barang mainan saja. Mungkin seperti itu yang ada dalam pikiran pak Ahok.
BalasHapusBenar Pak Beni, Ahok tak memahami aspek fundamental pendidikan kepamongprajaan, Ahok hanya paham soal pasar/market/uang sehingga yang slalu muncul adalah ide privatisasi/swastanisasi. Ahok tak paham urusan mana yang akan diprivatisasi dan mana yang mutlak menjadi urusan negara (E. Savas, David Osborn, Ted Gabler dan Rondinelli)...
HapusSebuah tulisan yg kaya akan riset n pengalaman sebagai seorang pamong serta pengajar, tulisan ini jg memberikan pengetahuan perbedaan ideologi negara vs ideologi majikan....kira2 kapan bisa satu meja dgn bpk Ahok
BalasHapusTrima kasih, kami sudah duduk bareng dgn Ahok kemaren sore, sy berusaha memahami pikiran Ahok. Jelas selama 1 jam berbincang dgn Ahok beliau tak paham aspek historis, filosofis dan kontekstualitas kepamongprajaan. Pikiran Ahok hanya soal visi politik Indonesia, peluang dan tantangan bagi elektabilitas dirinya dimasa akan datang....
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusSdrku...apa yang kita duga benar adanya, bahwa pak ahok hanya berpikir sesuai dengan kultur keluarganya...eksistensial materialism yang merupakan dasar dari negara super sekuler. Pemikiran ini pernah dikritik habis oleh Ali Syari'ati karena menghilangkan konteks normatif sebagai abduhuu wa rasuluhuu.
BalasHapusYa benar Pak Ben, dari hasil diskusi kami dengan Ahok, kelihatan bhw pola pemikiran Ahok cenderung ke pasar "gelap" bahkan, sbb Ahok merasa lebih bagus sebagian pegawai dimagangkan di Bank BCA sehingga lebih murah senyum dsbnya. Inilah yg dikritik oleh Prof. Taliziduhu Ndraha bhw hakekat pelayanan pemerintah bukanlah artifisial seperti pegawai Bank atau pegawai POM Bensin dengan 3 S. Hakekat pelayanan dalam pemerintahan adalah relasi yang bergantung pd konteks dari hubungan antara yang memerintah dan yg diperintah. Terkadang salah satu pihak berperan pada posisi yang berbeda sehingga membutuhkan keseimbangan, bukan model pelayanan prima yg teknis seperti bayangan Ahok. Itu mah tak perlu dipelajari dengan membuka program S1, S2 dan S2 ilmu pemerintahan.
HapusSebuah tulisan yg kaya akan riset n pengalaman sebagai seorang pamong serta pengajar, tulisan ini jg memberikan pengetahuan perbedaan ideologi negara vs ideologi majikan....kira2 kapan bisa satu meja dgn bpk Ahok
BalasHapusTrims Pak Irfan,...
BalasHapus