Eksistensi IPDN, Tinjauan Historis, Filosofis, Normatif dan Relevansi Kekinian


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

Latar Belakang
       Pasca tewasnya Wahyu Hidayat (2004) dan Clif Muntu (2007), IPDN menjadi satu-satunya kampus paling populer karena insiden kekerasan. Rentetan insiden tersebut semakin melemahkan citra IPDN sebagai satu-satunya pendidikan tinggi Kepamongprajaan yang memiliki reputasi positif sepanjang didirikan dilingkungan Kementrian Dalam Negeri dalam bentuk KDC, APDN, IIP, STPDN hingga IPDN sekarang ini. Dimasa lalu, pendidikan semacam OSVIA dan MOSVIA menjadi cikal bakal dan sumber inspirasi utama. Sungguhpun demikian, pendidikan dasar Kepamongprajaan sebenarnya telah diperkenalkan pasca kemerdekaan Republik Indonesia Serikat (RIS) lewat Middelbare Bestuurshool (MBS, 1948), Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Pangrehpraja, SMA- Pamongpraja hingga pembentukan Sekolah Menengah Pegawai Pemerintah/Administrasi Bagian Atas (SMPAA di Jakarta dan Makassar).  Setelah pemulihan kedaulatan, dilingkungan kementerian dalam negeri dibentuk pula KPPA, KPPB dan KDC (Malang 1952, Medan, 1954 dan kota-kota lain). Reputasi positif itu relatif dapat dikemukakan dengan indikasi yang dapat dilihat dan dirasakan yaitu kemampuan membangun integrasi, koordinasi dan menjaga perbedaan dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika. Kemampuan itu merupakan wujud dari mantra internal pendidikan Pamongpraja lewat sesanti Bhinneka Nara Eka Bhakti (berbeda-beda tetapi satu pengabdian) pada bangsa dan negara.
     Sebagai konsekuensi dari kondisi IPDN yang mengalami degradasi tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan keputusan presiden penggabungan STPDN kedalam IIP dengan wajah baru IPDN (2004). Ini adalah kompromi paling maksimal yang dapat dicapai oleh tim investigasi pimpinan Ryaas Rasyid setelah keluar dari tekanan publik selama berbulan-bulan lamanya. Hasilnya, Presiden mengambil opsi keempat, yaitu tetap melanjutkan pendidikan Kepamongprajaan dengan pengembangan regionalisasi. Ringkasnya, sentral pengelolaan kampus berada di dua lokasi strategis yaitu Jakarta dan Jatinangor.  Jakarta mengelola program pasca sarjana dan penelitian serta pengembangan, sedangkan Jatinangor fokus mengelola program diploma dengan segala konsekuensinya.
       Sebagai tindak lanjut lebih luas dari Keppres dimaksud, awal tahun 2009 gelombang pertama Praja Angkatan 19 disebar ke sejumlah IPDN regional yang disiapkan tergesa-gesa pada lima daerah yaitu, Makassar, Manado, Bukit Tinggi dan Riau.  Hingga tahun 2011, IPDN regional bertambah dengan lahirnya IPDN regional Mataram, Pontianak dan Papua. Tahun 2011 IPDN melakukan rekrutmen Praja sebanyak 2000 Praja di tengah moratorium Pegawai Negeri Sipil yang dinilai publik menjadi persoalan pemerintah. Secara internal dilakukan pula pengembangan program diploma ke strata satu dan pengembangan program magister serta doktoral. Bagaimanakah dampak dari kebijakan tersebut bagi kelangsungan hidup IPDN selanjutnya? dan mengapa IPDN perlu dipertahankan? Tulisan ini bermaksud merespon opini publik dimasa lalu, sekaligus menjawab statemen Ahok  beberapa minggu lalu.

Perspektif  Publik Terhadap IPDN
          Jauh sebelum Ahok berkicau di media sosial, antara bulan September-November 2011 terdapat beberapa opini publik terhadap eksistensi IPDN. Waktu itu bukan karena alasan klasik kekerasan semata, kendatipun pada saat yang sama publik tak begitu yakin seratus persen atas reformasi internal yang selama ini telah dilakukan. Dalam pertanyaan sinisme, publik menguji apakah benar slogan dan bahasa baliho no body contac dilingkungan kampus berkorelasi dengan kenyataan dilapangan. Hal ini muncul akibat keluhan sejumlah praja tentang tindakan satu-dua oknum bagian pengasuhan yang memang menjadi momok selama ini (tentu saja tak seluruhnya). Jangan-jangan di tingkat elitnya saja bahasa itu luwes diperdengarkan, dilevel operasionalnya tetap konsisten dengan tradisi masa lalu. Kritik lain sebagai indikasi adalah orientasi studi banding masih pada sekolah-sekolah militer, bukan boarding school sipil sebagaimana harapan publik. Kini kritik itu secara internal seperti memasuki realita purba, dimana IPDN cenderung kembali kedalam simbol-simbol kebudayaan yang dapat memicu sensivitas publik, seperti penggunaan kepangkatan ala militer pada garis jabatan struktural murni maupun akademik, tongkat komando, perubahan status Rektor menjadi Gubernur seperti Gubernur AKMIL, plus rencana integrasi Muda Praja ke AKMIL/AKPOL. Ini merupakan gambaran internal yang memprihatinkan di tengah sinyalemen eksternal Ahok pada Presiden Jokowi tanggal 4 September 2015 di sejumlah media sosial agar IPDN dibubarkan. Diluar itu, kritik alumni secara umum adalah persoalan internal di ruang birokrasi Provinsi DKI Jakarta tak dapat digeneralisasi sehingga menyesatkan opini publik, apalagi sampai menyimpulkan bahwa pendidikan Kepamongprajaan sebagaimana diresmikan Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno pada 17 Maret 1956 lewat APDN Malang dapat di produk swasta. Ahok harus paham bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diprivatisasi sebagaimana pendapat banyak ahli seperti David Osborn, Ted Gabriel atau Rondinelli. Tentu saja pendapat liar semacam itu bersifat ahistoris, emosional, politis, tak berpengetahuan cukup, bahkan kehilangan idiologi terhadap makna ke-Indonesiaan. Dalam pidato itu, Soekarno mengamanatkan tugas utama Akademi Pemerintahan sebagai sentral human of skill investmant, mental investmant dan managerial skill (Buku; Sasana Karya, 1956-1966, APDN Malang). Ketiga aspek tersebut kini berkembang menjadi pola pelatihan, pengasuhan dan pengajaran sekaligus membedakannya dengan pola pengajaran diberbagai perguruan tinggi umum dan kedinasan. Gagasan itu muncul dikarenakan banyaknya keputusan-keputusan yang baik namun berakhir dalam realitas yang buruk oleh sebab kegagalan administrator dilapangan pemerintahan.  Maknanya, sebagus apapun keputusan di level pimpinan, pada akhirnya bergantung pada implementator kebijakan, yaitu birokrasi sebagai mesin pemerintahan yang real. Disinilah nilai strategis yang diemban pemerintah sehingga selain alasan idiologi, pendidikan Kepamongprajaan di desain untuk membulatkan putusan yang ideal dengan hasil yang ideal pula. Pendidikan swasta tak bisa diserahkan percuma soal idiologi negara, dan negara tak bisa menyerahkan semua urusan pemerintahan pada swasta yang secara teoritik bersifat profit oriented, market minded, liberal, capital oriented, atau money oriented. Jika itu dilakukan maka loyalitas akan diukur oleh seberapa besar uang yang diterima, bukan loyalitas penuh pada negara/pemerintah/rakyat.
       Beberapa tahun lalu, terdapat pula opini dari sejumlah kalangan untuk membubarkan IPDN dengan alasan efisiensi. Sebuah acara di salah satu stasiun TV pada bulan September 2011, mantan Menteri/Ketua Bappenas RI yang baru saja di reshuffle oleh Jokowi pernah berpendapat bahwa salah satu kebijakan yang mesti dilakukan dalam rangkaian moratorium Pegawai Negeri Sipil adalah menghentikan rekrutmen lewat jalur sekolah kedinasan. Salah satunya dengan membubarkan IPDN. Ini menurutnya dapat mendorong terciptanya efisiensi. Apalagi dengan lahirnya sistem pendidikan nasional yang sejak dua tahun terakhir pada dasarnya telah mengakhiri riwayat sekolah kedinasan, kecuali Akademi Militer/Kepolisian, karena keduanya bersandar pada sistem yang berbeda, yaitu undang-undang sistem pertahananan dan keamanan negara. Diluar itu, semua sekolah kedinasan merujuk pada sistem pendidikan nasional dan aturan internal masing-masing departemen. Beruntung, hasil revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23/2014 memberi pijakan yang lebih jelas atas eksistensi pendidikan Kepamongprajaan dilingkungan kementrian dalam negeri.  Dengan demikian status IPDN sebagai salah satu pendidikan tinggi kedinasan memiliki dasar yang setaraf dengan AKMIL dan AKPOL. Sekalipun pengaturan soal rekrutmen pegawai diatur menurut UU ASN Nomor 5/2014, namun dasar hukum yang melandasi sebagian sekolah/perguruan tinggi dibawah kementrian bersifat spesialis, sehingga berlaku prinsip hukum umum lex specialis derogat lex generalis. Kalaupun ingin membubarkan, ubah kembali undang-undang pemerintahan daerah.
          Pada awal November 2011, salah seorang politisi senior dari partai berkuasa mengkritik pedas Kemendagri dalam sebuah rapat komisi II tentang ketidakkonsistenan pemerintah berkaitan dengan rekrutmen pegawai negeri sipil. Hal itu ditunjukkan dengan rekrutmen praja IPDN yang mencapai 2000 orang pada tahun 2011, sementara pada saat yang sama moratorium rekrutmen pegawai negeri diberlakukan. Kebijakan tersebut menurutnya telah menimbulkan diskriminasi dan menunjukkan bahwa kepentingan pusatlah yang lebih dominan muncul dibanding kepentingan rakyat di daerah. Dengan penuh spekulasi beliau menyatakan bahwa jumlah alumni IPDN dilapangan sudah terlalu banyak khususnya mereka yang ditempatkan di level kecamatan, kelurahan dan sekretaris desa. Sekalipun spekulasi tersebut cukup menggelikkan jika dikonfirmasikan pada realitas dilapangan namun cukup bagi kita untuk merenungkan kembali sejauhmana eksistensi dan masa depan IPDN.
          Pada tgl 20 November 2011 seorang kawan saya yang bekerja di lingkungan IPDN Jatinangor meminta tanggapan lewat facebook sebuah draft permendagri tentang status pengukuhan Pamongpraja Muda yang diajukan ke Kemendagri untuk disahkan. Draft tersebut ditolak dengan alasan ketidakjelasan dasarnya.  Tentu saja secara normatif yang dimaksud adalah tidak jelas baik yuridis, sosiologis dan filosofis. Praktisnya, penolakan tersebut dilengkapi dengan isi disposisi; apakah signifikansinya jika pengukuhan Pamongpraja Muda tanpa dilandasi oleh permendagri dimaksud? Lebih jauh, apakah dampak yang dapat timbul pada pegawai negeri sipil lain? Dengan berasumsi bahwa semua pegawai negeri sipil dalam konteks kekinian adalah juga Pamongpraja, maka apakah perbedaan dengan alumni IPDN dilingkungan kementrian dalam negeri? Tidakkah hal ini menimbulkan diskriminasi?  Hari ini IPDN justru menjadi episentrum bagi kepentingan pemerintah guna merealisasikan spirit revolusi mental. Untuk maksud itu tidak saja permendagri, statusnya kini kemungkinan dinaikkan menjadi instruksi presiden.
          Lepas dari perspektif publik dan sedikit kegelisahan owner (Kemendagri) yang kadang lupa sebagai rahim IPDN, yang menarik untuk dicermati adalah statement mantan Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dimasa Pemerintahan SBY, pada tgl 21 November 2011 (sebagaimana kutipan hal. facebook Kasubag Rumah Tangga Kemendagri), bahwa pendidikan kedinasan sebagaimana STPDN yang saat ini berganti nama menjadi IPDN diusulkan untuk dibubarkan dengan alasan pola regionalisasi saat ini menjadi sumber disintegrasi bangsa. Tanpa evalusi komprehensif bagaimana kondisi IPDN regional lebih jauh, Ia menganggap bahwa dengan kebijakan regionalisasi justru merupakan gejala awal lahirnya disintegrasi. Akar-akar pemerintahan menurutnya berada di kecamatan, kelurahan dan desa, yang semua entitas itu sudah dimasuki oleh alumni IPDN, namun menjadikan regionalisasi adalah awal dari tumbuhnya bibit kedaerahan, bukan nasionalisasi yang dapat melahirkan spirit nasionalisme sebagaimana harapan semula ketika dibentuk di Jatinangor (1990). Membandingkan kondisi IPDN regional saat ini dengan pernyataan sentimentil itu harus diakui tak seluruhnya keliru, terdapat sejumlah catatan penting yang mesti dikerjakan oleh owner, termasuk barangkali merestuinya agar kembali kedalam kesatuan IPDN terpusat. 

Efisiensi dan Masa Depan IPDN
          Sebagaimana kita ketahui, kebijakan regionalisasi adalah konsekuensi dari pilihan paling mungkin yang telah diambil oleh Presiden SBY pasca evaluasi IPDN menyeluruh tahun 2004. Alasan regionalisasi pada dasarnya merujuk dari dokumen hasil tim evaluasi IPDN saat itu, yaitu bertambahnya jumlah Praja tanpa diimbangi kapasitas yang tersedia ditengarai cenderung menimbulkan gesekan konflik baik vertikal maupun horisontal. Kondisi ini hanya mungkin dilakukan melalui perluasan kampus sebagaimana tertuang dalam salah satu opsi yang diajukan waktu itu, yaitu regionalisasi. 
          Pilihan terhadap opsi tersebut bukan tanpa disadari menimbulkan biaya yang tak sedikit. Sebenarnya, jika IPDN masih menggunakan dana alternatif seperti Dana Pendamping (Dapen) yang selama ini di sharing dari pemerintah daerah, maka beban pembukaan IPDN regional mungkin tak begitu terasa menyedot APBN sedemikian besar (+600 M/tahun). Namun sejak alokasi Dapen dihentikan atas catatan BPK, praktis semua operasionalisasi IPDN di pusat maupun daerah bertumpu pada APBN semata. Alasan BPK menghentikan Dapen pada waktu itu karena banyak temuan yang menunjukkan bahwa penggunaan Dapen lebih untuk kepentingan yang tidak jelas. Dana tersebut mengucur deras untuk urusan seremonial yang menjadi ciri khas lembaga kedinasan seperti upacara pengukuhan muda praja, wisuda dan pengukuhan Pamongpraja Muda. Dalam setahun, ritual tersebut dilakukan tiga kali sehingga relatif menyedot biaya yang tak sedikit. Kini pembiayaan IPDN di pusat maupun regional bertumpu pada APBN murni, selain berharap sedikit banyak bantuan Pemda yang kebetulan wilayahnya menjadi lokus IPDN regional. Hal itu dapat dilihat mulai dari tukar guling pengadaan tanah, bantuan operasional kenderaan dinas hingga penempatan personil Pemda dilingkungan organisasi IPDN regional. Pendeknya, IPDN regional dijalankan dengan semangat pantang menyerah, apa adanya, jatuh bangun demi menjalankan amanah pemerintah (Keppres).
         Dengan segala bentuk keterbatasan tersebut, rekrutmen IPDN sebenarnya tidaklah bermasalah jika dilakukan dengan membatasi jumlah yang akan diterima pada tahun 2011. Disinilah masalahnya, ketika kebijakan moratorium dikeluarkan presiden sejak bulan Juli 2011 hingga Desember 2012, semua akumulasi dari sisa pegawai yang seharusnya diterima pada rentang waktu tersebut tak memiliki peluang. Kemungkinan idealnya adalah memindahkan alokasi ke pendidikan kedinasan seperti IPDN yang dengan cara tersebut masalah rekrutmen pegawai sisa dapat dituntaskan, kecuali tenaga dokter spesialis, guru/dosen, analis, apoteker dan perencana. Mungkin saja bagi owner ini adalah peluang, namun bagi IPDN sendiri merupakan tantangan penuh resiko. Peluang, karena rekrutmen yang banyak dapat mendatangkan rezeki mulai dari testing masuk hingga kenaikan alokasi anggaran bagi siapa saja. Bagi IPDN sendiri, ini menjadi semacam duri dalam daging, sebab menerima praja dalam jumlah banyak sama saja beresiko berhadapan kembali dengan peristiwa mengenaskan yang dapat terjadi sewaktu-waktu seperti insiden Wahyu Hidayat (2004) dan Clift Muntu (2007). Tetapi, bagaimanapun hebatnya sejumlah guru besar dan doktor yang mulai melimpah, sulit menolak kebijakan owner yang bersifat hirarkhis dan top down. Apalagi IPDN hanya semacam unit pelaksana teknis dibawah koordinasi Badan Diklat dan berada dibawah kendali langsung setjend. Publik harus memahami hal itu. Owner-nya adalah kementrian dalam negeri. Situasi ini jelas sangat berbeda jika dibandingkan pola pengangkatan Rektor di lingkungan IIP yang lebih demokratis justru pada saat rezim otoriter-sentralistik masih berkuasa. Saat ini, ketika lingkungan kita tampak demokratis-desentralistik, justru pola pengangkatan Rektor hingga pelantikan seorang pejabat paling rendah dilakukan jauh dari standar baku dan ciri merit sistem. Praktisnya, IPDN sebenarnya kehilangan sebagian otonomi sejak digabungkannya IIP dan STPDN menjadi IPDN, sekalipun disatu sisi sangat disadari sebagai lembaga pendidikan kedinasan. Inilah alasan logis mengapa IPDN agak lambat dalam reformasi. Satu hal yang perlu diketahui publik bahwa penerimaan IPDN bukanlah satu-satunya tanggungjawab Kemendagri, kini termasuk Menpan dan KPK.  Dalam 3 angkatan terakhir Menpan bertanggungjawab dalam soal rekrutmen teknis, KPK mengambil bagian dalam pengawasan, serta Kemendagri dalam hal fasilitasi pendidikan, pelatihan dan pengasuhannya.  Dalam hal ini IPDN sedikit lebih maju diluar sejumlah persoalan internal akut yang belum selesai dan terawat berlarut-larut.  Dampak eksternal dapat kita amati dari sejumlah kritik dan hasil evaluasi seperti dikemukakan diatas. Pada sisi lain ekstensifikasi IPDN melalui perluasan kampus menambah biaya tak sedikit setiap tahun. Membengkaknya dana setiap tahun tentu saja mengundang pertanyaan besar tentang seberapa efektifkah pendidikan di IPDN memberikan hasil yang optimal bagi bangsa dan negara. 
           Pendapat politisi dan pejabat negara bahwa entitas pemerintah di level kecamatan dan kelurahan telah sesak oleh alumni IPDN tentu saja mudah dijelaskan seandainya bagian inventarisasi alumni memiliki data yang komprehensif di daerah. Sepanjang perjalanan saya dan beberapa kawan dari Sabang sampai Merauke, alumni IPDN di kecamatan, kelurahan dan desa terbilang sedikit, sekalipun harus diakui bahwa mereka lebih dominan dibanding pegawai lain. Mengapa? Karena setiap alumni memang diproduk untuk merepresentasikan 3 orang pegawai biasa, atau 1 berbanding 3. Apa yang dominan terlihat? Karakter mereka mudah dikenali  dari performance fisikal, psikologikal, moral dan sosial. Fisikalitas direpresentasikan oleh tubuh yang sehat, kuat, tinggi, bersih, rapi dan tak gampang lelah.  Ini menjamin ouput kinerja performance pemerintah yang melebihi rata-rata. Tak perlu heran jika lebih kurang 826 alumni yang tersebar di DKI Jakarta mampu menduduki eselon 4 hingga 2 dengan nilai diatas rata-rata. Tampaknya, kalaupun benar statement Ahok, sebenarnya kontra produktif dengan kenyataan dimana setiap pelantikan pejabat dilingkungan Provinsi DKI Jakarta hasil lelang jabatan (open biding) selalu diramaikan oleh lulusan IPDN. Psikologikalitasnya dilihat dari kemampuan mereka untuk survive dan mengendalikan emosi saat berhadapan dengan setiap masalah dalam lingkungan birokrasi. Ini menjamin sikap kenetralan dalam menghadapi situasi politik dimana saja. Kalaupun ada, ini persoalan individu yang tak dapat digeneralisasi menurut tradisi metodologi keilmuan. Moralitas menjamin kemampuan mereka menyerap nilai-nilai luhur agama dan budaya sebagai sumber etika tertinggi dalam bersikap pada masyarakat dan patuh sepenuhnya pada hukum positif, etika birokrasi dan etika pemerintahan. Ini memproduk kejujuran sebagaimana contoh kecil ketika Tsunami Aceh terjadi, hanya 3 orang alumni yang menjaga uang tunai benilai ratusan miliar rupiah di sebuah tempat di Aceh atas perintah seorang Menteri tanpa kekurangan sepersenpun sampai kemudian diserahkan secara manual kepada tim BRR pimpinan Pak Kuntoro. Sedangkan sosialitas tercermin dari sikap mereka dalam beradaptasi dimanapun Pamongpraja Muda ditempatkan. Kemampuan ini tak jarang mendorong mereka menjadi alternatif pilihan dalam seleksi kepemimpinan lokal. Itulah mengapa beberapa diantaranya menjadi pejabat politik sekalipun masih di usai belia.  Lihat saja penjabat kepala daerah saat ini (2015) 7 diantaranya berasal dari lulusan IPDN. Kenyataan sebelumnya dapat dilihat pada puluhan jabatan politik sebagai Bupati dan Wakil Bupati, anggota DPRD dan DPR-RI, hingga ratusan jabatan eselon 2 (Sekda dan Kepala Dinas, Badan dan Kantor), eselon 3 (Kabag, Camat, Lurah dan Kepala Bidang), dan eselon 4 (kasubag dan sejenisnya) yang diduduki dihampir semua strata pemerintahan.  Jabatan politik di dominasi oleh lulusan APDN dan IIP, sedangkan jabatan struktural dikuasai oleh alumni lanjutannya, STPDN dan IPDN. Aspek intelektual masuk dalam bidang pengajaran walau porsinya tak begitu dominan, sebab fokus utama pendidikan IPDN adalah membangun karakter manajerial pemerintahan yang profesional sesuai visi misinya. Aspek intelektual dikembangkan pada strata selanjutnya selepas melaksanakan tugas selama dua tahun.  Inilah basis empirikal yang akan dipertemukan dalam dunia teoritik dan konseptual sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan seorang alumni pendidikan Pamongpraja ketika pendidikan lanjutan dilaksanakan pada tahap berikutnya (S1,S2,S3). Faktanya, sebagian besar alumni telah menyelesaikan strata magister di dalam dan luar negeri. Ditingkat post graduate, diantaranya adalah lulusan universitas ternama di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Belanda, Perancis, Australia, Jepang, Malaysia dan Singapura.  Hingga tulisan ini dibuat, ratusan alumni yang masih berstatus sebagai tugas belajar di universitas lokal seperti UI, UGM, UNPADJ, UNHAS, UNBRAW, UNDIP, UNTAD, UNTAN, UNCEN hingga luar negeri tentu saja merasa penting untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara.
       Pendidikan Kepamongprajaan pada dasarnya tak dapat diberikan begitu saja kepada pihak swasta. Pendidikan Kepamongprajaan memiliki misi idiologi negara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika (Ndraha, 2003).  Kalau diserahkan ke swasta seperti pendidikan Satpam, maka idiologi Pamongpraja adalah idiologi Majikan/Tuan, siapapun yang mampu memberi makan disitulah loyalitasnya. Dapat dimaklumi bahwa mereka yang mengusulkan agar IPDN diserahkan pada pihak swasta kemungkinan besar adalah pemimpin tanpa idiologi, kecuali majikan Toko Kelontong yang menggaji buruh sambil memeras keringatnya. Menurut pendapat saya, pemimpin tanpa partai politik adalah pemimpin tanpa idiologi, sekalipun banyak juga kader partai yang kehilangan idiologi ketika mendapat kekuasaan.  Tetapi setidaknya seseorang yang memiliki partai tentu saja memiliki kejelasan idiologi dan platform seperti apa yang akan diperjuangkan. Pada kenyataannya, setiap tahun pemerintah daerah hanya menerima rata-rata dua sampai 3 orang alumni IPDN. Ini jelas jauh dari kebutuhan riil Pamongpraja yang diharapkan. Bahkan dampak dari pemilukada langsung saat ini telah membatasi peluang alumni IPDN menduduki jabatan yang sejak awal dipersiapkan untuk itu, yaitu Camat dan Lurah.  Diberbagai kasus daerah otonom, peluang sistem yang longgar tersebut memungkinkan alumni perguruan tinggi lain seperti sarjana agama, olah raga, seni, teknik dan kesehatan bukan mustahil bahkan dominan menjabat sebagai Camat dan Lurah.  Belum lagi tingkat kepatuhan pemerintah daerah terhadap regulasi pusat sebagaimana amanat UU 32/2004 (23/2014), PP 19/2008 atau Permendagri 30/2009 berkaitan dengan persyaratan Camat dan Lurah dianggap angin lalu.  Semua itu menunjukkan secara gamblang bahwa alumni IPDN justru tak memperoleh posisi siginifikan sebagaimana diasumsikan oleh opini publik. Sebaliknya, diperlukan sebuah political will yang mampu mendorong dilaksanakannnya semua aturan dimaksud. Mungkin satu-satunya kepala daerah yang berbaik hati menempatkan semua alumni IPDN/APDN/IIP kedalam posisi yang sesuai adalah Bupati Lebong Provinsi Bengkulu periode 2010. Sisanya, sekalipun kepala daerahnya alumni pendidikan tinggi Kepamongprajaan, tidak dengan serta merta legowo menempatkan alumni IPDN kedalam jabatan yang sesuai dengan porsinya.  Bahkan, kita semua relatif sangat sulit menemukan alumni IPDN menjadi camat atau lurah di daerah tertentu.  Mengutus calon praja-pun jarang, disebabkan dinamika lokal yang bernuansa monarchis-feodalistis. Lepas dari kesenjangan itu, dalam kondisi demikianpun mereka masih memperlihatkan prestasi yang membanggakan dimana setiap tahun peraih Lurah Terbaik dan Camat Terbaik di Istana Presiden didominasi oleh lulusan APDN, IIP, STPDN dan IPDN.

Isu Disintegrasi dan IPDN
       Isu disintegrasi selama ini merujuk pada upaya dan potensi terjadinya separatisme. Dijaman orde baru isu ini muncul sejak pola pembagian kue ekonomi dan eksistensi budaya dinilai tak mencapai keadilan antara pusat dan daerah.  Hal ini bisa ditelusuri dalam kasus Aceh, Papua, Riau hingga Jogja. Lalu apa hubungannya dengan IPDN? Selama ini, satu-satunya alasan filosofis-historis yang membentengi eksistensi pendidikan Pamongpraja adalah kemampuan melakukan integrasi melalui sikap adaptif sebagai seorang pemimpin yang diajarkan untuk mampu mengayomi siapa saja dan dimana saja.  Unsur asthabrata yang menjadi karakteristik sosok kepemimpinan Jawa selama ini diterima secara universal dan menjadi pondasi utama dalam proses penanaman nilai di IPDN. Bandingkan dengan nilai-nilai kepemimpinan Akabri yang dijiwai oleh banyak prajurit seperti Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto. Dengan modal itulah maka setiap alumni diharapkan mampu hidup dan menghidupi lingkungannya dalam segala bentuk ruang dan waktu. 
         Dalam proses pendidikan yang dijalani, setiap praja diarahkan belajar pada realitas kehidupan yang hampir mendekati miniatur objek dilapangan.  Disinilah mengapa praja mesti hidup secara kolektif dari Sabang hingga Merauke, agar mereka saling mengenal dan mampu mengembangkan daya adaptabilitasnya disetiap persentuhan dan interaksi sejak bangun hingga tidur kembali.  Kebijakan regionalisasi pada dasarnya hanya memindahkan ruang yang terlalu sempit di Jatinangor tanpa mengurangi representasi praja dari berbagai wilayah penerimaan. Artinya, semua IPDN regional setidaknya tetap merepresentasikan kebhinekaan dalam ketunggal-ikaan, dimana praja dari setiap provinsi terwakili. Jadi pada dasarnya tidak ada yang berubah kecuali lokasi, lokasi dan lokasi. Jika bukan karena opsi regionalisasi, tentu saja yang lebih tepat adalah opsi pertama, yaitu mengembangkan lokasi IPDN di Jatinangor yang masih luas dan mubazir (300 ha). 
       Bagi semua yang pernah belajar tentang ilmu pemerintahan, paham bahwa desa adalah akar dan basis pemerintahan traditional dan paling tua dibanding negara itu sendiri. Bahkan jauh sebelum terbentuknya desa, individu dan keluarga adalah cikal bakal dari akar-akar pemerintahan di desa (Mac Iver, 1999).  Karena itulah mengapa semua objek pembangunan ditujukan ke arah pembangunan individu, keluarga dan desa, hanya dengan satu harapan terbentuknya pemerintahan yang baik dapat dimulai. Demikian pula kelurahan dan kecamatan yang merupakan basis pengembangan pemerintahan lebih lanjut. Justru karena pemahaman itulah sehingga perlunya tanggungjawab pemerintah pusat terhadap akar-akar pemerintahan tadi dimana diperlukan aparat khusus yang benar-benar memahami karakteristik pemerintahan desa, kelurahan dan kecamatan. Dan dalam konteks itulah kita membangun pendidikan tinggi Kepamongprajaan (IPDN), agar mampu menjawab masalah minimal dimulai sebagai sekretaris desa. Adakah perguruan tinggi lain yang secara khusus menyiapkan dan menjawab masalah yang dikemukakan diatas? Saya yakin belum ada, kecuali di IPDN. Saya sependapat jika alumni STAN terkesan hanya milik Kemenkeu, Akademi Perhubungan milik Kemenhub atau Akademi Imigrasi hanya milik Kemenhum dan HAM, namun bukankah IPDN bukan milik Kementrian Dalam Negeri semata?  Semua alumni begitu selesai langsung kembali ke daerah otonom di seluruh penjuru tanah air, berasimilasi dan berjibaku dengan kompleksitas masalah di daerah yang penuh suka dan dukanya. Kemendagri pada dasarnya hanya memfasilitasi mulai dari rekrutmen hingga menghasilkan outputnya. Untuk apa? Karena Kemendagri menjalankan tugas filosofistik negara, yaitu menjaga perbedaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini direpsentasikan oleh Dirjend Otda, Kesbangpol dan Pemerintahan Umum. Sebagai bentuk konkrit dari tugas pokok itu, maka IPDN dibentuk Kemendagri agar terbentuk sebuah wawasan kebangsaan yang mampu menciptakan integrasi dimanapun ditugaskan.  Betapa semua filosofi itu dapat dibuktikan ketika Timor Leste pisah dari NKRI, sebagian alumni Timor Leste hingga saat ini tetap bertahan sebagai pegawai negeri diberbagai pelosok Pulau Jawa yang justru semula dipandang sebagai penjajah bagi bangsa mereka.  Bukankah semua itu menunjukkan keefektifan dari tujuan dan makna integrasi yang dicita-citakan? Bukan diserahkan pada swasta sebagaimana saran Ahok. Swasta juga dapat memproduk polisi dan tentara bayaran seperti di Eropa, demikian pula spesialisasi lain seperti pengelolaan keuangan, akuntansi, auditor publik/swasta dan sebagainya.  Namun sekali lagi, mereka bukan membawa idiologi negara, namun membawa idiologi kapitalisme, kelompok dan isi perut semata. Kalaupun ada kasus dimana alumni IPDN terkait GAM di Aceh (2008), bukanlah hal yang dapat ditolerir begitu saja, apalagi sampai tutup mata, semua itu harus dilihat kasus-perkasus, tak bisa digeneralisasikan secara sederhana.  Apakah sejumlah tentara dan polisi yang berbelot menjadi anggota pemberontak dijaman kemerdekaan atau menjadi anggota GAM patut digeneralisasi? Kita semua sependapat, tidak.


