Mitos, Religi dan Sains Kita

Oleh. Muhadam Labolo

Dunia bergerak dalam kebimbangan orientasinya. Antara melaju pada kecepatan sains atau kembali keruang transedental yang penuh misteri, mitos dan religi. Sejak lama mitos menstimulasi semangat bangsa-bangsa tertentu untuk maju. Jepang yakin mereka adalah generasi penerus Dewa Matahari yang menyinari alam. Bangsa Jerman percaya bahwa merekalah Ras Aria paling sempurna di muka bumi. Sisi baiknya keyakinan kolektif itu memberi energi bagi logos hingga kemajuan  bangsanya diberbagai bidang. Eksesnya, kepercayaan diri yang berlebihan itu menciptakan ambisi menaklukkan, eksploitasi dan kolonialisasi seperti slogan simpatik saudara tua dari timur atau tragedi genosaida bagi bangsa Yahudi.

Religi datang menjadi suluh bagi gelapnya mitos dan pengetahuan. Ada kekuasaan tunggal dan maha luas yang mengendalikan segalanya. Religi berusaha menjernihkan keyakinan kelam pada jalan spiritual yang menjanjikan, surga dan neraka. Maknanya semua perbuatan ada konsekuensinya, baik di dunia maupun di akhirat. Semua yang tersentuh indrawi maupun yang belum, menjadi tanggungjawab Tuhan hingga lingkup paling mikro. Sedemikian banyaknya tanggungjawab Tuhan hingga kredibilitasNya tak jarang terancam didistorsi, dimanipulasi, diperkosa, bahkan dibajak atas nama otoritas religi hingga menciptakan kemacetan, kerusakan, dan konflik atas nama Tuhan. Dalam konteks itu eksistensi Tuhan digugat bahkan diperperdebatkan lewat pengetahuan kritis manusia.

Pengetahuan datang menggantikan peran mitos yang gelap, sekaligus berupaya menalarkan apa yang selama ini disangka semata-mata menjadi tanggungjawab Tuhan. Manusia rasional tentu bertanya, dimanakah tanggungjawab dirinya sebagai mahluk sosial (homo socius), politik (zoon politicon), dan ekonomi (homo economicus). Bukankah kognisi dan perangkatnya adalah sarana yang disediakan Tuhan untuk mengetahui, memahami, menerapkan,  menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi setiap persoalan yang ingin dijawab menurut tingkatannya (Bloom,1956). Pengetahuan jelas diperkenankan, apalagi religi memberi sinyal kuat. Bagi mereka yang menggunakan iman & ilmu secara simultan dijanjikan Tuhan diangkat derajatnya selevel diatas manusia pada umumnya. Tentu saja semua itu membutuhkan penjelasan pengetahuan, tidak sekedar percaya sebagaimana mitos atau doktrin religi.

Kini sains merasa semakin kokoh dengan arogansi rasionalitasnya. Semua instrumen canggih yang memudahkan gerak manusia dianggap prestasi tertinggi yang tak mungkin diraih jika hanya bersandar pada tahayul dan teks suci. Ilmu pengetahuan bukan sekedar keyakinan, tapi tindakan nyata. Hasilnya, sains dan teknologi menjadi bagian dari kekayaan peradaban. Sekalipun demikian mitos dan religi tak pernah mati, bahkan ketika mereka dilangkahi dan dikesampingkan. Mitos, kendatipun tertatih jauh dibelakang, sekali-kali datang dan menyita perhatian sebagian publik, entah lewat Bidadari turun dari kahyangan atau seorang anak yang mampu bertelur (Supeli, 2016). Mungkin saja mitos modern yang gagal rancang berubah rupa menjadi hoax. Lepas dari itu masing-masing menampilkan sisi terbaik dan ekses berlebih atas keyakinan yang terus dibangun para penganutnya.

Sains diakui mempermudah kita membangun pengalaman, walau sisi berlebihnya ia kadang menjebak manusia ke bilik hampa nilai. Sains mengurai bukti agar gulita menjadi kebenaran walau relatif. Tentu saja kebenaran dimaksud adalah kebenaran objektif minus subjektivitas sebisa mungkin. Dalam pencarian itu pengetahuan seringkali menerobos batas suci yang di klaim mitos dan religi. Sejak kemunculan logos, kesakralan religi dipertanyakan lewat kritik God is death. Religi bermaksud menjadi cahaya dan pelentur bagi kesombongan mitos dan pengetahuan, kendatipun pengetahuan mengklaim datang untuk mencerahkan, tak jarang pun menuju kesesatan. Disisi yang sama religi tak luput dari kecurigaan menyimpan spirit membahayakan. Disadari atau tidak, kita sedang berdiri di tengah keangkuhan pengetahuan dan fanatisme religi. Pada keterjepitan semacam itulah Nietzche (1884) pernah bertanya, dalam makna seperti apakah kesolehan kita kini dinilai?

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian