Oleh. Muhadam
Kata Winston
Churchill, history has been written by the victors. Faktanya pemenang
cenderung mengubah, memanipulasi, bahkan menghilangkan artefak sejarah melalui
berbagai cara termasuk politik dinasti. Terlepas itu, sejarah penting untuk
menuntun kita kearah yang lebih maju tanpa melupakan setiap peristiwa dimasa
lampau. Jika Kemendikti sepakat, sejarah dapat dipelajari sebagai seperangkat
ilmu pengetahuan (istoria, ilmu). Efeknya tercipta spirit membangun
identitas kultural suatu bangsa. Tanpa sejarah sebagai jejak pijak masa lalu
dan kini, kita dapat kehilangan kompas untuk meraih masa depan. Dengan
kesadaran itu sejarah mesti dipelajari bukan semata-mata atas waktu dan lokus
peristiwa, yang lebih penting belajar dari sejarah (Ndraha, 2002). Bila tidak,
kita hanya akan meninggalkan hafalan tentang Perang Aceh atau Perang
Diponegoro, tanpa pemahaman setting social yang melatarbelakangi perang
hebat dimasa itu.
Dalam konteks sejarah
pemerintahan, tak banyak historiografi yang mendeskripsikan bagaimana pola
kepemimpinan dan tingkah laku masyarakat, serta interaksi sosial pada satu
entitas pemerintahan. Kalaupun ditulis, lebih semacam sejarah umum yang
menyisakan sub bab tentang dinamika pemerintahan di lokasi peristiwa. Ambil
contoh perilaku kepemimpinan Pamongpraja yang dikutip Rosihan Anwar dalam
pengantar buku Kenang-Kenangan Pangrehpraja Belanda di Indonesia (1920-1942), mereka
dilatih agar teliti dalam mengelola kas keuangan daerah yang dipercayakan
kepada mereka. Satu senpun tidak boleh kurang apabila terjadi pemeriksaan kas.
Korupsi dicegah jangan sampai menghinggapi pejabat-pejabat Pamongpraja.
Catatan pendek itu meyakinkan kita bahwa pengetahuan, cara kerja dan integritas
Pamongpraja dimasa lalu tak diragukan. Problem etiknya, mengapa realitas dewasa
ini berkebalikan dengan masa lalu, apa masalahnya dan bagaimana mengembalikan
integritas Pamongpraja agar tetap terawat sekalipun berjarak jaman. Disinilah
kita perlu belajar dari sejarah sehingga identitas dan karakter kita tetap
terjaga.
Ketiadaan sejarah
sebagai cermin membuat kita berkiblat mentah-mentah ke barat. Masalahnya bukan
saja nilainya yang kita sedot, tak terkecuali asesoris budayanya, persis
menarik Pukat Harimau di tumpukan biota laut, semua terambil. Alhasil diruang
publik kita berselisih paham tentang mana authentik dan mana yang sintetik.
Kita sendiri kehilangan identitas, barat bukan, timurpun meragukan. Inilah
generasi bangsa yang tercerabut dari akar-akar budayanya. Jepang dan Korea
adalah contoh negara yang eksis ditengah invasi modern dan tradisi bushido.
Lebih dari itu pengaruh eksternal tidak saja mempengaruhi perilaku, demikian
pula idiologi dan artefaknya. Paling mudah dikenali adalah sistem politik dan
pemerintahan kita yang bercampur aduk antara presidensial dan parlementer serta
penerapan mekanisme demokrasi langsung. Semua itu menunjukkan bahwa kekayaan
sejarah dan kebudayaan kita tak sepenuhnya dipelajari dan diadaptasi kecuali trial
and error.
Akhirnya, mengingat
kembali kata Soekarno soal jasmerah, patut bagi kita mendalami dan meneliti
kembali sejarah pemerintahan berikut metodologinya, guna memperkaya literatur
yang selama ini berkutat pada judul laporan akhir dan skripsi tentang
implementasi, pelaksanaan, analisis, peran, partisipasi, persepsi, strategi, pemberdayaan,
bahkan yang paling putus asa, upaya. Keterkungkungan dalam kotak keyakinan tunggal
(in the box) selama ini telah menjauhkan kita dari upaya memajukan
pemerintahan lewat penelitian sejarah dengan teknik _etnografi-partisipatoris. Bila
tidak, kemungkinan nasib laboratorium dan museum kita pun tinggal sejarah.
Komentar
Posting Komentar