Efisiensi IPDN
     Jika efisiensi yang menjadi alasan untuk melakukan restrukturisasi dilingkungan IPDN, saya pikir semua alumni relatif sependapat. Memperluas IPDN dalam bentuk regionalisasi bukanlah solusi yang efektif dalam upaya menghentikan kasus kekerasan di IPDN.  Buktinya, sepanjang IPDN regional dibuka sedikit kasus kekerasan tetap muncul sekalipun dalam skala yang lebih kecil.  Hal itu bisa dibuktikan pada sejumlah Praja yang dikeluarkan sepanjang tahun 2009-2014 di IPDN regional akibat kekerasan dan perilaku asusila. Dampak pembukaan IPDN regional secara teknis setidaknya meliputi ; pertama, membengkaknya biaya pengelolaan pendidikan, khususnya operasionalisasi belajar-mengajar. Atas konsekuensi dari kebijakan diatas maka seluruh proses belajar-mengajar diserahkan sepenuhnya pada IPDN regional dengan menggandeng dosen, pelatih dan pengasuh lokal.  Kedua, Akibatnya, kompetensi pengajar tentu saja jauh dari harapan, dimana muatan teoritik cenderung lebih banyak karena bergantung pada universitas lokal dibanding praktikum yang diharapkan berasal dari dosen yang setidaknya memiliki pengalaman lapangan (Pamongpraja).  Kondisi ini menjadikan IPDN regional praktis kehilangan nilai utama yang justru menjadi pembeda dengan sekolah lain. Belum lagi jika kampus lokal tak begitu steril dengan isu separatisme dan berakreditasi rendah pada perguruan tinggi yang menjadi partner kerja. Ketiga, perluasan IPDN regional kurang diimbangi paralel dengan rekrutmen dosen, pelatih dan pengasuh yang kompatibel. Akibat pertama, terjadi kelangkaan dosen, pelatih dan pengasuh. Dampaknya, bertumpuknya mata kuliah pada setiap dosen aktif. Setiap dosen memegang lebih dari 3 mata kuliah yang bahkan tak sesuai dengan kompetensinya. Semua itu dilakukan dengan alasan untuk memenuhi target sertifikasi.  Kedua, kekurangan dosen secara terpaksa ditutupi dengan mengkonversi pegawai struktural menjadi dosen tanpa seleksi fairness. Akibatnya, banyak dosen yang benar-benar tak memiliki kompetensi dasar lahir sebagai dosen yang berkarakter nekat. Semua itu dapat menjadikan IPDN jauh dari ras unggul, apalagi bernilai istimewa. Sejumlah dosen hasil rekrutmen tak jelas mengakibatkan biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi semakin tinggi ditengah terbatasnya dana yang dimiliki, selain mempersempit peluang bagi rekrutmen dosen, pelatih dan pengasuh yang benar-benar memiliki kompetensi.  Keempat, pola distribusi praja secara regional tak mempunyai ukuran yang jelas sehingga membuka peluang terciptanya mekanisme transaksional antara Praja yang ingin tetap di Jatinangor dengan oknum birokrat. Bagi Praja yang tak memiliki akses sudah pasti harus pasrah menerima nasib ditempatkan di IPDN regional. Kelima, ketiadaan evaluasi komprehensif apakah perbedaan Praja yang pernah ditempatkan secara regional di daerah dengan mereka yang tetap di Jatinangor  memiliki keunggulan atau sebaliknya.  Apakah mereka yang berada di IPDN regional jauh lebih berwawasan atau mungkin lebih tinggi fighting spirit-nya dibanding mereka yang duduk manis di IPDN Jatinangor?  Ataukah justru sebaliknya. Ini penting untuk mengukur keberhasilan dan kegagalan atas kebijakan regionalisasi. Perlu diingat, lingkungan sangat mempengaruhi tahap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan seorang kader.

