Desa Dalam Tinjauan Philosofi Pemerintahan (Perkembangan dan Relasinya dengan Negara)
Oleh.
Dr. Muhadam Labolo[1]
Tidak
ada yang lebih banyak terpikirkan dalam benak setiap orang ketika kita bertanya
tentang desa kecuali yang pertama adalah tempat dimana kita dilahirkan meskipun
tidak sedikit yang lahir di wilayah perkotaan (Koentjaraninggrat, 1999). Untuk membuktikan hal itu cukup dengan
menutup kedua belah mata lalu membayangkan sketsa apa yang pertama kali akan
kita lukiskan pada sehelai kertas. Hasilnya secara umum adalah sketsa gunung
yang menjulang tinggi, sawah yang terhampar luas, beberapa nyiur melambai, petani
yang sedang mencangkul disawah, awan, matahari, burung serta satu dua rumah petani
di dekat pematang sawah yang secara keseluruhan gambaran itu tentu saja
menunjuk ke sebuah tempat berinisial desa.
Pola interaksi sederhana dalam kehidupan desa itu mengindikasikan
terdapatnya suatu keteraturan politik paling traditional. Gunung, sawah dan pohon
nyiur yang sedang dihembus angin setidaknya memastikan tersedianya sumber daya
yang secara ekonomi menjadi esensi bagi keberlangsungan hidup sebuah masyarakat
di desa. Sementara aktivitas petani di sawah, rumah dan semua benda disekelilingnya
menunjukkan berjalannya inti sebuah kebudayaan mikro dalam proses selanjutnya
menuju entitas yang lebih kompleks bernama negara. Pada bayangan lansdcap
sederhana itu menunjukkan bahwa desa secara filosofi merupakan habituasi
pertama dari peradaban manusia baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Desa
secara sosiologis tempat berawalnya sebuah kebudayaan paling kompleks sebagaimana
negara. Dalam konteks itu desa mendahului kelahiran sebuah negara. Ketika negara
belum terbentuk, menurut beberapa kitab suci, Adam dan Hawa adalah dua individu
pertama yang diciptakan Tuhan untuk mendiami sebuah desa terluas dan tak
bernama (bumi). Keduanya secara alamiah membentuk struktur persaudaraan kecil
yang kita sebuat keluarga (brotherhood).
Keluarga kecil tadi terus bertumbuh dan berkembang membentuk keluarga besar
dengan struktur yang lebih kompleks. Diberbagai belahan bumi kelompok-kelompok
keluarga tersebut memiliki istilah bervariasi seperti marga, clan, dinasti
dll. Keluarga besar itu suatu saat terus
membesar dan meluas akibat tuntutan dan kebutuhan anggotanya yang semakin
beragam. Ragam tuntutan dan kebutuhan mendorong pelepasan kedalam
kelompok-kelompok yang lebih besar untuk kemudian saling mendominasi satu
dengan lainnya. Sekalipun terjadi pelepasan dari unit terkecil keluarga namun tetap
saja terdapat hubungan-hubungan yang terus terjalin baik melalui pola
perjanjian diplomatik yang beradab, perkawinan maupun cara paling ekstrem yaitu
peperangan. Pola hubungan itu membentuk jaringan-jaringan pemerintahan yang
fleksibel seperti sarang laba-laba (Mc Iver, 1955). Bila diawal interaksi
keluarga yang sangat simpel itu diatur berdasarkan kesadaran dan konsensus
informal disebabkan kesederhanan dan keseragaman hidup yang relatif homogen,
kini interaksi keluarga besar tadi semakin rumit sehingga membutuhkan pola
pengaturan yang lebih ‘memaksa’ terhadap heterogenitas yang kian distingtif dan
kompetitif. Pola pengaturan terhadap interaksi keluarga yang semakin kompleks
dan rumit itu kita sebut sebagai pelembagaan berbagai kepentingan atau institusionalisasi
yang dalam bahasa sosial disebut juga sistem sosial atau dalam konteks
bernegara dinamakan sistem politik dan atau sistem pemerintahan. Sistem yang
didesain secara kolektif melalui sekelompok elit berkuasa (pemerintah) bertujuan
untuk menciptakan integrasi terhadap perbedaan-perbedaan yang semakin variatif
dan cenderung saling menjauh (sentrifugalistik). Pada saat yang sama sistem-sistem
semacam itu mengadaptasi perubahan yang terus terjadi sebagai landasan bagi
keberlanjutan hidup bersama (sentripetalistik).
Sebagai contoh di level terendah kita mengenal sistem sosial masyarakat
desa, sistem pemerintahan desa, sistem pemerintahan daerah hingga sistem
pemerintahan nasional.
Pelepasan
dari habituasi mikro bernama keluarga perlahan membengkak dan mendominasi dalam
wujud yang lebih makro. Induk habituasi yang kecil tadi kini bahkan menjadi
bagian yang mengkonstruksi keluarga paling kompleks beridentitas negara. Desa
yang awalnya hanya sebuah unit keluarga mikro kini menjadi menjadi bagian dari
pemerintahan yang lebih luas dan berlapis-lapis. Desa kemudian mulai
diinstitusionalisasikan kedalam bagian dari struktur pemerintahan menurut
sistem hirarkhi. Kendatipun desa secara historis merupakan sumber bagi
kelahiran sebuah negara namun pada kenyataannya desa-desa itu tidaklah dapat
berinteraksi alami sebagaimana awalnya yang penuh semangat dan ikatan
kekeluargaan. Desa pada akhirnya menjadi satu entitas yang seringkali
ditetapkan baik sebagai bagian dari struktur politik pemerintahan terendah juga
sebagai entitas budaya yang dilindungi seperti simbol dan heritage negara. Pada
sebagian negara, desa dilepas begitu saja dalam berbagai identititas berikut
komunitas didalamnya yang berhak mengatur dan mengurus dirinya sendiri (self community). Sementara sebagian lagi diatur dan dikontrol secara
hirarkhi menurut kepentingan birokrasi negara (self state government). Sisanya diletakkan sebagai urusan
pemerintah lokal semata (self local
government). Pada sejumlah negara desa seringkali diintegrasikan baik
sebagai self community, self state
government maupun sebagai self local
government.
Sebagai
akar pemerintahan, desa lebih dipertimbangkan selaku entitas sosial alami yang
bersifat fungsional. Kesadaran ini menjadikan alasan mendasar mengapa desa
lebih steril dan berjarak dari campur tangan negara. Dengan tetap mengasumsikan desa sebagai
keluarga mikro maka pengaturan dan pengurusan dalam kehidupan keluarga itu
sedapatnya tak dipenuhi segudang aturan sebagaimana negara mendisiplinkan
pemerintah lokal. Dengan maksud itu agar desa lebih fleksibel mengatur
interaksi anggota keluarga didalamnya lewat hak asal-usul dan konsensus baru
yang sengaja diciptakan untuk menyesuaikan diri sebagai bagian dari rumah
tangga negara. Pembatasan campur tangan
negara dalam konteks pengaturan dan pengurusan dirinya sedapat mungkin
dilakukan untuk melindungi tradisi yang menjadi akar dan budaya
pemerintahan. Batas-batas campur tangan
negara setidaknya berada dalam cakupan perlindungan negara berkaitan dengan
kewajiban konstitusional bagi hak setiap warga didalam negara itu sendiri. Dalam
batas demarkasi itulah desa pada akhirnya diakui memiliki apa yang disebut
otonomi asli (kuhonan, indegenius local),
bukan otonomi berian sebagaimana di level pemerintah daerah. Pengakuan terhadap
hak asal-usul itulah mengapa desa sejak semula memperoleh pengakuan pada aspek
sosial budaya, politik, ekonomi dan hukum.
Desa dengan berbagai aspek diatas pada pokoknya menjadi
basis bagi representasi semua entitas dalam batas kumpulan individu yang
memiliki karakteristik homogen, terikat kuat secara emosional dalam suatu
sistem sosial budaya serta memiliki organisasi yang bersifat primitif dimana
kepala desa menjadi sentral gravitasi politik, ekonomi dan sosial budaya. Dalam
batasan Beratha (1982:26), desa dimaknai sebagai salah satu bentuk kuno dari
kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling
mengenal, kebanyakan hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya, usaha yang
dapat dipegaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam tempat tinggal itu
terdapat ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi dan
kaidah-kaidah sosial.[2]
Batasan tersebut setidaknya menggambarkan karakteristik desa yang menurut
Ferdinand Tonies (1887) sejalan dengan karakteristik gemenschaft dibanding gesselschaft.[3]
Pengakuan
atas otonomi desa sebagai hak asal usul sepadan dengan lahirnya otonomi
individu sejak lahir dan diakui secara universal (hak asasi/human rights). Jadi, batas otonomi asli
itu berasal dari pengakuan terhadap otonomi individu, keluarga dan desa. Diatas
itu pengaturan pemerintahan lebih bersifat otonom dalam perspektif politik dan
administratif (otonomi berian). Sampai pada batas itulah sesungguhnya negara melakukan
intervensi untuk melindungi privasi individu, keluarga dan desa. Pembatasan
campur tangan negara untuk memastikan agar interaksi alamiah dalam setiap
keluarga dan desa sebagai akar pemerintahan berjalan apa adanya. Sekalipun
demikian yang dimaksud adalah soal pengaturan internal antar sesama anggota
keluarga sebagai konsensus klasik. Hal ini tentu saja diluar perlindungan pada
setiap warga negara yang menjadi kewajiban negara sebagai desa yang paling kompleks.
Secara historis jejak pertumbuhan dan perkembangan desa
di Indonesia setidaknya dapat ditelusuri dari catatan Muntinghe kepada Raffles
(1811-1817).[4]
Namun jauh sebelum temuan tersebut diyakini terdapat desa atau dengan beragam
nama lain seperti Dusun, Marga, Kampung,
Gampong, Dati, Nagari dan Wanua yang
tersebar di wilayah Jawa dan luar Jawa.[5] Hingga memasuki politik etik Belanda, catatan Van der
Wals dkk (1872) ketika bertugas sebagai Pamongpraja
Muda dibeberapa daerah menunjukkan bahwa diferensiasi tersebut secara perlahan
mengalami perkembangan, dimana pengambilan keputusan menjadi bagian yang
diputuskan oleh lembaga hukum tersendiri semacam unit Mahkamah Syariah di Aceh
atau Unit Kerapatan Khusus di Minangkabau.
Sekalipun demikian tetap saja pengambilan keputusan akhir memberi peluang bagi keterlibatan
pihak eksekutif kepala desa dalam kolektivitas hakim yang disepakati melalui
hukum adat setempat. Dalam proses semacam itu desa tampak memperlihatkan bibit
demokrasi, dimana pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif, bersifat
kelembagaan (adhoc), melibatkan
beberapa tokoh yang merepresentasikan kepentingan tertentu, serta dalam suatu
wadah yang relatif terpisahkan dari eksekutif. Namun demikian meskipun
pelembagaan politik memperlihatkan perubahan kearah deferensiasi, namun
kebiasaan pemilihan kepala desa yang awalnya bersifat turun-temurun
(tradisionalistik) dikemudian hari berubah pula lewat pemilihan secara tak
langsung yang diwakili oleh sekelompok orang. Fenomena tersebut cukup menarik
dalam pandangan Raffles (1811), sehingga pola demokrasi representatif oleh
sekelompok pengurus desa yang memilih kepala desa kemudian diubah menjadi
mekanisme demokrasi langsung dimana kepala desa dipilih oleh masyarakat dari
beberapa orang yang dipandang mampu (Nurcholis, 2013:68). Upaya demikian bukan tanpa
maksud sama sekali, Raffles berkeinginan memutus jenjang hirarkhi yang selama
ini terbentuk antara kaum ninggrat Jawa dengan basis sosial sebagai produk
peninggalan kebijakan kolonialisme Belanda mendekati kebangkrutan VOC di
Indonesia tahun 1798.[6] Terlepas
dari itu, hingga tahun 1854 desa kemudian memperoleh pijakan lewat Regeringsreglement (RR) yang kemudian
melahirkan peraturan pelaksanaan berbentuk Inlandse
Gemeente Ordonantie (IGO) dan Inlandse
Gemeente Ordonantie Buitengewesteen
(IGOB).[7]
Pada masa pendudukan Jepang pengaturan soal desa relatif tak mengalami
perubahan signifikan kecuali pembatasan soal masa jabatan kepala desa yang
selama ini bergantung pada konsensus dalam masyarakat.
[2] Untuk batasan
Beratha dapat dibandingkan dengan batasan Bintarto dalam Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, 1983, Ghalia Indonesia,
sebagaimana juga dikutib Tahir dalam Jurnal MIPI, Edisi 38, Jakarta, 2013,
hal.98.
[3] Gemenschaft bersifat community (paguyuban) dengan ciri
terikat secara emosional, memiliki tradisi, luas, ada sebelum negara serta
bersifat bottom up. Hal ini berbeda
dengan bentuk Gesselschaft yang
bersifat society (patembayan) dengan
ciri terikat secara rasional, otonomi berian, terbatas, ada setelah negara,
serta bersifat top down. Untuk hal
ini lihat Ferdinand Tonies, 1887, The
Nature and Type of Sociological Theory. Oleh karena desa dalam kasus
Indonesia bersifat community, maka
pendekatannyapun ideal bersifat self
governing community, bukan didominasi oleh negara maupun daerah sebagaimana
pendekatan self state goverment dan self
local goverment. Dalam undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa tampak pengaturannya dilakukan secara
terintegrasi, sekalipun pendekatan self
governing community menjadi titik pijak utama.
[4] Lihat Soetardjo
dalam Tahir, 2013, Sejarah Perkembangan
Desa di Indonesia, Desa di Masa Lalu, Masa Kini dan bagaimana Masa Depannya,
Jurnal MIPI, Edisi 38, 2012, hal. 98, Jakarta. Lihat juga dalam Jurnal yang
sama kupasan Nurcholis, ibid, hal. 69.
[5] Istilah yang sama
dalam bahasa asing seperti dorp,
dorpsgemeente, village, village community, rural are, rural society, lihat
Ndraha, Ilmu Pemerintahan (Kybernology),
PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hal. 154.
[6] Menyadari
kebangkrutan yang kian meningkat, Belanda memberi kekuasaan kepada kaum
ninggrat Jawa dan kelompok China untuk bertindak atas nama Belanda dalam
pengumpulan pajak. Strategi ini secara dejure
maupun defacto semakin menguatkan
posisi kaum ninggrat Jawa hingga cenderung bertindak melampaui wewenang yang
diberikan Belanda. Untuk lebih jelas lihat George M Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Komunitas Bambu, 2013, hal. 4.
[7] IGO (1960), pada
dasarnya bukanlah dasar dalam pembentukan desa otonom, kecuali bentuk pengakuan
atas entitas khas yang telah ada sebelumnya. Pengaturan inipun bersifat
terbatas bagi wilayah Jawa dan Madura. Pengaturan ini mengalami revisi dengan
terbentuknya Inlandse Gemeente Ordonantie
Buitengewesteen (IGOB) yang meliputi pengaturan desa-desa di luar Jawa dan
Madura pada tahun 1938. Inilah yang kemudian menjadi dasar dalam konstitusi
dimana negara pada akhirnya mengakui
dan menghormati
satuan-satuan khusus yang telah ada jauh sebelum Indonesia terbentuk.
Komentar
Posting Komentar