Menyikapi Konsekuensi PP 57 Tahun 2022
Oleh. Muhadam Labolo
Pertama, sejak awal basic historis pendidikan IPDN itu pemerintahan terapan (pengaruh Eropa Kontinental, Jerman, Perancis, Belanda, lihat Sutoro, 2019). Sampai di Indonesia jadilah profilenya birokrat khas, Pangrehpraja yang kemudian bertranformasi menjadi Pamongpraja oleh Soekarno (1956). Jadi sebetulnya jualan IPDN itu sejak OSVIA, MOSVIA, KDC, APDN, STPDN hingga IPDN itu pemerintahan terapan/vocasi sebagaimana program D3 awal hingga D4 selama ini. Sedangkan profesi dan pasca sarjana saat ini hanya komplemen yang baru dikembangkan sejak 7-15 tahun lalu. Tugas utama IPDN adalah menyelenggarakan pendidikan vokasi dengan basis rekrutmen freshman. Dulu ada juga beberapa mahasiswa tugas belajar tapi bukan profesi seperti sekarang ini.
Bila kita cermati beberapa pasal dalam PP ini, mungkin mirip kasus angkatan 1 sd 5 STPDN. Input awal freshman (non ASN/masyarakat umum/SMU) dan ASN (beberapa tugas belajar/ASN). Sebab itu ada praja yang freshman dan ada yang khusus tugas belajar. Yang freshman, proses CPNSnya di tingkat 2. Bila kembali ke konteks itu, sebetulnya PP tersebut tak masalah. Tinggal kita bicara model wadahnya, proses bisnisnya bagaimana, dan implikasi penganggarannya seperti apa. Misalnya bebannya di sharing lewat APBD atau bagaimana. Dulu ada Dana Penunjang Pendidikan. Kelemahannya menagih ke daerah yang susah. Pengalaman angkatan 14 sd 18 STPDN, tunggakan daerah ratusan milyar tak selesai. Tapi itu bukan soal, teknis saja.
Kedua, ada baiknya kalau dihadapkan pada opsi terbatas, maka yang perlu dirawat adalah program vokasi (D4), bukan program lain, sebab program lain selama ini menjadi beban lewat target PNBP, juga menciptakan banyak persoalan internal dalam hal akreditasi. Daripada mengorbankan yang suplemen lebih baik yang komplemen. Jika dapat dirawat semua tentu bagus, karena memperjuangkan program lain seperti pasca sarjana itu butuh perjuangan panjang dengan Dikti.
Ketiga, sebetulnya dikotomi alumni dan non alumni yang menjadi pemantik dibalik semua itu lazim di hampir semua perguruan tinggi, apalagi bila boarding school. Untuk kasus ini mungkin perlu di evaluasi distribusi alumni selama ini. Misalnya, apakah distribusi alumni ke semua departemen sudah tepat? Apakah tidak kontraproduktif dengan visi dan misi Kemendagri soal untuk apa sekolah itu di desain? Distribusi ke pusat terjadi sejak angkatan 19-28 (pasca kasus Clift Muntu). Ada baiknya semua lulusan kembali ke daerah, nanti berkembang sesuai seleksi ke pusat sebagaimana praktek APDN dulu. Sekarang alumni sudah banyak dihampir semua departemen, jadi tak perlu kuatir, semua bisa saling merekrut.
Keempat, Bila maksud PP tersebut ke arah memperkuat profesi dan agar transformasi berjalan efektif, pilihan kita menyiapkan IPDN Regional untuk profesi. Semua vokasi (D4) ada baiknya diintegrasikan ke pusat pendidikan di Jatinangor. Ini akan mengurangi beban APBN yang mencapai 650 M/tahun dimana 60% kurang lebih habis di regional. Hasilnya, standarnya jadi berbeda-beda. Profesi akan lebih dekat dengan konteks masalah lokal dan dapat di support daerah (APBD).
Kelima, sekali kali, sejauh ini market kita freshman (SMU), lewat pendidikan vocasi (D3/D4), bukan ASN yang telah jadi. Dulu ASN tugas belajar biasanya masuk di level akademik selama 2 tahun seperti kasus IIP. Akpol lanjut ke PTIK, Akmil ke Unhan. IPDN malah menghapus IIP. Itu satu kesalahan. Profesi yang sekarang ini muncul 7 tahun lalu dengan anggapan bahwa kita bisa mengembangkan pendidikan diklat jangka pendek yang sebelumnya dilakukan BPSDM. Ini dipicu oleh pendidikan Pamongpraja dianggap sebagai profesi setelah tak bunyi dalam UU Pemda sebagaimana 5/74 (Pamongpraja). Baru bunyi lagi di UU 23/2014 sebagaimana kasus Akpol dan Akmil yang bunyi dalam UU Keamanan dan Pertahanan.
Pergeseran paradigma sistem pemerintahan sentralistik ke desentralistik juga mempengaruhi visi dan misi pendidikan tinggi kepamongprajaan. Salah satu implikasinya kita tak dapat mengatur alumni di daerah agar jangan jadi Kadis Kehutanan, Kadis Kesehatan, Kadis Perikanan, ajudan, Kepala Damkar dll. Wewenang alokasi di daerah praktis ada di tangan kepala daerah otonom. Tidak sama seperti Akmil dan Akpol yang secara dekonsentratif dapat ditentukan kariernya dari pusat.
Keenam, waktu Mentri Menpan Pak Yudi, beliau minta IPDN lakukan spesialisasi, makanya muncul prodi yang macam2 di semua fakultas (selain juga tuntutan dikti). Prodi itulah yang membedakan dengan prodi lain diberbagai perguruan tinggi. Contohnya Prodi Perpolisian Pamongpraja atau Prodi Politik Indonesia Terapan. Ketujuh, Disadari pula bahwa spesialisasi yang terlalu teknis itu justru mendegradasi kekhasan IPDN yang sifatnya generalist-spesialist, specialist-generalist. Kalau kita terlalu spesialist, lalu apa bedanya prodi keuangan kita dengan jurusan akuntansi di STAN dll. Itulah mengapa aspek generalistnya kita tetap pertahankan sehingga alumninya bisa mengisi semua sektor karena keumumannya itu.
Saya beri contoh, seorang sais mengenderai 7 ekor kuda. Saisnya adalah pengarah (bestuur, steer, cybern, govern). Kudanya adalah dinas2 (diensten). Kuda2 itu dinas pertanian, kesehatan, pertanian, pendidikan dll. Nah, yang kendalikan agar gerak mereka tidak mengalami spesialisasi yang berlebihan (gerak sentrifugalistik), perlu director, yaitu pemimpin pemerintahan, itulah Pamong lulusan IPDN. Disini soal pendidikan leadership (sekolah kepemimpinan pemerintahan).
Kalau dibuat piramidal, lulusan IPDN itu hanya mengisi di bagian sentrum batang bagian tengah. Justru lulusan fisipol dll itulah yang mengisi bagian luar yang banyak itu. Jadi tidak perlu kuatir, apalagi jatah rekrutmen IPDN setiap tahun hanya sedikit, tidak mewakili 514 kab/kota dan 38 provinsi. Daerah selalu merasa kurang walau quotanya ditambah seperti kasus Papua. Kedelapan, sebaiknya rekrutmen kader tak perlu banyak. Cukup 500 saja pertahun agar kecemburuan dan problem dikotomi IPDN/non IPDN oleh PT lain dapat dikurangi. Namanya juga kader (cadera, kursi, Portugis), yang akan duduk di kursi utama sebagai pamong elit jumlah sedikit (elit, etalase), bukan seperti sekarang mencapai ribuan orang.
Waktu Napoleon Bonaparte rekrut perwira juga sedikit, stoknya di ambil dari masyarakat umum (freshman) sekolahkan di Akademi Militer karena habis stok dari kalangan bangsawan. Dulu yang jadi perwira hanya bangsawan. Sama dengan sekolah Pamong, dulu yang masuk jadi BB dan IB (Binlanden Bestuur & Inlanden Bestuur) hanya orang asing dan pribumi bangsawan (Andi, Raden, Umbu, La Ode, I Gede dll, lihat misalnya daftar nama alumni pertama IIP). Jaman berubah, semua masyarakat berhak jadi Pamong.
Kesembilan, opsi lain. Semua PT Kedinasan diberbagai departemen (kecuali Akpol dan Akmil) dilebur ke IPDN selama 2-3 tahun, lalu lanjut spesialisasinya ke masing-masing departemen. Ini selain meningkatkan esprit de corps (tidak terkotak-kotak) pada semua ASN kedinasan, juga memperkuat aspek kognisi dan afeksinya (pengetahuan pemerintahan umum dan membentuk mentalitasnya). Sedangkan aspek psikomotoriknya (keterampilannya) nanti oleh departemen masing-masing sesuai kebutuhan dan porsinya. Ide ini bahkan pernah muncul di kepala Rudini sebelum selesai Mendagri.
Mungkin perlu direnungkan pula,
Pertama, tidakkah kompetisi dilapangan antara alumni IPDN vs non IPDN membuktikan bahwa alumni lebih unggul secara kualitatif dibanding nilai kuantitatif dikti yang selama ini hanya beri nilai B? Lihat kompetisi job fit pada semua departemen dan pemda sekarang ini, dua dari lima rata-rata dari alumni. Kedua, mengapa yang dicemaskan hanya alumni IPDN? Mengapa bukan alumni lain misalnya yang saat ini masuk ke semua departemen hingga menjadi Negara Kepolisian Republik Indonesia, dibanding menguatirkan alumni IPDN yang notabene adalah birokrat sipil juga.
Ketiga, tantangan terbesar IPDN sesungguhnya bukan non alumni, justru alumni UI, UGM, IPB, ITB, Unhas dll adalah partner terbaik yang akan membesarkan. Bukankah tanpa kompetitor para pembaharu tak akan populer. Para nabi selalu hidup dengan aktor antagonisnya masing-masing. IPDN dan alumni lain adalah produk negara untuk bangunan Indonesia yang lebih kuat. Bila demikian, siapa penantang terbesar IPDN? Ya alumninya sendiri, senior, kawan seangkatan, dan yuniornya. Itu kompetitor terberat dalam 5-10 tahun kedepan sebagaimana kata Bung Karno, tugas mengusir penjajah jauh lebih mudah daripada menghadapi bangsamu sendiri. Jangan heran bila konflik internal alumni jauh lebih tajam dibanding eksternal alumni. Itu problem yang sama di semua alumni perguruan tinggi. Lihat misalnya kasus di Jakarta, Bekasi atau sebuah kota di Sumut, seorang alumni terpilih jadi walikota, malah mensterilkan semua alumninya dari posisi birokrasi.
Jangan lupa dalam relasi dengan perguruan tinggi lain, IPDN hasil dari gagasan masa lalu yang tak kosong. Secara historis IIP adalah produk UGM. Makanya dosen pengajar dan penguji dulu mayoritas dari UGM seperti Prof. Ichlasul Amal, Prof. Affan Gaffar, Prof. Riswanda, Yosep Rihu Kaho, dll. Sebenarnya asimilasi IPDN dengan perguruan tinggi lain telah terjadi sejak lama. Ini bukti bahwa IPDN bukan sekolah eklusive sebagaimana kecurigaan sebagian orang. Silahkan periksa Kepmendagri 29/1986, terdapat kurang lebih 12 perguruan tinggi pembina IPDN dalam penyesuaian S1 setelah lulus D3/D4 (1986-2001). Misalnya sebagian kecil lanjut ke IIP, sisa yang banyak didistribusi ke UGM, UI, Unhas, Undip, USU, Unsrat, Unbraw, Unsyiah, Unlam, Uncen, LAN, dll. Makanya sebagian besar alumni APDN dan STPDN luaran S1nya berijazah perguruan tinggi yang di tunjuk kemendagri.
Ada baiknya kepmendagri itu diperbaharui ke level S2. Jadi alumni IPDN sekarang jangan hanya berkompetisi keluar negeri lewat Program LPDP, tapi juga berkompetisi ke perguruan tinggi domestik lewat bea siswa dalam negeri. Strategi ini dapat mengurangi dikotomi alumni vs non alumni oleh sebab asimilasi pendidikan seperti itu dapat menciptakan pembauran. Terakhir, sebaiknya tafsir atas beberapa pasal dalam PP ini perlu diselaraskan dengan pandangan Kemenpan dan Kemendikti agar kecurigaan kita tak berlebihan hingga menimbulkan masalah baru. Dengan begitu proses transisi dan transformasi yang diinginkan dapat berjalan dengan baik.
Komentar
Posting Komentar