Kekhususan IPDN
    Membahas kekhususan IPDN dalam prasangka dan kecurigaan banyak pihak dipandang sebagai sebuah ekslusivisme.  Secara filosofistik, pemerintah merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki keistimewaan.  Keistimewaan itu menurut Ndraha (1999) terletak pada penggunaan kekuasaan yang secara otoritatif dapat digunakan pada semua cabang kekuasaan, apakah selaku eksekutor, legislator maupun yudikator. Sebagai eksekutor, pemerintah menentukan tindakan apa yang sepatutnya dilakukan atau bahkan tidak dilakukan untuk kepentingan publik (perspektif implementasi kebijakan publik, Thomas R. Day). Sebagai legislator, pemerintah menentukan aturan apa yang sebaiknya dibuat agar efektif menjamin kemaslahatan orang banyak (perspektif politik Aristoteles).  Bahkan sebagai yudikator, pemerintah berhak menentukan seberapa besar perlindungan yang mesti diberikan pada setiap warganya sejauh benar-benar untuk kepentingan umum (perspektif hukum Cicero). 
         Oleh karena pemerintah memiliki keistimewaan tadi, maka memikul tanggungjawab sebagai pemerintah tidaklah dapat dilakukan oleh orang biasa.  Setidaknya demikian kata Aristoteles (Giroth:2006). Mereka perlu dididik sedemikian rupa untuk menjalankan fungsi-fungsi istimewa tersebut.  Dalam kaitan inilah mengapa IPDN secara khusus dibentuk sejak jaman pra-kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan (Labolo:2011). Jika kita pelajari sejarah Pamongpraja (Suryaninggrat:1992, Haily:2010, Ndraha:2010), terlihat jelas bahwa kebutuhan pendidikan Pamongpraja memiliki makna khusus.  Dengan demikian jika IPDN sejak awal pembentukannya tak memiliki makna khusus, bukankah Kemendagri sebagai pencetus awalnya tak beralasan untuk mempertahankan hingga saat ini? Saya pikir justru karena terdapatnya kekhususan itulah sehingga eksistensi IPDN masih tetap dipertahankan. Jika tidak, lebih efektif dan efisien jika rekrutmen pegawai diserahkan sepenuhnya ke daerah atau mungkin ke swata sebagaimana harapan Ahok.
Meninggalkan sejenak pertanyaan diatas, saya ingin menjelaskan apakah nilai khusus dimaksud? Pertama, kekhususan tersebut tentu saja berkaitan dengan filosofi fungsi pemerintahan diatas.  Kedua, kekhususan tadi berkaitan dengan kompetensi yang dimilikinya, yaitu kemampuan membangun integrasi, koordinasi dan adaptasi. Kemampuan integrasi menghasilkan modal kepemimpinan dalam masyarakat, kemampuan menjalin koordinasi melahirkan karakteristik sebagai manajer dalam birokrasi, sedangkan kemampuan beradaptasi menghasilkan sikap kenegarawanan dalam mengawal pluralitas masyarakat. Ketiga, penggunaan otoritas oleh pemerintah membutuhkan seperangkat mental yang tak rapuh dan tak mudah goyah oleh tekanan, termasuk ketika membuat sebuah keputusan yang berkecenderungan menimbulkan resiko tinggi. Semua itu harus ditanggung dan dijawab sedemikian rupa sehingga setiap Pamong haruslah mereka yang memiliki nyali dan dapat menerima kenyataan yang terburuk sekalipun.  Bukan pejabat yang lemah mental hingga meneteskan air mata ketika terdesak oleh sejumlah pertanyaan politis sebagaimana kita saksikan setiap kali pemerintah berhadapan dengan kaum politisi. Inilah salah satu keistimewaannya. Keempat, jika menjadi kelompok yang diperintah membutuhkan sebuah pemahaman akan hak dan kewajiban yang jelas, lalu mengapa menjadi kelompok yang memerintah tak dibekali oleh pendidikan yang secara khusus dapat membentuk karakter dimaksud? (Intelektual, Moral dan Keahlian Praktis; Aristoteles). Disinilah keistimewaan berikutnya. Kelima, apapun nilai kekhususan atau keistimewaan yang melekat sebagai konsekuensi dari fungsi pemerintah yang istimewa diatas tidaklah dapat dipandang secara diskriminatif. Disini mengandung nilai keadilan proporsionalitas.  Logikanya, bukankah diantara 33 provinsi ada 4 provinsi yang tak boleh kita anggap diskriminatif karena diperlakukan asimetrik lewat undang-undang khusus. Ini namanya keadilan proporsional. Dengan demikian ASN alumni IPDN tidaklah boleh dipandang diskriminatif jika dibanding dengan ASN lain dikarenakan mereka dididik dengan kompetensi khusus.  Kekhususan itupun tak serta merta meningkatkan gaji mereka atau mempercepat kenaikan pangkat mereka, bukankah hal ini sama saja dengan ASN lain.  Demikian pula mereka yang lulus AKPOL dan AKMIL, mereka dididik dengan kompetensi khusus, namun tak mengubah hak dan kewajiban mereka sebagaimana anggota militer lain, semua bergantung pada pimpinan masing-masing.  Dan sejauh ini tak ada militer biasa yang protes karena kekhususan dimaksud.  Demikian pula ASN alumni IPDN, sejauh ini tak ada ASN biasa yang protes disebabkan kekhususan yang dimilikinya sejak awal. Lalu, mengapa kita selaku desainer dan owner yang gelisah dan terkadang mempersoalkan? Jika ingin biasa-biasa saja, tutuplah kampus IPDN, lalu biarkan rekrutmen berlangsung menurut kehendak raja-raja kecil yang ada di daerah, atau perusahaan swasta milik Taipan, mudah-mudahan kompetensi lokal mereka mampu melahirkan kemampuan membangun integrasi, koordinasi dan adaptasi.
         Akhirnya, kita semua semakin optimistik, jika APDN lokal saja mampu melahirkan putra-putra terbaik sekelas Moerdiono (Mantan Mensekneg 3 periode di era Orde Baru), Prof. Dr. Ryaas Rasyid (mantan Menteri Otonomi, Menpan dan Wantipres, Konseptor dan perubah sistem pemerintahan daerah lewat desentralisasi dan otonomi daerah), Prof. Dr. Taliduhu Ndraha (Guru Besar IIP), Prof. Dr. Djohermansyah Djohan  (Mantan Dirjen Otda), Dr. Made Suwandi (Mantan Dirjen PUM), Dr. Syamsul Arief (Mantan Dirjend Bangda), Tursandi Alwi (mantan Deputi Wapres), Andi Luthfi (Mantan Deputi Wapres dan anggota DPR RI), Dr. Edy Sutopo (mantan Kepala BKN), Dr. Suhajar (Staf ahli Menteri Bidang Pemerintahan), Prof. Dr. Sadu Wasistiono, dan puluhan doktor serta guru besar di pusat dan daerah, apatah lagi jika ia lulusan pendidikan tinggi Kepamongprajaan yang berstatus nasional seperti saat ini.  Dengan segala hormat, Ahok yang populer dengan ceplas-ceplosnya tak perlu kuatir, sebab dalam tempo 5 hingga 10 tahun kedepan semua tampuk pemerintahan dari akar hingga pucuk pimpinan akan terisi dengan sejumlah alumni terbaik lulusan IPDN.






         
         

Komentar

  1. Balasan
    1. Trima Kasih apresiasinya Mas Tri, semoga tetap semangat,...

      Hapus
  2. Bangga sekali membaca tulisan mu ini bro muhadam ..sukses selalu..bravo 04..bhineka nara eka bhakti..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trima ksih, "berbagi untuk berarti", saya senang dengan motto tersebut,..bravon...

      Hapus
  3. Balasan
    1. Semangat yang sama,..Bhinneka nara eka bhakti,...

      Hapus
  4. Luar biasa kanda.. Semoga ahok baca sehingga membuka mata, hati dan pikirannya.. Sukses slalu kanda..

    BalasHapus
  5. bhineka nara eka bhakti...subhannallah...

    BalasHapus
  6. Bhineka nara eka bhakti, sukses terus IPDN

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sukses selalu Yusran Nasir,...tetap berkarya dengan baik,...

      Hapus
  7. Ijin pak..tulisan yang berimbang..semoga menginspirasi..

    BalasHapus
  8. Pemahaman yg gagal..membuat gagal paham.. Selalu merasa yg paling benar, itlah Ahok. Kita tdk merasa yg paling benar tetapi berusaha unt menjadi benar... tdk merasa bisa tp bisa merasakan sbg kader harapan bangsa. Terus berkarya.m..BNEB

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks "serba serbi otda",..mengingatkan kita pd ikrar, "tdk merasa bisa, tapi bisa merasakan",.....

      Hapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  10. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  11. Pemikiran komprehensif dan gradual yang telah melewati skat-skat ide individualistik materialisme negara ...negara bangsa adalah ideologi yang dipahami oleh seluruh mantan praja...walaupun ada beberapa yang memaknainya dengan perbedaan pandangan. Semoga pak ahok dapat memahami dan memaknai konsep dan realitas keberadaan pamong praja itupun kalau dia mau sedikit mengkaji. Terima kasih saudaraku, dalam bahasa yang lugas telah bertutur tentang apa, siapa, dan untuk apa para mantan praja yang sampai dengan saat ini masih banyak memegang teguh idealism sebagai abdi negara dan bangsa bukan mengabdi kepada penguasa...dengan konskuensi logis "tidak dipakai"...hehehe...itupun kalimat yg aneh ya seperti barang mainan saja. Mungkin seperti itu yang ada dalam pikiran pak Ahok.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar Pak Beni, Ahok tak memahami aspek fundamental pendidikan kepamongprajaan, Ahok hanya paham soal pasar/market/uang sehingga yang slalu muncul adalah ide privatisasi/swastanisasi. Ahok tak paham urusan mana yang akan diprivatisasi dan mana yang mutlak menjadi urusan negara (E. Savas, David Osborn, Ted Gabler dan Rondinelli)...

      Hapus
  12. Sebuah tulisan yg kaya akan riset n pengalaman sebagai seorang pamong serta pengajar, tulisan ini jg memberikan pengetahuan perbedaan ideologi negara vs ideologi majikan....kira2 kapan bisa satu meja dgn bpk Ahok

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trima kasih, kami sudah duduk bareng dgn Ahok kemaren sore, sy berusaha memahami pikiran Ahok. Jelas selama 1 jam berbincang dgn Ahok beliau tak paham aspek historis, filosofis dan kontekstualitas kepamongprajaan. Pikiran Ahok hanya soal visi politik Indonesia, peluang dan tantangan bagi elektabilitas dirinya dimasa akan datang....

      Hapus
  13. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  14. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  15. Sdrku...apa yang kita duga benar adanya, bahwa pak ahok hanya berpikir sesuai dengan kultur keluarganya...eksistensial materialism yang merupakan dasar dari negara super sekuler. Pemikiran ini pernah dikritik habis oleh Ali Syari'ati karena menghilangkan konteks normatif sebagai abduhuu wa rasuluhuu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya benar Pak Ben, dari hasil diskusi kami dengan Ahok, kelihatan bhw pola pemikiran Ahok cenderung ke pasar "gelap" bahkan, sbb Ahok merasa lebih bagus sebagian pegawai dimagangkan di Bank BCA sehingga lebih murah senyum dsbnya. Inilah yg dikritik oleh Prof. Taliziduhu Ndraha bhw hakekat pelayanan pemerintah bukanlah artifisial seperti pegawai Bank atau pegawai POM Bensin dengan 3 S. Hakekat pelayanan dalam pemerintahan adalah relasi yang bergantung pd konteks dari hubungan antara yang memerintah dan yg diperintah. Terkadang salah satu pihak berperan pada posisi yang berbeda sehingga membutuhkan keseimbangan, bukan model pelayanan prima yg teknis seperti bayangan Ahok. Itu mah tak perlu dipelajari dengan membuka program S1, S2 dan S2 ilmu pemerintahan.

      Hapus
  16. Sebuah tulisan yg kaya akan riset n pengalaman sebagai seorang pamong serta pengajar, tulisan ini jg memberikan pengetahuan perbedaan ideologi negara vs ideologi majikan....kira2 kapan bisa satu meja dgn bpk Ahok

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian