Implikasi Teknologi Informasi dan Kekosongan Regulasi

Oleh. Muhadam Labolo

Kecepatan dilevel infrastruktur (masyarakat) dalam memanfaatkan kemajuan teknologi lewat berbagai aplikasi semacam Grab, Uber maupun Go Jek tampak seperti mendahului kemajuan berpikir ditangga suprastruktur (pemerintah). Personifikasi negara  yang terjebak dalam kemacetan lalu lintas soal debat pengaturan transportasi yang dinilai ilegal lewat penggunaan teknologi informasi itu tentu saja Kementrian Informasi dan Kementrian Perhubungan. Satu tingkat dibawah itu terdapat Pemerintah DKI Jakarta yang menjadi lokus bagi mobilitas transportasi legal dan yang dinilai ilegal. Dalam Indonesia Lawyer Club (ILC) yang ditayangkan 15 Maret terlihat sejumlah stakeholders duduk bersama mendiskusikan kegelisahan pengusaha transportasi legal dan yang dianggap ilegal, sopir taxi dan pengguna aplikasi, pemerintah, penanggungjawab layanan konsumen, ahli hukum, budayawan hingga penikmat layanan dalam hal ini perwakilan masyarakat. Penting bagi saya mencatat masalah ini karena berkaitan langsung pada dua variabel pokok yang menjadi konsentrasi kybernology (ilmu pemerintahan) yaitu disatu pihak mereka yang memerintah dan dilain pihak mereka yang diperintah. Kualitas relasi itu tentu saja ditentukan oleh dua hal mendasar yaitu seberapa jauh penggunaan kewenangan oleh pemerintah dapat dilakukan dan seberapa besar pelayanan dapat diterima oleh masyarakat dalam bentuk jasa publik dan layanan sipil. Pertanyaan awalnya adalah siapakah yang memiliki kewenangan dalam soal pengaturan izin trayek angkutan umum dalam skala tertentu? Apa kriterianya dan siapa yang berwewenang dalam mengendalikan luapan kemajuan teknologi aplikasi sebagaimana kini menjadi semacam layanan kenikmatan tersendiri bagi setiap pemakai teknologi android?  Pertanyaan kritis bagi pihak yang diperintah dalam hal ini adalah apakah penggunaan teknologi aplikasi dalam mengembangkan usaha produktif dibidang layanan transportasi memiliki aturan yang jelas dari pemerintah? Kalaupun ada, dimanakah aturan itu? Bagaimana pula dengan bisnis online yang lebih duluan marak, berciri murah, tinggal dipesan dari mana saja, maka aneka macam jenis barang dengan label beken dan mahal di Toko dan Mall akan datang dengan sendirinya seusai ditransfer. Gejala tersebut menunjukkan bahwa pemerintah (misalnya saja departemen perdagangan) kalah cepat dalam mengantisipasi perkembangan  masyarakat dalam memanfaatkan teknologi informasi dewasa ini.
Sebelum  kita mendekati (mencoba menjawab) persoalan diatas, kini kita menyadari bahwa suatu bahwa semua layanan kedepan akan berbasis teknologi informasi (bahkan sudah), sementara pemerintah disatu sisi sebagai produsen regulasi tertinggal jauh dibelakang kecepatan teknologi dan kecerdasan publik. Kemajuan teknologi informasi dan kecerdasan publik dalam mengembangkan instrument bagi keuntungan pribadi dan kemaslahatan orang banyak (common good) tentu saja pada prinsipnya tak dilarang, bahkan pada satu sisi menjadi komplemen bagi terbatasnya pelayanan pemerintah sepanjang tak menjadi penyebab bagi lahirnya masalah baru. Birokrasi yang buruk serta sumber daya yang tak memadai kemungkinan menjadi salah satu alasan kuat mengapa masyarakat mencari alternatif untuk memecahkan problem yang dihadapi sehari-hari. Bagi masyarakat sebagai penikmat layanan tentu saja berpikir praktis, layanan transportasi setidaknya memenuhi kriteria pilihan murah dari sisi ongkos, mudah bila dibutuhkan, serta nyaman bila digunakan (keamanan). Pilihan soal instrument apa yang akan digunakan oleh masyarakat dengan kriteria tersebut tentu saja menjadi hak prerogratif individu masing-masing. Namun migrasi besar-besaran masyarakat kedalam pilihan layanan yang memenuhi kriteria diatas bukan tanpa masalah, sekalipun secara logika hal itu tentu saja telah memecahkan sebagian masalah pokok masyarakat kota yang membutuhkan kecepatan, kemudahan dan kenyamanan layanan. Problemnya, kekosongan regulasi dalam menjawab persoalan diatas menimbulkan ketimpangan bagi pengusaha transportasi yang selama ini bersandar pada aktivitas manual. Benar, bahwa mereka adalah bagian dari kelompok stakeholder yang taat hukum (aturan) dan bayar pajak baik perorangan maupun kolektif (perusahaan). Benar pula bahwa mereka berpijak pada aturan yang diproduk pemerintah selama ini. Namun bagi masyarakat lain persoalannya adalah apakah kemajuan teknologi dan kecerdasan publik dalam memanfaatkannya harus menunggu regulasi yang datangnya bisa bertahun-tahun, bahkan boleh jadi tak sempat datang, atau kalaupun datang disaat kecepatan teknologi dan kecerdasan publik sudah melampaui hadirnya regulasi tersebut. Gambaran regulasi kita persis film India, dimana polisi selalu hadir ketika konflik telah menelan korban. Maknanya, pemerintah seringkali terlambat hadir disaat perkara semacam itu telah menimbulkan masalah baru.  Sementara pemerintah dengan berbagai sumber daya yang dimiliki seringkali diklaim sebagai organisasi paling klasik, istimewa dan sempurna pada akhirnya tak cukup mencapai sinergi dengan kecepatan elemen lain seperti masyarakat dan pihak swasta dalam kerangka governance.  Kecepatan teknologi informasi dan kecerdasan publik dalam mengelolanya kini menjadi catatan serius dalam kerangka ekologi pemerintahan. Ekologi pemerintahan menyangkut lingkup yang lebih luas, tidak saja menyangkut fisik, demikian pula non fisik dan aspek transedental yang terus menanjak (Ndraha, 2003).
Untuk mendekati pertanyaan diatas (mencoba menjawab), secara normatif tentu saja kita mesti mengaduk-aduk kembali dasar pijakannya. Dalam UU Pemda Nomor 23/2014 menurut tim desainernya (Muchlis Hamdi, Made Suwandi dan Halilul), kriteria pembagian urusan didasarkan pada aspek eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi dan kepentingan strategis nasional. Meskipun prinsip terakhir tampaknya terkesan dipaksakan dan debatable namun jika kita seduh persoalan diatas lewat prinsip tersebut maka pada aras yang lebih spesifik tentu saja pertanyaannya menyangkut siapakah yang berkewenangan dalam menyelesaikan masalah diatas? Apakah pemerintah pusat yang direpresentasikan oleh Kementrian Perhubungan dan Kementrian Infokom ataukah cukup pemerintah daerah, dalam hal ini Pemda DKI Jakarta sebagaimana sinyalemen Menteri Perhubungan dalam satu wawancara ekslusif di stasiun TV. Kriteria kewenangan pemerintah pusat dan daerah setidaknya dalam UU tersebut dibatasi oleh lokasi, penggunanya, manfaat/dampaknya, efisiensinya, dan peranan strategisnya. Bila dicermati lebih detil cakupan layanan para pengguna teknologi aplikasi transportasi tentu saja sudah melintasi antar provinsi (Jabodetabek). Penggunanya pun sudah lintas provinsi (misalnya Provinsi DKI, Jawa Barat dan Banten). Bagaimana dampaknya? Tentu saja manfaatnya telah dinikmati masyarakat lintas provinsi, demikian pula dampak negatifnya yang dirasakan oleh pelaku bisnis layanan transportasi antar provinsi.  Bagaimana dengan dua kriteria terakhir? Sadar atau tidak penggunaan teknologi aplikasi layanan transportasi semacam itu telah menyedot nomor handphone penggunanya, demikian pula alamat email dan data privasi lainnya.  Ini tentu saja menyangkut kepentingan strategis nasional, disamping lebih efisien bila pemerintah pusat yang memiliki sumber otoritas dapat mengendalikan mobilitas teknologi informasi. Jelas sudah bahwa urusan penggunaan teknologi aplikasi semacam itu menjadi kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Infokom.  Soal berikutnya adalah, bagaimana izin trayek transportasi? Dengan norma yang sama sebagai pisau analisis (kriteria kewenangan), tampaknya jasa tranportasi tersebut dari sisi lokasi, pengguna, dampak, efisiensi dan kepentingan strategis nasional jika ditelisik sepintas telah melintasi area antar provinsi sehingga menjadi wajar jika kewenangan tersebut berada di Kementrian Perhubungan. Dengan demikian kedua departemen tersebut bertanggungjawab penuh dalam penyiapan sistem baik norma, standard, prosedur maupun kriteria teknis. Lalu dimana keterkaitan Pemda DKI Jakarta? Dalam kerangka kewenangan konkurent tentu saja Pemda DKI Jakarta tak bisa tinggal diam. Saya pikir saran Kadis Perhubungan DKI Jakarta (Andri Yansyah, Alumni STPDN/02) yang sempat di daulat Karni Ilyas sebagai calon Dirjen Perhubungan adalah jalan keluar yang cerdas, bijak, teknikal dan patut diapresiasi sambil menunggu kewajiban pemerintah dalam memproduk regulasi dilevel atas. Pertama, mendorong pelaku usaha transportasi berbasis teknologi aplikasi tersebut keluar dari persembunyiannya di dunia maya dan berkumpul secara fisik kedalam perusahaan jasa transportasi yang selama ini telah memiliki aturan yang jelas.  Konsekuensi lebih jauh yang terpikirkan adalah apakah amanah konstitusi dalam pasal 28 UUD ’45 soal kebebasan berkumpul untuk mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan harus ditafsir kembali mengingat ‘berkumpul’ dalam dunia maya seperti WA, FB, Path, Instagram dll tidak dalam arti berkumpul secara fisik? Kedua, pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Perhubungan dan Infokom sesegera mungkin mengisi kekosongan regulasi untuk mencegah ketiadaan aturan (vacum of regulation) sebagai implikasi perkembangan teknologi informasi dan kecerdasan publik.  Ketiga, dalam masa transisi itu dapat saja pemerintah menutup aplikasi dimaksud untuk mendorong bisnis transportasi dunia maya agar mewujud kedalam ruang fisik yang sesungguhnya sebagaimana perusahaan transportasi yang selama ini telah berkeringat membayar pajak.  Soal penggunaan teknologi aplikasi memang tak masalah, yang menjadi soal adalah pengendali menjadikan individu pemilik jasa transportasi sebagai pelaku usaha tanpa izin kolektif sehingga menimbulkan diskriminasi. Namun kesimpulan ini juga perlu diperhatikan, sebab layanan bisnis online (via dunia maya) bukan hanya dibidang transportasi, demikian pula dibidang jasa perdagangan yang jika ditimbang-timbang telah merugikan pelaku industri perdagangan di Toko dan Mal dengan harga dibawah standard dan diantar langsung kerumah.  Untuk beli tiket pesawat, pesan kamar hotel, sepatu, baju, parfum, emas, umroh, haji, download film, lagu, buku, hingga tour keliling dunia cukup lewat bisnis tersebut. Saya yakin suatu saat para pengusaha, komposer musik, penulis dan pedagang di Toko dan Mal akan berteriak, karena barang mereka tak laku lagi, sementara mereka dihadapkan pada pungutan pajak yang kian membengkak dari hari kehari. Keempat, bagi pemerintah sendiri jika tetap  dianggap sebagai sektor yang paling bertanggungjawab, maka dua hal penting yang menjadi catatan serius yaitu perlunya kemampuan mengembangkan visi yang lebih jauh kedepan serta pada saat yang sama dibutuhkan kemampuan merespon realitas pemerintahan day to day sebagai konsekuensi pengaruh ekologi pemerintahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]