Politik Otonomi Pasca Omnibus Law
Oleh. Muhadam Labolo
Pasca pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja politik otonomi daerah dipertanyakan kembali, paling tidak pada soal keseriusan dan konsistensi segenap stakeholders (Djohan,2020). Kesulitan menjawab pertanyaan semacam itu sebab teknisnya karena ketiadaan draft yang otentik, kekosongan instrumen organiknya, serta terbatasnya sumber primer kecuali saripati power point yang disuguhi di media sosial oleh satu dua pejabat terkait. Dengan epistemologi seadanya, ditambah policy brief kawan-kawan UGM, draft RUU OLCK setebal 905 halaman, serta menyimak dialektika diberbagai kanal, penting untuk mendiskusikan kembali nasib politik otonomi daerah dimasa kini dan akan datang. Dengan begitu seluruh niat baik pemerintah dapat ditangkap sebagai satu peluang, bukan sekedar sikap reaktif yang minim refleksi, atau perilaku narsis sejumlah orang ketimbang perasaan peduli pada masalah-masalah kebangsaan.
Secara umum mesti diakui bahwa politik otonomi dalam kerangka omnibus law mengalami relaksasi. Kendatipun kritik sejumlah pakar bahwa gejala resentralisasi terbentuk secara sistemik dalam beleid itu, namun dalam cara pandang sebaliknya penting pula untuk direnungkan, misalnya, sejauh manakah implementasi otonomi daerah memberi dampak positif dibanding janji kemakmuran yang ditawarkan rezim pemerintahan daerah itu dalam 20 tahun terakhir. Sisi baiknya, tujuan otonomi daerah dalam konteks politik dapat dinikmati lewat tenda-tenda kerumunan pilkada, tapi tidak dalam kecepatan administrasi ketika bersentuhan dengan investasi. Ini soalan pokok, sekaligus kritik atas gagalnya capaian otonomi dibidang administrasi yang penuh jala, perangkap dan melelahkan di hulu sampai ke hilir.
Atas kemacetan yang tidak saja membuang banyak sumber daya dan energi akibat bertumpuknya regulasi yang mesti dilangkahi, dapat dipahami mengapa spirit omnibus law dengan sengaja melucuti kebiasaan menciptakan antrian panjang kedalam kendali pusat selaku sentral penanggungjawab akhir pelayanan pemerintahan. Omnibus Law mengoreksi itu, sembari mengambil peran lebih pada kepadatan route yang selama ini menciptakan frustasi dan lemah jiwa, hingga mendorong ide pintas lewat jalan tikus. Eksesnya tak ada layanan sunyi suap, dan dengan sendirinya menyuburkan praktek korupsi di pusat-pusat layanan birokrasi yang berhubungan dengan investasi. Kondisi ini jelas tak dapat ditoleransi bagi sebuah negara yang selalu berada dirangking terbawah dalam kemudahan berusaha di dunia (easy of doing business).
Politik otonomi pada dasarnya bermaksud membuka peran masyarakat kedalam proses pengambilan keputusan agar setiap problem yang dihadapi ditingkat lokal diselesaikan tidak saja murah, mudah, juga lekas. Bila cita baik itu justru menjadi malpraktek, ada baiknya elite lokal mesti mengoreksi kembali dimana letak kekeliruan atas semua regulasi yang diproduk selama ini. Jika semua indikasi investasi di daerah tak juga menunjukkan efisiensi kecuali diskriminasi, maka resentralisasi sekalipun dikritik dalam omnibus law, pada satu sisi dapat dimaknai sebagai antitesa dari penantian panjang terhadap semua aturan yang tak kunjung membebaskan, kecuali penyanderaan kepentingan orang banyak.
Gerak kekuasaan yang mengalami sentrifugalistik lewat omnibus law dengan sendirinya akan mengubah posisi rezim pemerintahan daerah tidak lagi sebagai penjuru (corner) bagi undang-undang sektor, tapi lebih sebagai followers ketimbang guiden di daerah. Dalam masa transisi kedepan, setidaknya usai penyelesaian 35 peraturan pemerintah, 5 perpres dan ratusan permen, Pemda mesti disibukkan melakukan evaluasi terhadap ribuan Perda agar tunduk dan beradaptasi dengan semangat omnibus law. Konkritnya, Pemda mesti melakukan sejumlah revisi, penyesuaian hingga perubahan status atas sejumlah regulasi yang dinilai menjadi duri dalam daging.
Suka atau tidak, dengan semua konsekuensi itu nasib politik otonomi di Indonesia tak lebih dari hiruk-pikuk pilkada, bukan administrasi birokrasi yang mandek dan kembali ke tangan pusat. Bila satu-satunya muatan desentralisasi yang tak ikut membonceng dalam bus besar inipun gagal melahirkan kepemimpinan yang akseptabel dan legitimate, dapat dibayangkan bahwa politik otonomi daerah persis deskripsi dimasa rezim 5/74 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Bunyi dalam teks, namun sepanjang sejarah implementasinya tak pernah nyata dalam konteks, kecuali pilot project pada sejumlah pemerintah lokal yang dinilai mampu berotonomi, itupun sebatas urusan administrasi belaka.
Komentar
Posting Komentar