Penguatan Sistem Pemilu di Indonesia
Dalam
sistem politik demokrasi, pemilu adalah mekanisme bagi sirkulasi kekuasaan
secara periodik. Di Indonesia, setiap lima tahun sirkulasi kekuasaan dilakukan
untuk melahirkan kepemimpinan politik baik Presiden/Wakil Presiden, anggota
legislatif (DPR, DPRD), serta kepala daerah/wakil kepala daerah (Gubernur/Wkl,
Bupati/Wkl dan Walikota/Wkl). Pasca kemerdekaan RI (1945), mekanisme pemilu
dilaksanakan secara tidak langsung. Perubahan mekanisme dalam sistem pemilu
terjadi pasca amandemen konstitusi keempat dimana presiden/wakil presiden
dipilih secara langsung, sedangkan pemilu legislatif dilakukan melalui
mekanisme distrik (proporsional terbuka). Disisi lain mekanisme pemilu bagi
kepala daerah dan wakil dilakukan pula secara langsung dan serentak (2005 &
2015-sekarang). Problematika pemilu yang sering dihadapi setidaknya dapat
dikelompokkan dalam dua hal, yaitu masalah substansial dan masalah prosedural. Masalah
substansial berkaitan dengan pertanyaan apakah perubahan mekanisme dalam sistem
pemilu telah melahirkan kepemimpinan yang tidak saja akseptabel juga
berkualitas? Realitas menunjukkan bahwa mekanisme pemilu khususnya pemilu legislatif
dan kepala daerah baru menghasilkan wakil rakyat dan kepala daerah dengan
jumlah suara terbanyak, belum menghasilkan kepemimpinan yang efektif. Dalam
kasus pemilukada misalnya, dari 514 kabupaten/ kota dan 34 provinsi, kita baru
menemukan nama-nama seperti Joko Widodo (Solo), Basuki Tjahya Purnama (DKI
Jakarta), Risma (Surabaya), Ridwan Kamil (Bandung) dan Nurdin Abdullah
(Bantaeng) sebagai sedikit kepala daerah mumpuni dari hasil pemilukada
langsung. Pada sisi lain, masalah pemilu ditingkat prosedural berkaitan dengan
soal-soal efisiensi dan efektivitas dalam pemilu, misalnya apakah mekanisme
yang disepakati telah proporsional antara biaya pemilu dengan output yang dihasilkan melalui mekanisme
dimaksud? Faktanya, biaya pemilu yang sedemikian besar baik pada pemilu
presiden, legislatif dan kepala daerah pada akhirnya dirasakan belum menciptakan
dampak positif dimana pelayanan publik yang diharapkan kurang maksimal, bahkan
tidak sedikit menimbulkan implikasi baru seperti konflik horisontal, gejala
korupsi, nepotisme, kolusi, pelanggaran hukum, penyalahgunaan wewenang, inefisiensi,
serta politisasi birokrasi. Keseluruhan gejala tersebut pada ujungnya hanya
menguntungkan elit tertentu, namun menjadi beban bagi masyarakat. Dalam konteks
inilah seringkali demokrasi dipersoalkan, diragukan, dan bahkan digugat. Dalam
jangka panjang bukan mustahil realitas ini menjadi ancaman serius bagi masa
depan sistem politik demokrasi. Tulisan ini mencoba menguatkan sistem pemilu
yang ada melalui analisis singkat dan solusi jangka pendek, menengah dan jangka
panjang.
Secara
konstitusional sistem politik Indonesia menganut sistem politik demokrasi
(Lihat pasal 4 dan 18 UUD 1945 amandemen IV). Karenanya, kita tidak
mempersoalkan lagi apakah sistem politik yang akan digunakan sebagai dasar
dalam praktek pemilu di Indonesia, kecuali mekanisme apakah dalam kerangka
sistem politik demokrasi itu yang akan kita terapkan dalam pemilu presiden,
legislatif dan kepala daerah. Pertanyaan tersebut setidaknya akan mengarahkan
kita pada pilihan mekanisme yang ideal lewat kebijakan yang akan kita tetapkan
untuk pemilu dimasa akan datang. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa
mekanisme pemilu hanyalah satu pilihan dalam kerangka sistem politik demokrasi
yang bersifat permanen (konstitusional). Negara-negara dengan sistem politik
non demokrasi dan praktek pemilihan pemimpinnya masih menggunakan mekanisme
konvensional pada akhirnya turut memperlihatkan suatu rotasi kepemimpinan yang
lebih efektif dan efesien. Ini menunjukkan bahwa mekanisme pemilu hanyalah satu
pilihan cara dalam menghasilkan pemimpin yang disesuaikan dengan kebutuhan
politik masyarakatnya. Lebih jauh dapat
dikatakan pula bahwa persoalan sistem politik dan seperangkat mekanisme
pemilunya tidak berkorelasi kuat dengan kesejahteraan masyarakat yang justru
menjadi tujuan suatu negara.
Menjawab
masalah subtansi pemilu harus dimulai dengan upaya memperkuat unsur-unsur yang
terlibat dalam pemilu. Unsur-unsur pemilu tersebut antara lain adalah penyelenggara, peserta, kandidat, pengawas
pemilu dan masyarakat. Penyelenggara pemilu harus benar-benar independen
sehingga mekanisme pemilu dari aspek kebijakan hingga teknis pelaksanaan mampu melahirkan
kepemimpinan yang memiliki legitimasi. Legitimasi
dalam hal ini tidak saja berkaitan dengan suara terbanyak, namun sejauhmana
tingkat penerimaan moral masyarakat terhadap proses dan hasil akhir suatu
pemilu. Peserta pemilu yang berasal dari partai politik haruslah partai politik
yang memenuhi kualifikasi dengan sumber daya yang memadai, termasuk partai politik
yang memiliki idiologi yang jelas, bukan partai politik yang cenderung
pragmatis (abal-abal). Kecendrungan partai politik dibentuk hanya sebagai
kenderaan politik sesaat tanpa dukungan masyarakat. Terkait kandidat, baik kandidat pasangan
presiden, gubernur, bupati, walikota dan anggota dewan adalah mereka yang
benar-benar lahir dari pengalaman sebagai politisi kredibel. Hal ini penting
untuk memastikan terpilihnya pemimpin, bukan pemimpi, negarawan bukan sekedar
manejer, berintegritas bukan berintrik dengan masyarakat, serta memiliki
karakterisitik sebagai leader bukan dealer. Pengawas pemilu adalah mereka
yang memiliki integritas tinggi oleh sebab pemilihan pemimpin menyangkut masa
depan orang banyak, bukan kepentingan sekelompok orang. Kejahatan dalam pemilu
dapat berakibat fatal bagi masa depan suatu negara dan pemerintahan daerah. Pada
akhirnya tanggungjawab pemilu bergantung penuh pada masyarakat sebagai salah
satu unsur vital dalam penyelenggaraan pemilu.
Hilangnya orientasi politik masyarakat terhadap tanggungjawab dan masa
depan negara serta daerah dapat mengancam keberlangsungan pemerintahan. Terkait
hal itu, semakin tinggi partisipasi politik masyarakat dalam pemilu semakin penting
kita memberi alasan tentang perlunya mempertahankan mekanisme pemilihan
langsung. Sebaliknya, semakin rendah partisipasi politik masyarakat, semakin
membuka peluang bagi alternatif mekanisme pemilu tidak langsung (representative election).
Problematika
pemilu dari aspek prosedural penting diperhatikan mengingat variabel ini
merupakan proses yang melahirkan kepercayaan (trust) atau sebaliknya (distrust).
Kendatipun unsur-unsur di atas diasumsikan terpenuhi sesuai kriteria namun
dalam banyak kasus masalah prosedural seringkali mengganggu pelaksanaan pemilu
yang jujur. Kekalahan pasangan tertentu dapat berbalik menjadi kemenangan bagi
yang lain hanya karena kekurangan selembar atau dua lembar surat suara, rusaknya
kotak suara, atau lenyapnya persyaratan administrasi yang ditentukan. Prosedur
yang baik setidaknya didukung oleh sumber
daya pelaksana, logistik dan pembiayaan yang mencukupi. Sumber daya
pelaksana bergantung pada faktor pendidikan dan pengalaman. Pendidikan yang
cukup bagi tenaga penyelenggara pemilu dapat mengubah pengetahuan dan membentuk
integritas. Sedangkan pengalaman dapat membentuk pengetahuan baru, keterampilan
dan keahlian dalam penyelenggaraan pemilu. Logistik yang memadai dapat
mendukung penyelenggaraan pemilu yang berintegritas. Rendahnya logistik dapat mempengaruhi
pelaksana dalam menjalankan prosedur yang telah ditetapkan. Disinilah peluang terciptanya korupsi, dimana
integritas pelaksana dapat dengan mudah tergadaikan pada kandidat maupun tim
sukses. Bagian terakhir dan terpenting adalah dukungan pembiayaan dalam
penyelenggaraan pemilu. Disadari bahwa mekanisme pemilu langsung selalu saja
berhadapan dengan tingginya pembiayaan (high
cost). Dalam konteks itu demokrasi seringkali berhadapan dengan dilemanya sendiri,
dimana semakin tinggi kualitas demokrasi yang diinginkan semakin tidak efisien pada tingkat pelaksanaannya. Sebaliknya, bila tekanannya pada soal efisiensi penyelenggaraan
pemilu, maka cenderung semakin rendah kualitas demokrasinya. Bila kita
menginginkan efisiensi dalam mekanisme demokrasi maka pilihan paling logis adalah
melalui mekanisme tidak langsung (indirect
election). Hal ini dapat berdampak pada berbagai aspek misalnya menurunnya
konflik karena kandidat dan pemilih selain berjarak juga terwakili, menghambat
politisasi birokrasi, mengurangi biaya tinggi, menekan angka korupsi, menghemat
waktu, serta relatif menjamin stabilitas politik.
Penyelesaian
masalah penguatan sistem pemilu dalam jangka pendek, menengah dan jangka
panjang dapat dilakukan sebagai berikut; pertama, penyelesaian problematika
pemilu dari aspek substansi dalam jangka pendek dan menengah perlu penguatan
pada unsur-unsur penyelenggaraan pemilu, yaitu penyelenggara pemilu itu sendiri
(panitia), peserta pemilu (partai politik dan kandidat), pengawas pemilu
sebagai wasit, serta masyarakat sebagai penikmat akhir demokrasi. Bentuk
penguatan tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan intensif bagi
panitia pemilu, pendidikan tentang sistem pemilu bagi anggota partai politik, pendidikan leadership bagi bakal calon sebelumnya
oleh parpol dan sesudahnya oleh pemerintah, pendidikan dan pelatihan bagi pengawas
pemilu, serta pendidikan kewarganegaraan bagi kelompok organisasi masyarakat.
Dalam jangka panjang diperlukan redesain mekanisme pemilu yang lebih efisien
tanpa harus mengorbankan kualitas demokrasi itu sendiri. Penting dikaji ulang mekanisme pemilu tidak
langsung khususnya untuk kasus pemilukada, agar selain dilakukan serentak juga
melalui wakil-wakilnya. Hal ini dapat diterapkan misalnya wilayah Provinsi
Papua, Papua Barat dan DKI Jakarta. Pilihan
mekanisme pemilu kedepan sebaiknya didukung oleh setidaknya dua variabel pokok
yaitu tingkat pendidikan dan pendapatan. Kedua, penyelesaian masalah pemilu
dari aspek prosedural dapat dilakukan melalui penguatan pada sumber daya
pelaksana, logistik dan pembiayaan. Bentuknya dapat berupa peningkatan
pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan keahlian teknis. Logistik dapat
disesuaikan dengan pilihan mekanisme pemilu yang akan diterapkan, apakah masih
tetap langsung atau tidak langsung. Demikian pula soal pembiayaan yang lebih
efisien. Dalam jangka panjang perlu
dikaji dan didesain kembali alternatif mekanisme pemilu yang lebih efisien
melalui penggunaan teknologi informasi (e-election)
serta penggunaan mekanisme pemberian suara melalui noken di wilayah Papua dan Papua Barat.
Komentar
Posting Komentar