Kementrian Dalam Negeri Sebagai Poros Utama Pemerintahan


Oleh. Muhadam Labolo

Dalam sejumlah kesempatan Menteri Dalam Negeri (Tjahjo Kumolo) mengingatkan bahwa Kemendagri adalah poros utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Statemen itu tampaknya penting untuk tidak saja digarisbawahi, juga dipahami dalam konteks teoritik dan historisnya.  Secara teoritik, kekuasaan itu semula berada pada satu tangan yang bersifat absolut (Hobbes). Kekuasaan mutlak itu disimbolkan oleh sosok Leviathan.  Seluruh kepentingan rakyat diserahkan sepenuhnya secara sentralistik kepada penguasa tunggal. Konsekuensinya seluruh keputusan dan nasib rakyat bergantung pada kehendak satu orang (Monarchis).  Sirkulasi kekuasaan bersifat tertutup dan terikat secara biologis selain pemerintah menjadi satu-satunya sandaran pertama dan terakhir kepentingan rakyat. 

Gagasan ini dalam perkembangannya melahirkan sistem politik totalitarianisme. Kritik Locke terhadap gagasan ini adalah Hobbes seakan menutup rapat ruang bagi rakyat dalam upaya melepaskan diri dari ikatan pemerintahan ketika pemerintah justru berlaku sewenang-wenang.  Ide Locke mendorong perlunya pelucutan sifat totalitarianism dalam konsep kekuasaan absolutisme Hobbes.  Pemikiran ini menjadi pondasi penting bagi Rousseau dan Imanual Kant dalam mengembangkan konsep Locke yang dikenal dengan kontrak sosial kearah Trias Politica.  

Agar pemerintahan tak menjadi absolut maka perlu adanya konsensus yang mengikat keduanya (pemerintah dan yang diperintah) melalui konstitusi sebagai manifestasi dari kontrak sosial dimaksud.  Sementara kelembagaan yang semula direpresentasikan tunggal oleh Leviathan menurut konsep Hobbes (eksekutif) kini dipisahkan menjadi cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif (Trias Politica).  Legislative sebagai representasi rakyat berfungsi membuat aturan (lex, hukum), sementara eksekutif berfungsi melaksanakan hukum yang dibuat rakyat (to execut, melaksanakan). Sisanya menjadi fungsi yudikatif dalam hal penegakan hukum.

Dalam paham negara sentralistik diatas, kekuasaan berada di satu tangan. Kekuasaan mula-mula dilaksanakan oleh pemerintah secara tunggal. Seluruh kekuasaan dipegang dan dilaksanakan oleh satu orang secara terpusat.  Untuk melaksanakan kekuasaan itu maka dibentuklah kelembagaan dari level puncak hingga terbawah sebagai instrumen bagi penyelenggaraan kekuasaan. Paham negara sentralistik diadaptasi semenjak Romawi, Perancis, Belanda hingga Indonesia. 

Secara historis hal ini berkenaan dengan kolonialisasi sekalipun faktanya Indonesia telah tumbuh dan berkembang dengan paham yang sama, yaitu bentuk pemerintahan monarchi absolut di tingkat lokal. Kekuasaan dalam sistem pemerintahan dewasa ini lazim disebut dengan istilah wewenang ataupun urusan pemerintahan. 

Dalam pandangan Bayu Suryaningrat (1999), urusan pemerintahan umum (algemene bestuur) secara luas melingkupi seluruh urusan pemerintahan pada cabang legislatif, eksekutif dan yudikatif.  Secara sempit, urusan pemerintahan umum itu adalah urusan pemerintahan setelah dikurangi urusan pemerintah vertikal yang telah dilimpahkan kedaerah (dekonsentrasi) dan urusan yang telah diserahkan secara territorial ke daerah (desentralisasi). Pelaksana urusan pemerintahan umum itu secara konkrit dilaksanakan oleh kementrian dalam negara.  Negara dalam pengertian ini adalah negeri.  Artinya, semua urusan dalam negara dilaksanakan oleh Kementrian Dalam Negeri atau Departemen Home Affairs dibanyak negara.  

Dalam konteks kekinian urusan pemerintahan umum itu menjadi lebih sempit lagi setelah dikurangi urusan pada cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif, urusan absolut, urusan dekonsentrasi, urusan desentralisasi (baik concurrent maupun pilihan), dan tugas pembantuan. Sisa urusan itulah yang kini dikerjakan oleh Kementrian Dalam Negeri.  Sebagian besar urusan yang kini mengalami departementasi, spesialisasi, diferensiasi, bahkan proliferasi, dahulu dilaksanakan oleh Kementrian Dalam Negeri. Sebut saja urusan keamanan (kepolisian), urusan politik (KPU, Bawaslu), urusan perbatasan (BNPP), urusan narkotika (BNN), urusan radikalisme (BNPT), urusan pemuda dan olah raga (Kemenpora), urusan perempuan (Kementrian Perempuan), urusan pendayagunaan aparatur negara (Kemenpan) dll. Urusan lain yang bergeser misalnya urusan desa yang kini dikerjakan oleh Kemendes PDT. 

Kementrian dalam negeri disebut juga sebagai kementrian induk (Babon). Itulah mengapa disebutkan secara ekplisit dalam UU No.39 Tahun 2008 selain kementrian pertahanan dan luar negeri. Kementrian pertahanan dan keamanan pun secara teoritik merupakan urusan pemerintahan dalam negara.  Menurut Hobbes bahwa fungsi klasik pemerintah itu adalah bagaimana melindungi rakyat dari ancaman luar dan sesamanya.  Ancaman luar itu dikonkritkan melalui departemen pertahanan (militer), sedangkan ancaman dari sesamanya direpresentasikan melalui badan kepolisian negara. 

Dalam perspektif negara modern (welfare-state), paham negara penjaga malam (naacht-state) telah lama ditinggalkan sekalipun esensinya tetap dipertahankan (adanya militer dan polisi).  Pergeseran pemahaman itu telah mendorong pula diferensiasi dan spesialisasi dalam bentuk sentrifugalistik urusan pemerintahan keberbagai bentuknya sebagaimana kita saksikan dewasa ini. Semua itu dilakukan dengan maksud mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sekalipun demikian, urusan pemerintahan umum yang tersisa di Kementrian Dalam Negeri tidak akan pernah habis disebabkan oleh perkembangan urusan yang terus bertambah, gagal dilakukan oleh instansi vertikal maupun urusan-urusan yang tak mampu dilaksanakan oleh daerah sehingga mengalami resentralisasi.  

Disamping itu, gerak sentrifugal dari setiap urusan pemerintahan yang mengalami spesialisasi itu perlu diawasi, dibina dan dikoordinasikan terus-menerus.  Dalam konteks inilah peran kementrian dalam negeri semakin diperlukan guna meningkatkan kemampuan sentripetalnya dalam hal pengawasan, pembinaan dan koordinasi dipusat dan daerah.  Di pusat, kemendagri menjadi poros utama pemerintahan yang menghubungkan semua departemen dan lembaga pemerintah terkait, sedangkan didaerah kemendagri menjadi poros utama melalui pejabatnya (gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah) untuk memandu gerak sentrifugal semua instansi vertikal terkait agar tercipta keserasian, keselarasan dan akselerasi pada tujuan konstitusional.

Guna memastikan secara vertikal bahwa seluruh kekuasaan eksekutif berjalan melalui instrumentnya secara bertingkat (hierarkhis), maka kekuasaan itu perlu ditopang oleh level pemerintahan dari provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa.  Di front-line pemerintahan itu ada pemerintah desa, sekalipun status desa acapkali mengalami fluktuasi dalam sistem pemerintahan baik sebagai birokrasi negara maupun community.  Terlepas dari itu, pada titik itulah pemegang kendali di puncak kekuasaan dapat menggerakkan rakyatnya melalui berbagai kebijakan, program dan kegiatan. 

Instrument pemerintah dalam bentuk badan-badan pemerintah lokal yang secara berjenjang menopang kepentingan pemerintah dalam menggerakkan masyarakat secara konseptual merupakan refleksi dari pendekatan Long Arm Short Finger (LASF, Ndraha, 2002).  Dengan bersandar pada pendekatan strategis itu maka badan-badan pemerintah lokal, termasuk desa sebaiknya tidak mengalami proliferasi terlalu jauh agar fungsi kemendagri sebagai poros utama pemerintahan benar-benar kokoh baik menurut perspektif teoritik-konseptualnya maupun aspek historisnya selaku kementrian induk.
         
         



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian