Mencegah Limpahan Potensi Janda di Indonesia
Oleh. Muhadam
Labolo
Dalam
empat edisi berturut-turut, tanggal 3 sampai 6 Oktober 2016, Koran Republika
menurunkan headline dengan tema seputar meningkatnya angka perceraian. Data
Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung menyebutkan angka perceraian di
setiap daerah meningkat tajam. Hingga tahun 2015, produk gugat-cerai di Cilacap
berpotensi melahirkan 5.950 janda dari tahun sebelumnya yang mencapai sebanyak
5.884 kasus perceraian. Rata-rata penggugat-cerai berusia antara 24-35 tahun.
Di Cimahi, sebuah daerah dekat Kota Bandung yang maju, sejak 2014 sampai 2015 berpotensi
memproduk kurang lebih 6.000 sampai 7.000 janda baru. Di Depok, kota dekat pinggiran
Jakarta yang relatif makmur sejak 2014 hingga 2015 berpotensi melahirkan 3.400
sampai 3.800 janda pertahun. Di Palembang, pengadilan agama rata-rata mampu mencipta
85 janda baru setiap hari. Data Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu rupanya
tak berselisih jauh, angka perceraian yang berpotensi melahirkan janda baru
meningkat hingga 5.425 kasus pada tahun 2015. Selain Indramayu yang menempati
rangking pertama dari tingginya kasus perceraian, Kabupaten Malang Jawa Timur
berada diperingkat kedua dengan potensi terciptanya janda baru sebanyak 7.156
pertahun. Di Medan, angka perkara perceraian juga meningkat dari 10.429 kasus
pada tahun 2014 menjadi 10.834 kasus pada tahun 2015. Dua daerah lain sebagai
pemuncak angka perceraian adalah Banyuwangi dan Surabaya. Lonjakan angka
perceraian yang berpotensi melahirkan ribuan edisi janda baru tersebut
disebabkan oleh berbagai faktor seperti hilangnya komitmen bersama sehingga tak
bisa akur lagi, ditinggalkan salah satu pasangan tanpa alasan yang jelas, faktor
ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bertemu dengan pasangan pemabuk
dan penjudi, pisah karena alasan poligami dan cacat badan, dihukum penjara,
kasus perzinahan, murtad dan sejumlah faktor lain. Secara historis, angka perceraian di Indonesia
bersifat fluktuatif. Hal itu dapat ditilik dari hasil penelitian Mark Cammack,
guru besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles, USA. Berdasarkan
temuan Mark Cammack, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara
termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di dunia. Pada dekade itu,
dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian. Pada tahun
2009 perceraian mencapai 250 ribu. Tampak terjadi kenaikan dibanding tahun 2008
yang berada dalam kisaran 200 ribu kasus. Ironisnya, 70% perceraian diajukan
oleh pihak isteri atau cerai gugat. Data 2010 dari Dirjen Bimas Islam
Kementerian Agama RI, yaitu dari 2 juta orang nikah setiap tahun se-Indonesia, ada
285.184 perkara yang berakhir dengan percerain per tahun se-Indonesia. Tren perceraian di Indonesia
meningkat dari tahun ketahun. Dari 2 juta pernikahan setiap tahun, ada 200
ribuan yang bercerai. Masalah ekonomi (suami tidak bisa menafkahi) adalah penyebab
pertama perceraian, kemudian ketidak-harmonisan pribadi dan perselingkuhan. Ironisnya,
70 % yang menggugat cerai adalah Isteri (Pandjaitan dlm Kompasiana, diakses
Minggu, 9 Okt 2016).
Menurut
sosiologi pemerintahan, keluarga pada dasarnya adalah akar-akar pemerintahan
(Mc Iver, 1952, The Web of Government). Dalam pandangan Iver bahwa
institusi pertama yang bertanggungjawab terhadap masa depan sebuah pemerintahan
adalah unit terkecil dari pemerintahan itu sendiri yaitu keluarga. Unit terkecil
itu menjadi basis utama sekaligus media perkembangbiakan hingga membentuk
jaring laba-laba yang paling kompleks sebagaimana halnya negara. Pandangan itu
seturut dengan perspektif sosiologi agama, dimana keluarga merupakan sarana
pendidikan pertama dan yang utama sebelum seseorang berinteraksi dengan
lingkungan yang lebih kompleks. Dengan
demikian tidaklah keliru jika fokus dan lokus intervensi pertama yang mesti
dibenahi pemerintah adalah institusi keluarga, sebelum kita berangkat kelevel yang
lebih luas. Problematik keluarga sebagai miniatur mikro negara tak jauh dari dua
persoalan fundamental utama yaitu minimnya nilai dan materi. Pertama, fundamental nilai
berkaitan dengan seperangkat keyakinan yang tertanam sejak seseorang tumbuh
dalam lingkungan keluarga. Keyakinan tersebut biasanya ditumbuh-kembangkan
melalui pendidikan agama dan umum. Semakin banyak terpatri nilai-nilai dasar
yang diajarkan agama seperti perasaan tanggungjawab, kepedulian,
tolong-menolong, toleransi, saling-menghargai dan saling menyayangi, semakin lekat
dan baik pula daya tahan seseorang ketika berhadapan dengan kenyataan dalam
lingkungan keluarga baru yang mereka bentuk. Menahan diri dari keinginan
mengumbar hawa nafsu lewat puasa misalnya adalah satu jalan keluar dari nilai
yang berhasil ditanamkan sehingga kehendak menikah diusia dini dapat dibatasi
dengan sendirinya. Hidup sederhana sebagai refleksi dari perasaan syukur serta
saling menjaga komitmen sebagai produk dari kejujuran dan tanggungjawab dapat
mencegah keinginan seseorang untuk hidup berlebihan serta perilaku selingkuh
yang kini menjadi kecendrungan dimana-mana.
Dalam hubungan diatas, semakin kuat pondasi nilai yang tertanam pada
seseorang sejak awal, semakin kecil pula peluang seseorang untuk melakukan
gugat-cerai karena terdapat konsekuensi spiritual seperti sorga-neraka,
halal-haram, sunnah-makruh, maupun dosa dan pahala. Kedua,
minimnya dukungan materi menjadi satu penyebab kuat munculnya perceraian. Bicara ekonomi tentu bicara soal pendapatan,
bicara soal pendapatan tentu saja bicara soal pekerjaan. Dan bicara soal
pekerjaan artinya kita bicara soal apakah seseorang memiliki kemampuan yang layak
agar dapat memperoleh pekerjaan sebagaimana yang lain. Persoalan pertama
sekalipun negara tak dapat melepaskan diri untuk turut bertanggungjawab atas
dekadensi moral suatu bangsa, namun setidaknya intervensi kebijakan pada setiap
keluarga lewat berbagai program di Tingkat Pendidikan Usia Dini (PAUD) hingga
perguruan tinggi dapat mendorong terbentuknya pribadi yang bertanggungjawab.
Intinya, negara berkewajiban men-supporting dan memfasilitasi setiap
institusi keluarga untuk melakukan tanggungjawab pertama dan utama yaitu menanamkan
fundamen nilai dari sisi agama. Kegagalan penanaman kualitas nilai sejak usia
dini dapat mengancam fondasi kedisiplinan kolektif suatu bangsa bahkan dalam
jangka panjang bukan mustahil mampu meruntuhkan integritas suatu Negara.
Lihatlah bagaimana kejatuhan negara-negara besar dimasa lalu seperti Romawi,
Persia, Andalusia dan Mongolia. Sementara persoalan kedua tentu saja menjadi
tanggungjawab mutlak pemerintah, yaitu menciptakan lapangan kerja yang layak
sehingga setiap individu dalam suatu negara mampu menjamin masa depan keluarganya
masing-masing. Dalam hal ini pemerintah perlu menyegerakan proses pendidikan sehingga
setiap warga negara mampu memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang layak bagi
kemanusiaan. Pemerintah sebagai
personifikasi konkrit negara bahkan berhak mengendalikan angka kelahiran bila
diasumsikan terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan sumber daya dan
jumlah penduduk. Dibutuhkan intervensi bila laju pertumbuhan penduduk mengikuti
deret ukur dibanding laju sumber daya yang direpresentasikan oleh kecepatan deret
hitung (Malthus,1766-1843). China berupaya merelaksasi angka kelahiran dengan
memaksa satu anak cukup untuk tinggal di Kota Hongkong (One Child Family
Planning). Indonesia sukses menekan angka pertumbuhan bayi hingga 70 jiwa
sepanjang pemerintahan orde baru sehingga tercipta bonus demografi dewasa ini. Sementara
pada belahan dunia lain, ketika terjadi surplus sumber daya, sementara angka
kelahiran berjalan lambat, terjadi pula problem dalam berbagai bidang termasuk
perlambatan pembangunan bangsa. Jumlah penduduk tentu saja menjadi satu potensi
besar pada satu negara bila dilihat dari perspektif politik, ekonomi dan sosial
budaya. Kekuatiran tersebut mendorong Jepang misalnya yang mengintervensi
pertumbuhan penduduk melalui kebijakan subsidi pria yang ingin menikah, bahkan bila
memiliki anak lebih dari satu. Jepang mengalami gejala work-cholic sehingga
terjadi perlambatan kelahiran ditengah pencapaian angka kesejahteraan yang relatif
tinggi. Rusia mendesain kebijakan pro-poligami. Dari sisi pertahanan dan
keamanan, tampaknya Jepang dan Rusia mulai menyadari bahwa rendahnya populasi
penduduk dapat mengancam keselamatan negara dalam ukuran dan skala ideal.
Sejalan dengan itu, Iran dan Brunei Darussalam memproduk pula kebijakan yang
sama dengan ancaman bagi istri yang melarang poligami berupa denda dan hukuman
badan. Iran mengalami perlambatan angka kelahiran akibat perang dan krisis
panjang. Sementara Brunei sebuah negara kecil di Asia Tenggara yang kaya akan
sumber minyak ditengah upaya menjalankan sistem pemerintahan monarchi
absolut berbau teokrasi Islam. Bagaimana Indonesia? Menyadari potensi
peningkatan status janda setiap tahun sebagaimana data diatas, tidaklah
berlebihan bila pemerintah melakukan terobosan melalui intervensi kebijakan
yang lebh serius. Barangkali tidak berlebihan pula bila suatu saat pemerintah
berani mendesain kebijakan yang membolehkan poligami dengan persyaratan yang
lebih ketat. Kalau dalam sejarah Nabawiyah Muhammad Saw banyak menikahi janda
akibat ditinggal suami yang tewas di medan perang, apakah tidak sebaiknya
dengan syarat seperti itu seorang pria yang berkemampuan (keadilan dan ekonomi)
dapat diberi kesempatan yang sama. Tentu berbagai alasan dapat dikemukakan
lewat kajian akademik dan fiqih yang jelas sanad dan perawinya. Tidaklah tepat
jika hanya karena satu ayat yang merisaukan pikiran kita lalu membenci satu
agama. Didalam Islam misalnya dibutuhkan kepatuhan untuk menerima perintah
agama, apakah itu soal poligami atau soal memilih pemimpin yang seiman. Semua
tentu membutuhkan persyaratan yang ketat, bukan semau-maunya saja. Konteks
penerapan dan penggunaannya bergantung kebijakan, syarat, kemampuan dan pilihan
seseorang. Dalam sisi sejarah dua pemimpin besar, Soekarno boleh saja anti
poligami, Hatta malah sebaliknya, namun dalam kenyataannya hingga Hatta wafat
Ia tetap konsisten pada satu pilihan. Bagi saya, ini soal pilihan bukan
paksaan. Ini soal niat baik dan tulus bukan maksud jahat. Ini soal ajaran agama
bukan soal logika semata. Ini soal antisipasi dampak sosial bukan soal syahwat
semata. Ini soal kepedulian, bukan soal kemewahan. Ini soal perlindungan anak
yang ditinggalkan bukan sekedar memperbanyak keturunan. Ini soal kejujuran
masyarakat bukan soal membuka aib perselingkuhan yang dipendam rapi selama ini.
Ini soal pengaturan pengendalian dan kebijakan bukan soal pembiaran. Ini soal empati bukan soal belas kasihan. Ini
soal ketangguhan keluarga untuk menjamin pertumbuhan keluarga telantar bukan
soal adopsi. Ini soal perhatian masyarakat bukan ego individu. Ini soal
penjaminan mutu keluarga bukan soal perbudakan. Dan tentu saja ini soal masa
depan bangsa, bukan soal kepentingan individu. Ditengah upaya pemerintah
menumbuhkan kesadaran nilai dalam lingkungan keluarga, pemerintah selayaknya
tak berpangku tangan melihat limpahan janda baru yang terus meningkat akibat
kegagalan pembangunan ekonomi yang kurang merata. Jika alasan gugat-cerai sedemikian
melambung, bukankah pada tingkat praktikal pemerintah juga dianggap gagal mencegah
kekerasan dalam rumah tangga, gagal membentuk pribadi yang anti mabuk, anti
judi, anti perselingkuhan, anti kriminal, anti kawin paksa, anti
ketidak-akuran, bahkan gagal mencegah pemurtadan dimana-mana. Dalam
ketidakberadayaan pemerintah itulah solusi jangka panjang ini disampaikan.
Komentar
Posting Komentar