Mekanisme Pemilu Legislatif

Oleh. Muhadam Labolo

Kini, kebingungan kita menghadapi pemilu 2024 berhadapan kembali dengan soal mekanisme. Khususnya mekanisme memilih anggota legislatif, apakah tetap proporsional terbuka atau kembali ke proporsional tertutup. Dua mekanisme lain yaitu pemilihan pasangan presiden dan kepala daerah gaungnya tak sekeras pileg, walau sebenarnya keduanya jauh lebih sexy.

Bila alasannya soal efisiensi dan efektivitas, tentu kedua mekanisme itulah yang patut dipikirkan kembali. Memang akan berat dan berliku, memaksa parlemen mesti mengubah konstitusi pasal 6A ayat (1), dimana presiden dan wapres dipilih langsung. Mungkin yang lebih mudah  menerjemahkan kembali pasal 18 ayat (4) dimana pasangan kepala daerah cukup dipilih secara demokratis.

Masalah umumnya, apakah alasan pragmatis dan etis perubahan mekanisme pileg dalam kontestasi pemilu kali ini? Tentu semua paham bahwa apapun pilihan mekanismenya, proporsional terbuka atau tertutup punya kelebihan dan kelemahan. Bagi kita, yang perlu ditelusuri adalah apakah masalah yang dihadapi dalam sekian kali pileg sehingga perlu mempertimbangkan kembali mekanisme proporsional tertutup.

Jika boleh ditebak, salah satu problem utama partai adalah gagalnya kaderisasi partai (Gun Gun, 2018). Realitas menunjukkan bahwa kader-kader terbaik partai tak mulus melenggang ke Senayan. Mayoritas bertumbangan melawan popularitas artis, tokoh agama, tokoh masyarakat, mantan birokrat militer & sipil, serta kelompok pengusaha. Para kader gigit jari, mereka merasa membangun partai tapi tak dapat apa-apa.

Fakta itu dengan sendirinya menjadi bukti bahwa mekanisme proporsional terbuka menyediakan pilihan inklusif bagi masyarakat. Jadi, sehebat-hebatnya kader partai dengan segudang pengalaman dan senioritasnya, pada akhirnya kalah telak oleh popularitas dan kemampuan kapital kader di luar partai. Disitu kelebihan mekanisme proporsional terbuka.

Dengan pengalaman itu, partai mulai melirik aset di luar organisasi. Mereka berebut tokoh media darling yang dapat dilabeli atribut guna mendongkrak popularitas partai. Kelak akan dijadikan semacam petugas partai seperti kasus Jokowi. Jangan heran tokoh-tokoh seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, maupun Ganjar Pranowo yang tak sepenuhnya dianggap kader tulen menjadi rebutan hari-hari ini.

Kegagalan kaderisasi itu jelas adanya di mekanisme. Proporsional terbuka tak menjanjikan elektabilitas kader partai meski di posisi teratas. Andai mekanismenya tertutup, hanya kader terbaik dengan urutan topi yang akan melenggang ke Senayan, bukan artis, mantan birokrat maupun pengusaha yang mengandalkan citra dan uang. Disini bisa dimengerti mengapa partai penguasa yang relatif solid menginginkan perubahan mekanisme.

Mekanisme proporsional terbuka sejauh ini hanya menjadikan partai tak lebih sebagai event organizer. Partai sebatas menyodorkan menu, rakyat yang memilih, entah sukarela maupun dimobilisasi. Malangnya, mereka yang telah melalui proses kaderisasi partai justru tak punya masa depan melawan kekejaman mesin mekanisme proporsional terbuka.

Mekanisme itu jelas mengandung dilema. Di satu sisi partai butuh kader terpercaya untuk mewakili dirinya di Senayan, namun disisi lain hak memilih berada di tangan rakyat. Disini performa partai dipertaruhkan dihadapan pemilih. Faktanya, meski menu yang ditawarkan relatif berkualitas dengan packaging tertutup, tetap saja masih kalah menarik dibanding menu yang relatif instant, terbuka serta variatif. Bila itu alasan pragmatisnya, tentu pilihan tertutup lebih mungkin dibanding proporsi terbuka yang secara etis lebih dekat pada rakyat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian