Dilema Kebodohan dan Kebahagiaan


Oleh. Muhadam Labolo

Menurut survei organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan (OECD), Indonesia merupakan negara dengan peringkat paling bawah pada hampir semua jenis kompetensi untuk bekerja dan berkarya sebagai anggota masyarakat.  Kecakapan orang Indonesia dalam hal membaca, berhitung, maupun pemecahan masalah berada sangat rendah dihampir semua kategori umur.  Lebih dari separuh responden Indonesia mendapatkan skor kurang dari level 1 (kategori pencapaian paling bawah) dalam hal kemampuan literasi. Dengan kata lain, Indonesia adalah negara dengan rasio orang dewasa berkemampuan membaca terburuk dari 34 negara OECD dan mitra OECD yang disurvei tahun 2016. Orang dewasa pada level kurang dari 1 menurut definisi OECD hanya mampu membaca teks singkat tentang topik yang sudah akrab untuk menemukan satu bagian  informasi spesifik. Untuk menyelesaikan tugas itu hanya membutuhkan pengetahuan kosakata dasar dimana pembaca tidak perlu memahami struktur kalimat atau paragraf. Meskipun Jakarta tak mewakili wajah Indonesia secara keseluruhan, namun ketimpangan Jakarta dan daerah lain sangat tajam dalam berbagai indikator kualitas pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jakarta 78,99,  sedangkan rata-rata nasional 69,55.  Daerah dengan IPM terendah adalah Papua, hanya 57,25 (BPS, 2016). Perhitungan kemiskinan multidimensi juga menunjukkan hanya sekitar seperdelapan dari penduduk yang mengalami kemiskinan multidimensi di Jakarta dibandingkan hampir tiga perempat penduduk Papua dan dua pertiga penduduk NTT. 
Hasil survei tersebut tentu saja dapat menimbulkan perasaan pesimisme, bahkan dalam nada sarkasme sejumlah orang menyimpulkan bahwa siswa Indonesia itu terkesan bodoh namun bahagia. Bagi saya, peluang menjadi bahagia itu jauh lebih sulit dibanding mengubah nasib seorang siswa dari bodoh menjadi pintar.  Mengutip optimisme fisikawan Johanes Surya (2013), sesungguhnya tidak ada siswa yang bodoh kecuali belum bertemu dengan guru yang baik. Apalagi makna kecerdasan dewasa ini tidaklah semata-mata diletakkan pada aspek intelektual. Kecerdasan kini meluas menjadi kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual (ESQ) sebagaimana dikembangkan bertahun-tahun lalu oleh motivator Indonesia Ary Ginanjar. Mereka yang kelihatan kurang cerdas secara IQ, terkadang lebih cerdas pada aspek emosional maupun spiritual.  Seorang siswa yang kurang bagus nilainya barangkali lebih tinggi budi pekertinya sebagai refleksi dari kecerdasan spiritual dan emosional. Mereka yang mungkin tak cerdas dari aspek intelektual terkadang memiliki prestasi dibidang lain seperti petinju hebat Mike Tyson, pesepak bola populer Lionel Messi, penyanyi Psy Gangnam Style atau aktor film seperti Mel Gibson dan Nicolas Cage.  Dalam praktek, kecerdasan intelektual menghasilkan karya seperti buku, rumusan atau formula tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh umat manusia.  Kecerdasan emosional diperlukan dalam model kepemimpinan yang lebih stabil seperti Nurdin Abdullah Bupati Bantaeng. Sedangkan kecerdasan spiritual diperlukan untuk mengendalikan kecepatan dan kemajuan kecerdasan intelektual dan emosional agar manusia tak mudah menjadi angkuh dan kehilangan rasa syukur.  
Secara umum masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam cenderung menyukai aktivitas keagamaan sekalipun mungkin baru bersifat asesoris dan ritualistik. Aktivitas keagamaan dipercaya dapat meningkatkan kabahagiaan batiniah,  sekalipun tak semua penganut beragama memperoleh kebahagiaan dimaksud. Sementara atribut keagamaan tampak menjamur secara kolektif yang menunjukkan adanya kesadaran beragama secara formalistik diantara sedikit penganut beragama yang benar-benar berorientasi pada pencapaian substansi. Output dari nilai keagamaan secara substantif adalah terbentuknya manusia yang lebih sabar, penyayang, pengasih, penolong, suka berkorban bahkan gigih mempertahankan kebenaran dan memperjuangkan keadilan. Ini adalah contoh dari sedikit kecerdasan spiritual dan emosional. Sejauh ini nilai-nilai seperti itu ditengah-tengah masyarakat terasa kosong, bahkan raib dalam kubangan materialisme duniawi.  Kekuatiran banyak keluarga terhadap punahnya nilai-nilai kebaikan sebagai modal dalam kehidupan bersama dalam jangka panjang menjadi ancaman bagi integrasi berbangsa, bernegara dan berpemerintahan.  Modal sosial tak membutuhkan banyak kecerdasan intelektual, ia justru membutuhkan nilai kualitatif seperti kejujuran, kesabaran, kepedulian, kasih sayang, tepo seliro dan semangat gotong royong (kerjasama).  Berapa banyak orang pintar berakhir di buih, sementara semua lowongan kerja membutuhkan orang jujur, disiplin, loyal, dan penuh dedikasi.  Semakin banyak orang bahagia karena hidup dengan perasaan syukur barangkali kualitas IPM kita secara kualitatif dapat mendongkrak kualitas hidup yang lebih lama, panjang umur, serta jauh dari ketidaktenangan hidup. Dinegara-negara dengan tingkat literasi tinggi, tingkat kebahagiaan justru sebaliknya. Tingkat pelanggaran moral meningkat kemungkinan peningkatan ilmu dan pengetahuan tak diimbangi dengan peningkatan iman dan taqwa sebagaimana visi manusia cerdas Indonesia BJ. Habibie.  Kepedulian yang tinggi terhadap orang lain biasanya lahir karena relasi emosional yang kuat. Hal itu biasanya didorong oleh keyakinan seseorang pada agamanya. Agama mengajarkan banyak hal tentang bagaimana mencapai kebahagiaan di dunia dan di akherat.  Mungkin hal itu berhubungan dengan pertanyaan tentang mengapa Indonesia misalnya tergolong menjadi salah satu negara paling dermawan di dunia dibanding Amerika Serikat.  
Negara-negara dengan tingkat literasi tinggi kemungkinan melahirkan manusia yang cerdas. Kecerdasan yang lazim dikenali lewat aktivitas intelektualitas biasanya melahirkan pemikiran kritis dan rasional. Pertimbangan-pertimbangan rasional seringkali menjauhkan manusia dari perasaan peduli, toleran, kooperatif, maupun rasa sosial yang tinggi kecuali terdapat pamrih sebagai alasan rasional. Disinilah mengapa kecerdasan intelektual mesti selalu diimbangi oleh kecerdasan emosional dan spiritual agar sedapat mungkin kelemahan dari salah satu kecerdasan tadi dapat diminimalisasi. Dalam lingkungan birokrasi pemerintahan misalnya, kepala daerah seringkali memilih mereka yang lebih tinggi disiplin, loyalitas dan dedikasinya dibanding pegawai yang sekedar mengandalkan kecerdasan intelektual. Kriteria itu dianggap lebih memberikan jaminan dalam menjaga stabilitas pemerintahan dibanding memelihara individu intelek tanpa mentalitas yang kuat sehingga dapat meningkatkan banyak resiko. Rasionalitas dapat juga dikalahkan oleh orientasi terhadap kebahagiaan yang instant.  Mereka yang tampak cerdas dalam balutan gelar profesor dan doktor misalnya dapat kehilangan rasionalitas ketika dihadapkan pada pilihan mencari kebahagiaan lewat jalan pintas, lihat saja kasus Kanjeng Dimas Taat Pribadi yang dapat menggandakan uang untuk menciptakan kebahagiaan semu pada sejumlah orang.  Sebaliknya, kebahagiaan justru sulit diterangkan oleh akal sehat. Mereka yang tinggal digubuk, kolong jembatan, tepi pantai, pedalaman hutan atau di udik, terkadang lebih nyenyak tidur dan tenang hidupnya dibanding mereka yang bergelimang harta benda dan tinggal di kota. Kebahagiaan rupanya tak hanya milik kaum elit, rupanya bisa pula mampir dikelompok alit.  Rupa-rupanya kebahagiaan tak menggubris siapa yang paling kaya dan atau paling tinggi pangkat, gelar dan jabatannya.  Kebahagiaan dapat bertengger dimana saja, baik pada orang pintar maupun orang bodoh.  Oleh karena kebahagiaan lebih netral dan memberi dampak kuat bagi kehidupan manusia dalam jangka panjang, maka baik orang kaya maupun orang bodoh sama-sama memburu jejak kebahagiaan itu. Keduanya memburu dengan ragam kecerdasan yang dimiliki, apakah lewat kecerdasan intelektual, emosional maupun kecerdasan spiritual.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian