Carlos, Tuhan & Kesetiakawanan Sosial

Oleh. Muhadam Labolo

Diceritakan oleh Muhajirin dalam The Dancing Leader (2012), Carlos, seorang petani miskin di sebuah desa, Philipina. Ia tak berdaya menghadapi realitas hidup yang memiskinkan. Satu-satunya yang tersisa dibenaknya hanya Tuhan. Carlos hanya memiliki sebidang tanah tak terlalu luas. Hasil pertanian yang tak memadai setiap tahun membuat Ia mesti berhutang membiayai hidup keluarganya.  

Pendek cerita, Carlos terlilit hutang sebesar 100 peso dengan seorang rentenir didesanya. Ditambah dengan bunganya, hutang Carlos total menjadi 150 peso. Sang rentenir mengancam Carlos akan mengambil alih lahannya apabila Carlos tak dapat melunasi utang-utangnya. Ia sangat kebingungan bila lahannya disita rentenir. Musnah sudah semua harapannya, sebab tak ada lagi lahan yang dapat menjadi penopang kehidupan keluarganya.

Carlos telah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya, namun semua usaha itu sia-sia belaka. Maklum, warga desa pada dasarnya hidup tak jauh berbeda dari Carlos, miskin dan lemah secara ekonomi. Namun, di tengah kegelisahan itu Carlos ingat Tuhan. Carlos berpikir, mengapa Ia tak minta pertolongan saja kepada Tuhan.  Bukankah ia Maha Penolong terhadap siapapun yang meminta kepada-Nya?  

Demikianlah pikiran Carlos yang polos di suatu malam. Tapi bagaimana caranya agar Tuhan cepat mendengar dan mengabulkan permintaanku? Carlos kembali bingung. Akhirnya, setelah lama merenung, setitik ide cemerlang muncul dalam benak Carlos. Ia rupanya berkehendak mengirim surat kepada Tuhan. Ia kemudian menulis surat sebagai berikut; 

Kepada, Tuhan Yang Maha Pengasih di Tempat.  Wahai Tuhan,.....Aku Carlos, hamba-Mu yang sedang di dera kesusahan akibat hutang pada rentenir sebesar 150 peso.  Bila aku tak segera melunasi hutang tersebut, kehidupan keluargaku akan hancur akibat tak ada lagi lahan untuk mencari nafkah.  Karena itu, aku mohon kirimkanlah aku uang 150 peso ya Tuhan, bukankah Engkau Maha menolong hamba-Mu yang sedang kesusahan. Hormatku, Carlos.

Singkat kata, Carlos pun mengirimkan surat tersebut lewat kantor pos. Dia tak mencantumkan alamat apa pun selain kata-kata Kepada Tuhanku di Tempat. Dia berpikir bahwa orang Kantor Pos pasti lebih tau dimana alamat Tuhan. Tentu saja dia yakin tak mungkin akan kesasar sebagaimana surat Ayu Ting-Ting yang jatuh ke alamat palsu. Para petugas Kantor Pos pun heran bercampur geli melihat sampul surat Carlos.  

Akhirnya karena penasaran mereka pun membukanya dan membaca isi surat tersebut. Mereka menjadi terharu ketika membaca isi surat Carlos. Karena merasa iba, para petugas Kantor Pos itu memutuskan untuk membantu kesulitan Carlos. Mereka pun patungan  dan terkumpullah uang sebanyak 200 peso. Kemudian uang tersebut mereka masukkan kedalam amplop dan dikirimkan ke alamat Carlos. Tak lupa didalamnya mereka sisipkan secarik kertas dengan tulisan, Dari Tuhan, untuk Carlos yang sedang dalam kesulitan.

Carlos tentu saja senang bukan kepalang karena merasa doanya dikabulkan Tuhan. Namun beberapa hari kemudian datang lagi surat dari Carlos yang bunyinya begini, Kepada Tuhan yang Maha Pengasih di Tempat, Wahai Tuhan, terima kasih atas kiriman uangnya sebesar 200 peso.  Tapi, seingatku, aku hanya meminta 150 peso. Ini aku kembalikan sisa yang 50 peso karena aku belum membutuhkannya.

Para petugas Kantor Pos saling tersenyum kagum melihat kejujuran Carlos, sebab jarang ditemui orang jujur seperti dia di dunia ini. Makna cerita ini menggugah kesadaran kita tentang kesetiakawanan sosial sebagaimana dilakukan para petugas Kantor Pos. Kesetiakawanan sosial sebagai bagian dari solidaritas sosial merupakan karakteristik individu yang terserap dari sifat-sifat Tuhan.  

Para petugas Kantor Pos tadi sebenarnya telah merefleksikan fungsi Tuhan tanpa harus menjadi Tuhan yang sesungguhnya. Tuhan telah hadir dalam perilaku solidaritas sosial untuk mereka yang percaya dengan segenap kemurnian jiwanya. Sekiranya para petugas Kantor Pos tadi adalah pemerintah dan Carlos mewakili rakyat di sudut-sudut kota yang terlilit masalah apa saja, tentulah akan tercipta sebuah trust yang sungguh-sungguh dapat mengikat keduanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian