Masa Depan Pemilukada Pasca Pandemik

Oleh. Muhadam Labolo

Sesuai jadwal, Pemilukada serentak rencananya akan digelar tanggal 9 Desember, setelah sebelumnya tanggal 23 September 2020. Kompromi ini mungkin bukan last decision, bergantung back up anggaran, statistik Covid 19, prediksi partisipasi publik, mekanisme Pemilukada dimasa Corona, serta dinamika diruang publik yang direpresentasikan oleh wakilnya di Senayan.

Soal dukungan logistik pemilukada, kita paham bahwa hampir semua pos anggaran di pusat dan daerah telah mengalami optimalisasi berkali-kali dengan urgensi refocusing anggaran terkait Covid 19. Lebih 405 triliun didistribusikan pada upaya perlindungan kesehatan, stabilisasi lapangan kerja, serta jaring pengaman sosial. Itu artinya pemerintah serius memprioritaskan keselamatan publik dibanding program lain. Persoalannya, apakah mekanisme demokrasi yang diwujudkan melalui pemilukada sama pentingnya dengan keselamatan publik? Menurut saya tergantung kapan mekanisme demokrasi itu ditentukan dan kapan dikecualikan, namun untuk alasan keselamatan publik, semua reasoning apapun menjadi tak begitu penting dengan prinsip solus populi suprema lex.  Maknanya bila kondisi negara dalam keadaan relatif normal tanpa ancaman bahaya alam maupun non alam, pilihan mekanisme demokrasi menjadi perkara penting. Dalam memilih pemimpin misalnya, pada level puncak manusia membutuhkan ruang bagi ekspresi diri bila urusan perut dan keamanan diri terpenuhi. Demikian nasehat Abraham Maslow dalam psikologi humanistik dan hirarkhi kebutuhan manusia (1996). Jadi, jangan bicara actualization need semisal mencalonkan diri sebagai pemimpin bila kebutuhan primer, sosial dan safety individu masih dalam situasi mencemaskan. Dampaknya dapat dibayangkan, probabilitas demokrasi terancam kehilangan mutu, yang tersisa hanya formalitas kertas suara, minim partisipasi, serta lahirnya kandidat pemimpin lokal dengan tingkat legitimasi rendah. Dilema teknisnya, membiarkan tampuk pemerintahan lokal kosong dalam jangka panjang dapat mempersulit inisiasi, kreativitas, serta kemandirian daerah dalam merancang kebijakan strategis.

Masalah krusial kedua dan utama tentu berkaitan dengan perkembangan Covid 19. Sejauh ini, Indonesia masih berada dirangking teratas angka infeksi Covid 19 dibanding negara-negara di Asia Tenggara. Sesuai data Gugus Tugas Percepatan Penanganan C19 hingga 4 Juni 2020, angka infeksi mencapai 28.818 jiwa dengan 1.721 kematian. Mirisnya, angka kenaikan infeksi C19 justru meningkat di daerah-daerah tertentu setelah kota-kota besar seperti DKI Jakarta dan Jawa Timur menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Jika trend tersebut terus menanjak tanpa indikasi penurunan signifikan dalam beberapa bulan kedepan, kita dapat memproyeksikan bahwa kemungkinan angka infeksi C19 akan mengalami sebaran dengan titik didih di daerah hingga akhir tahun 2020. Apalagi jika Pemerintah Daerah seperti NTT menganggap bahwa ancaman kelaparan bagi masyarakatnya jauh lebih membahayakan dibanding wabah pandemik itu sendiri. Dengan perbedaan pemahaman tersebut dapat dipahami mengapa angka infeksi C19 meningkat serta pola kebijakan yang diambil daerah bervariasi. Sebagai contoh, ketika pemerintah menerapkan kebijakan new normal, interpretasi daerah bisa menjadi berwarna-warni seperti pembatasan fase transisi di DKI Jakarta, atau pembatasan proporsional di Jawa Barat. Kesumiran narasi new normal dengan segala implikasinya mengakibatkan apa yang disampaikan (to say), kurang detil dijelaskan (to explain), sehingga mencipta ragam terjemahan (to interpretation). Ini tidak saja soal miskomunikasi politik dalam kacamata hermenetik juga berkenaan dengan klaim otonomi daerah. Atas realitas itu sulit membayangkan bila pemilukada dapat diterapkan di sejumlah daerah yang berada di red zone Covid 19 karena perbedaan kebijakan di tingkat lokal. Efeknya dapat menghambat mobilitas pemilih, selain secara moral memperagakan ketidak-konsistenan pemerintah daerah dan pusat dalam hal melindungi keselamatan publik disatu sisi, tetapi membiarkan kerumunan atas nama demokrasi disisi lain.

Dampak dari sesaknya aturan pusat dan daerah yang berseliweran bukan saja memperjelas apa yang mesti dilakukan pemilih, yang mungkin terjadi justru menebalnya perasaan antipati sebagaimana gejala saat ini, dimana masyarakat lebih berani menembus barikade aparat demi menstabilkan ekonominya ketimbang memikirkan ancaman Covid 19. Sejalan dengan itu dapat diterka pula bahwa tingkat partisipasi politik dalam pemilukada bisa berada dibawah 40% kecuali money politics dianggap halal dengan harapan masyarakat berkenan ke TPS memberikan suara. Bila tidak, angka partisipasi politik akan jauh dibawah itu sekalipun mekanisme demokrasi di tingkat lokal bersifat simple majority. Dalam konteks semacam itu perhelatan demokrasi tak lebih dari sekedar asal jadi, asal terpilih, asal terserap, dan asal selesai. Ini bentuk demokrasi baru, demokrasi asal-asalan, atau demokrasi jadi-jadian.

Ancaman berikutnya yang bisa dibayangkan adalah ekses tata kelola pemilukada itu sendiri, dimana kerumunan pemilih pada sejumlah tahapan tidak saja menjadi ancaman bagi keselamatan pemilih, demikian pula petugas KPPS diberbagai tingkatan. Syukur bila sejumlah tahapan yang mengandung resiko telah dipangkas. Semua yang bersentuhan mesti dipastikan steril jika tak ingin meregang nyawa demi alasan tegaknya demokrasi di tengah pandemik. Perbedaan geografis, pengelolaan logistik, dan kerumunan sosial sudah merupakan satu kesulitan tersendiri diluar potensi terinfeksi Covid 19. Kalaupun terdapat kurang lebih 60 negara di dunia yang tetap melaksanakan pemilu, itupun dengan standar protokol yang ketat selain penggunaan teknologi informasi semacam e-vote. Bila ini dapat disiapkan, maka pemilukada di Indonesia akan jauh lebih safety, healty, efisien, dan efektif.

Terakhir, kalaupun pemilukada dilaksanakan sesuai jadwal akhir tahun ini, pemerintah perlu menyiapkan strategi guna membangun dukungan mayoritas dengan tidak hanya bersandar pada hasil sampel petisi, juga dukungan kuat wakil rakyat di Senayan, DPR dan DPD RI. Hal ini penting agar pemilukada tak hanya membutuhkan dukungan biaya, juga secara politik dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Kedepan, ada baiknya diperbincangkan kembali mekanisme demokrasi yang lebih menjamin terlindunginya masyarakat dari efek kerumunan, rendah konflik, efisien & efektif. Misalnya saja, wacana pemilukada tak langsung melalui wakil-wakilnya di DPRD. Ini mungkin sedikit gaduh, tapi itu juga demokratis. Jalan keluarnya praktis, keluarkan saja Perpu Pilkada Tak Langsung sebagaimana nasib baik Perpu No. 1/2020 yang melenggang mulus menjadi UU No. 2/2020. Alasannya sama, pandemik yang tak berkepastian, ancaman resesi keuangan negara, serta keselamatan publik sebagai prioritas utama. Jika new normal dianggap juga kembali ke kebiasaan klasik (cuci tangan, masker, dan jaga jarak), maka inilah masa depan pemilukada pasca pandemik jika tak ingin ditunda, atau boleh dikatakan pemilukada era new normal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian