Eksistensi Kebenaran Alternatif
Oleh. Muhadam Labolo
Kini, kebenaran faktual seakan menjadi satu-satunya kebenaran akhir. Sains dan modernitas menjadikan kebenaran faktual sebagai penanda relatif. Tanpa fakta, semua gejala yang diyakinkan ke muka kita hanya omong kosong dan fatamorgana. Sesuatu yang tampak dari kejauhan menjanjikan, namun nihil saat di sentuh-genggam. Tanpa fakta semua pernyataan dan dielektika bisa beraneka konsekuensi. Pendek kata, setiap kebenaran di tuntut disertai fakta. Tanpanya bukan kebenaran.
Fakta adalah jenis kebenaran penting bagi manusia. Politik tanpa fakta tentu menyesatkan. Pengadilan minus fakta tak lebih dari sandiwara. Sains nirfakta tak ubahnya gosip yang membahayakan. Bahkan media tuna fakta hanyalah projek propaganda hoax yang membingungkan jagad raya. Karenanya, sejak lama fakta di percaya sebagai kebenaran sekaligus prestasi modernitas (Hardiman, 2023). Tapi adakah kebenaran di luar kebenaran faktual yang mesti diterima kini dan akan datang?
Bila kebenaran faktual menjadi satu-satunya ukuran manusia modern, tentu saja masa depan mitos, filsafat dan agama berada di tebing jurang. Padahal untuk mengendalikan hujan di sebuah event mobil balap dunia kita masih butuh pawang hujan. Bukankah untuk memahami hakekat terdalam setiap peristiwa manusia masih butuh pencarian kebenaran lewat pemikiran filsafat. Dan, tidakkah untuk menekan ambisi dan kerakusan manusia kita masih perlu pengetahuan spiritualitas yang hingga abad ini tetap eksis.
Kebenaran faktual hanya diterima sejauh dapat diepistemologisasi. Malangnya mitos, filsafat dan agama umumnya dipahami sebagai abstraksi pengetahuan tanpa fakta. Kendati di terima, sebagian kecil karena berhasil dirasionalisasi lewat metodologi ilmiah. Sisanya dibiarkan sebagai realitas untuk tak mengatakan di tolak sebagai pengetahuan tanpa fakta. Ekses terburuk dari hal ini sejarah dan kebudayaan manusia kehilangan gengsi untuk di pandang sebagai kebenaran alternatif.
Sebenarnya, kebenaran faktual secara historis bukanlah kebenaran satu-satunya. Ia hanya kebenaran relatif yang menjadi konsensus manusia. Kebenaran faktual selalu berubah sesuai dinamika dan cakrawala dunia (world vieuw). Ketika Aristoteles mengemukakan bumi adalah sentrum bagi lintasan planet, tak berapa lama tesis itu gugur oleh Galileo lewat kebenaran faktual bahwa matahari adalah sentral utama bagi rotasi planet. Fakta heliosentris itu pada akhirnya mengubur dalam-dalam gagasan geosentrisme.
Ketika Marx menyimpulkan agama telah dieksploitasi menjadi candu bagi masyarakat abangan di eropa, dibelahan timur agama justru menjadi sumber kebenaran bagi pemecahan berbagai masalah sosial dan kenegaraan. Disini tampak bahwa sains yang meletakkan kebenaran faktual jauh lebih rapuh dibanding kebenaran agama yang sejak lama di klaim sebagai kebenaran absolut. Ia tak jarang menjadi super absolut ketika berselingkuh dengan kebenaran kuasa. Demikian kritik Michael Foucalt terhadap kebenaran agama & politik.
Kebenaran lain di luar sains ternyata tak bisa di sangkal apalagi dikecualikan begitu saja. Faktanya di tengah kebangkitan modernitas China, pengetahuan Tao tetap diyakini sebagai kebenaran lain tanpa harus tunduk pada metodologi ilmiah. Pengetahuan Shinto diyakini Jepang sebagai kebenaran alternatif di tengah kemajuan ekonomi bangsanya. Bahkan pengetahuan agama monoteisme dan politeisme pun diyakini sebagai kebenaran absolut oleh pemeluknya. Pengetahuan dan keyakinan itu hadir sebagai hipotesis saat ini untuk bukti dimasa depan.
Para penganut di luar santist percaya bahwa kebenaran tak melulu mesti dilalui lewat relasi korespondensi (correspondence theory of truth). Bukankah indera manusia terbatas ketika berhadapan dengan objek yang maha luas. Terbatas oleh ruang, waktu, bahkan alat yang digunakan. Sementara kebenaran yang terbentuk oleh keyakinan masa lampau berdasarkan pengalaman subjektif berulang-ulang telah cukup menjadi sumber kebenaran alternatif selain kebenaran faktual (coherence theory of truth). Kuhn secara implisit menyebut kebenaran faktual sebagai konsensus yang selalu berubah berdasarkan paradigma.
Dengan semua kelemahan kebenaran faktual itu, manusia membutuhkan jawaban bagi kekosongan rasa, bukan semata mengisi keingintahuan akal yang menuntut pembuktian faktual. Dan pada akhirnya, kita sadar bahwa kebenaran alternatif seringkali menjadi pijakan ontologis sebelum sampai pada kesimpulan aksiologis terhadap tuntutan sains yang kita sebut kebenaran faktual. Bukankah produk sains lahir dan terilhami oleh gagasan kebenaran alternatif yang justru bersifat absolut dan inspiratif itu?
Komentar
Posting Komentar