Mengejar Substansi Demokrasi
Oleh. Muhadam Labolo
Barangkali patut kita renungkan, sejauh manakah substansi demokrasi dicapai dalam realitas bernegara pasca reformasi. Pertanyaan ini rasanya penting baik dari aspek kualitas maupun kuantitasnya. Bila tujuan demokrasi itu pada akhirnya adalah kesejahteraan, apakah kita sebagai warga menikmatinya? Dalam nilai kualitatifnya misalnya, apakah kita benar-benar merasakan satu nilai penting seperti accountability kata PM Malaysia, Dato' Anwar Ibrahim (2022).
Dalam nilai kuantitatifnya, apakah realitas masyarakat menikmati sandang, pangan dan papan sekurang-kurangnya pada taraf minimal. Mungkinkah kesejahteraan bisa diperoleh lewat perangkat lain semacam sistem otoriter dan totaliter? Dengan melihat pengalaman dan fakta diberbagai negara, jawabannya relatif. Meski ada, faktanya lebih 80% negara di dunia menggunakan perangkat demokrasi sebagai cara bernegara untuk mencapai kesejahteraan (Deni, 2022).
Sebagai alat mencapai tujuan, demokrasi lazim dilihat sebagai prosedur dan substansi. Dalam kenyataan kita lebih sibuk menata prosedur ketimbang meraih substansi. Sebagai prosedur, pemerintah menyiapkan sistem dan mekanisme yang memungkinkan terbukanya partisipasi dan sirkulasi kepemimpinan berjalan secara periodik (Schumpeter, 2018). Artinya, prosedur memungkinkan semua stakeholders dalam demokrasi terlibat aktif didalamnya. Tanpa itu demokrasi dinilai cacat prosedur.
Dalam kerumitan prosedur itu, Russell bahkan pesimis. Baginya, demokrasi hanyalah proses memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan. Tapi mungkin tak semua sependapat. Faktanya sekalipun Putin secara individual adalah sosok otoriter, namun Ia tetap optimis. Katanya, sejarah membuktikan bahwa semua bentuk pemerintahan diktator dan otoriter hanyalah sementara, hanya demokrasi yang tak sementara. Apapun kekurangannya, belum ada sistem yang lebih unggul dari demokrasi.
Apesnya, demokrasi sejak mula tak di desain efisien, walau bukan berarti tak bisa disimplifikasi. Beberapa yang nekat terpaksa gulung tikar hanya karena ongkos prosedur demokrasi sedemikian tinggi. Uni Soviet gagal melakukan transisi karena kehabisan energi. Ia runtuh bahkan tanpa dijejali aksi demonstrasi. Pilihan etisnya mestikah kita membiarkan perut lapar dibanding prosedur yang ribet dan panjang dalam sistem demokrasi.
Banyak negara tak sadar bahwa menyusun perangkat prosedur dalam sistem demokrasi sangat mahal. Demokrasi bukan tools sederhana, tapi instrumen canggih yang mampu menahan tekanan gelombang dari ragam kepentingan. Sebab itu banyak negara mencoba menyederhanakan prosedur demi mengejar substansi demokrasi yang lebih utama.
Prosedur demokrasi harus mampu menjamin partisipasi warga dimanapun. Karenanya, biaya menyiapkan aturan main hingga proses pelaksanaan memakan waktu yang panjang serta biaya unlimited. Situasi itu jelas mencermaskan di tengah ancaman resesi dan sedikitnya pemimpin capable terproduksi dari prosedur demokrasi. Kegagalan menyiapkan prosedur tak hanya batal merekrut pemimpin, juga berpotensi mencipta distrust. Taruhannya instabilitas politik, ekonomi dan sosial. Ada banyak contoh dimana negara gagal menyiapkan prosedur hingga menunda pesta demokrasi.
Agar tak menghadapi masalah seruwet itu, prosedur demokrasi di banyak negara seperti Amerika di desain lewat mekanisme representatif, electoral college. Pemilihan walikota misalnya, cukup distandarisasi lalu dipilih warga lewat wakilnya di parlemen lokal. Semua mekanisme itu bertujuan mengefisienkan dan mengefektifkan demokrasi. Dengan begitu prosedur demokrasi berkontribusi kuat bagi jembatan yang memungkinkan diraihnya substansi.
Substansi demokrasi tak hanya berkenaan dengan aspek politik, juga alam pikir ekonomi dan sosial budaya. Asumsinya, jika keadaan ekonomi dan sosial suatu negara baik, otomatis akan diikuti pula kemajuan politik. Ini berarti pula kemajuan substansi demokrasi. Disini persoalan pokoknya, ketika prosedur demokrasi mengalami high cost, maka substansi demokrasi terpaksa terkorbankan.
Sejak 1970an banyak negara di Asia dan Afrika sukses melaksanakan pemilu meski dengan prosedur yang ribet. Malangnya realitas rakyatnya tetap miskin dan tertinggal. Di Indonesia, alokasi penyiapan prosedur demokrasi setiap periodik menyedot hampir sepertiga nilai APBN dengan total kurang dari 77 triliun (KPU, 2022). Angka itu tentu tak berbanding lurus bila dibanding dengan raihan substansi demokrasi.
Survei sejumlah lembaga seperti EUI, IDEA, dan Freedom House menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kategori demokrasi gagal (flawed democracy). Satu-satunya variabel yang cukup menggembirakan adalah nilai partisipasi politik di pemilu terakhir (2019). Itu dibuktikan dengan tingkat partisipasi politik yang mencapai 81% (KPU, 2019). Selain itu hasil Indeks Demokrasi Indonesia relatif baik diantara skala 5 sd 10.
Substansi demokrasi yang kita sebut tujuan akhir demokrasi (kesejahteraan), minimal dapat di ukur dari kualitas pendidikan, kesehatan dan pendapatan suatu negara. Kualitas pendidikan Indonesia berada di peringkat 54 dari 78 negara (US News, 2022). Indeks Ketahanan Kesehatan Global berada di peringkat 13 di negara G21, serta peringkat 4 di ASEAN (databoks, 2019).
Pada variabel pendapatan, Indonesia termasuk 73 negara termiskin di dunia menurut WPR (2022). Variabel ini jelas tak menggembirakan dari tujuan substansi demokrasi. Jika ditelisik lebih jauh lewat parameter indeks kemiskinan domestik, angka penurunan tak siginifikan di angka 9,54% (BPS, 2022). Target itu tentu belum menggembirakan di tengah biaya prosedur yang relatif terus bertambah.
tulisan yang sangat membantu pak, terimakasih.
BalasHapusTrima kasih
Hapus