Iblis Corona Dalam Persepsi Awam
Oleh. Muhadam
Diruang publik, persepsi masyarakat terhadap pandemi rupanya bervariasi. Dalam wawancara acak presiden di depan Istana, aras bawah menyimpulkan bahwa kita sesungguhnya sedang berhadapan dengan serbuan iblis (Rabu, 30 Sept 2020). Corona dalam kesan awam adalah iblis yang tak terlihat secara kasat mata. Bagi mereka, selain Tuhan dan Malaikat yang bersifat gaib, semua yang mengganggu umat manusia adalah mahluk halus, jin dan sebangsanya. Kesadaran budaya semacam itu melahirkan cara beradaptasi kelompok grassroots lewat mantra dan doa.
Persepsi itu diametral dengan pandangan kelompok rasional yang menurut sains adalah mahluk micro-biologis bernama corona virus disease (covid 19). Situasi dewasa ini secara eskatologi perlu ditangani serius, bukan sekedar memenuhi standar penggunaan masker, social distancing, dan cuci tangan (Alfayadi, 2020). Apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan pragmatis kaum industrialis atas nama pertumbuhan ekonomi. Masker dan desinfektan tentu akan menjadi barang paling laris dengan memanfaatkan moment pesta demokrasi. Persis penjual asongan memanfaatkan kemacetan di jalan tol. Dalam jangka panjang penting untuk sesegera mungkin menciptakan anti-virus agar angka infeksi tak melaju ibarat deret ukur. Tanpa strategi jangka panjang, sadar atau tidak komposisi demografi bangsa ini akan mudah dikendalikan oleh negara penemu vaksin.
Dua orientasi kognitif diatas menyadarkan kita bahwa strategi pengendalian pandemi tak bisa dilakukan seragam dan instan. Diperlukan strategi jangka panjang yang jauh lebih menjawab menimbang ketidakpastian berakhirnya masa pandemi. Badan-badan survei nasional dan international yang diawal kemunculan percaya diri memprediksi baik lewat pendekatan kuantitatif maupun kualitatif kini tiarap, gagal membuktikan hasil analisis statistik regresi linier tentang berakhirnya pandemi secara presisi. Kegagalan itu kemungkinan karena semua upaya teknis diberbagai negara tak di desain secara terstruktur, masif, dan terencana, kecuali insidental, lokalitas dan partikularistik.
Positifnya, bagi kaum marginal situasi ini hanyalah masa transisi, ada saatnya mereda. Jadi tak perlu cemas berlebihan, bukankah sekelompok pemulung yang hidup dibawah kolong jembatan tetap segar-bugar. Kepanikan, kekecewaan, kesedihan, dan kemarahan hanya menambah laju iblis mengantar kita ke liang lahat. Pada akhirnya kita akan terbiasa, sehat sediakala lewat kekebalan alami (herd immunity). Bagi kaum langitan yang menganggap serangan pandemi ini sebagai kiamat kecil, berharap agar respon politik tak melulu bersifat praksis, tapi mampu menemukan solusi berdaya jangkau hingga batas horison terjauh guna mengantisipasi runtuhnya kebudayaan sosial, politik dan ekonomi masyarakat.
Komentar
Posting Komentar