Implikasi Putusan MK Tentang Pencabutan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah


oleh. Muhadam Labolo

Putusan MK tanggal 5 April 2017 dengan Nomor Perkara:137/PUU-XIII/2015, tentang pencabutan kewenangan pembatalan Perda sebagaimana tertera pada ayat (2),(3),(4) dan (8) pasal 251 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, menimbulkan kecemasan bagi pemerintah pusat. Dalam perspektif pusat putusan MK  itu seakan telah melepas sendi-sendi dasar negara kesatuan sebagai konsensus bersama. MK sendiri sekalipun melepas keputusan itu dengan suara mayoritas, namun terdapat pula second opinion yang memberi gambaran pada kita bahwa pasal-pasal yang dipersoalkan tidak melulu dilihat dari perspektif hukum tata negara, namun perlu juga dilihat dari perspektif yang lain.  Sepintas putusan MK sebenarnya hanya berlaku terhadap pasal 251 ayat (2),(3), (4) dan (8), itupun sepanjang frasa “….pembatalan perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keput usan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat”. Maknanya, frasa dimaksud lebih terkait dengan kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam membatalkan perda kabupaten atau kota. Oleh karena putusan MK hanya pada konteks itu maka kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam membatalkan perda provinsi sebagaimana tertuang dalam ayat (1) pasal 251 yang berbunyi “Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri”, tidaklah dalam masalah yang sama dengan posisi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat atau dapat dikatakan berjalan sebagaimana mestinya dimana Mendagri masih memiliki kewenangan dalam membatalkan perda bermasalah (a contrario).  Sekalipun demikian, putusan MK diatas pada akhirnya menimbulkan berbagai implikasi seperti lembaga apakah yang akan mengawasi perda di level kabupaten kota? Selanjutnya, kecuali MA yang telah ditentukan oleh putusan MK tersebut, mekanisme seperti apakah yang perlu dikonstruksi dalam pengawasan ranperda yang berpotensi bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan kesusilaan? Terakhir, bagaimanakah pengaturan dan tindak lanjut (action plan) yang mesti dilakukan kedepan oleh Pemerintah/Kemendagri? 
Pertama, pengawasan perda kabupaten/kota oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat pada dasarnya dirancang oleh desainer UU Pemda dengan alasan praktis untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengawasan sesuai prinsip yang dikandung dalam UU tersebut mengingat jumlah kabupaten/kota lebih banyak dibanding jumlah provinsi (514:34). Pendelegasian kewenangan tersebut dilakukan dalam upaya mengawasi jalannya otonomi melalui jalur dekonsentrasi dan atau urusan pemerintahan umum.  Perlu diketahui pula bahwa sekalipun secara teoritis penerapan otonomi tidak bersifat hirarkhi (Ryaas, Koswara, Benyamin, Smith), namun konsekuensi pasal 18 UUD 45 ayat (1) yang berbunyi “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”, pada dasarnya menimbulkan implikasi lahirnya sub-sub pemerintahan dibawah pemerintahan nasional yang dengan sendirinya melahirkan sifat hirarkhi dalam sistem pemerintahan nasional. Dalam relasi “kesatuan” inilah sehingga pola pengawasan terhadap jalannya otonomi daerah dilakukan oleh pemerintah melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sesuai jenjang hirarkhi antara pemerintah nasional dan sub-sub pemerintah dibawahnya, dan bukan dalam konteks serta sifat negara yang menganut paham federalisme. 
Kedua, dengan dicabutnya kewenangan gubernur dalam pembatalan perda kabupaten dan kota lewat putusan MK yang bersifat final and binding hal ini tentu saja menciptakan kekosongan pengaturan soal mekanisme pengawasan terhadap perda yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, kepentingan umum dan kesusilaan. Dalam kesulitan itu perlunya pengaturan secepatnya tentang mekanisme prerevieuw (pra-control) oleh pemerintah (Kemendagri) mengingat sekalipun putusan MK berlaku serta merta namun tetap saja diperlukan aturan yang jelas (aktif) guna menjawab putusan MK (pasif). Dengan membayangkan menumpuknya ranperda dari 514 kabupaten dan kota, katakanlah setiap kabupaten dan kota sebulan mengajukan 2 ranperda inisiatif ke pemerintah (Kemendagri), maka ada 1.028 ranperda plus naskah akademik yang mesti di revieuw. Mengingat keterbatasan dari sisi waktu, biaya, personil dan perlengkapan, maka pemerintah dalam hal ini perlu menyiapkan setidaknya kecukupan sumber daya yang cukup dilingkungan kemendagri, membentuk tim adhoc, atau membagi mekanisme pengawasan tersebut bersama Kementrian Hukum dan HAM. Kecukupan sumber daya dilingkungan kemendagri dapat di desain dengan membentuk suatu Badan Hukum tersendiri yang menangani pengawasan perda sebelum ditetapkan (prerevieuw). Tim adhoc dapat didesain dengan melibatkan berbagai ahli dibidang hukum dan ahli dibidang konten ranperda. Sedangkan pelibatan Kementrian Hukum dan HAM untuk memastikan harmonisasi dalam penyusunan ranperda kabupaten/kota. 
Ketiga, adapun perda yang dianggap bertentangan dengan ketentuan peraturan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan kesusilaan setelah ditetapkan atau dijalankan oleh pemda kabupaten dan kota, maka pemerintah (dalam hal ini kemendagri) dapat pula melakukan judicial revieuw ke Mahkamah Agung sesuai amanah dalam putusan MK, dimana MA adalah lembaga yang dianggap berwewenang dalam penyelesaian sengketa peraturan dibawah undang-undang. Kedepan, pengajuan keberatan atau pembatalan terhadap perda kabupaten/kota tidak saja dapat dilakukan oleh masyarakat atau stakeholders yang merasa dirugikan secara langsung (legal standing) oleh perda kabupaten/kota, demikian pula pemerintah yang lebih tinggi seperti gubernur selaku wakil pemerintah pusat maupun pemerintah sebagai penanggungjawab akhir pemerintahan (pasal 4 ayat (1) UUD 45) jika dianggap menghalangi, membatasi atau mengganggu investasi di kabupaten/kota. Secara teknis hal ini dapat diatur dalam permendagri terkait Binwas pemerintah (eksekutif) melakukan pre-revieuw (pra-control, Lihat juga ketentuan pasal 242 dan 243 UU 23/2014.  Sebagai perbandingan pengaturan soal ini dapat dilihat misalnya dalam kasus pengawasan otonomi di Jepang. Pada tanggal 15 Oktober 2015 Perdana Menteri Jepang pernah melakukan judicial revieuw terhadap Gubernur Okinawa ke Mahkamah Agung karena menolak relokasi kawasan pangkalan militer Amerika Serikat.

Guna mempercepat pembatalan perda kabupaten/kota yang bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan kesusilaan di tingkat MA, disarankan pula agar perlunya merevisi Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2012 dimana ketentuan tentang putusan MA yang menguji peraturan dibawah undang-undang (termasuk perda sesuai putusan MK) setelah diputuskan memiliki masa waktu hingga 90 hari lamanya jika tidak dicabut oleh lembaga pembuatnya. Jikalau ketentuan ini masih diberlakukan maka dapat dibayangkan kedepan nasib perda kabupaten/kota yang meskipun telah dibatalkan oleh MA masih tetap berlaku hingga 90 hari kedepan sepanjang belum dicabut oleh Pemda atau DPRD sebagai pembentuk perda.  Hal ini tentu saja dapat memberikan peluang bagi Pemda dan atau DPRD sebagai lembaga politik untuk tetap menjalankan perda yang telah dibatalkan oleh MA.  Saran praktisnya sebaiknya Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2012 tersebut diubah/direvisi dengan frasa bahwa semua putusan MA dalam hal pengujian atas perda atau keputusan sederajat dengan itu yang bertentangan dengan undang-undang dengan serta-merta berlaku pada saat dibacakannya putusan oleh MA sebagaimana konsekuensi putusan MK dalam hal pengujian undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.  Dengan demikian, kedepan semua perda yang telah di judicial revieuw dan telah dibatalkan oleh MA dengan serta merta tidak dapat lagi dijadikan rujukan atau batal demi hukum.  Hal ini bermaksud mendorong Pemda dan DPRD Kabupaten/Kota segera melakukan perubahan/revisi atau mengganti perda yang telah dibatalkan oleh MA. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]