Menyiapkan Kepemimpinan Pemerintahan
Oleh. Muhadam Labolo
Dua kandidat terbaik secara resmi diumumkan partai sebagai calon presiden Indonesia (2024-2029). Publik menunggu sisanya sebagai pelengkap kompetisi. Bisa jadi Anies, Ganjar, Prabowo dan lainnya. Episode terakhir tentu tinggal menanti calon wakil presiden, sekaligus menguntak-atik pasangan agar merepresentasikan kemajemukan identitas, idiologi maupun kultural.
Menyiapkan pemimpin bukan perkara gampang. Idealnya disiapkan sejak tumbuh hingga berkembang. Di negara monarchi pemimpin cukup ditunggui brojol dari rahim pendahulunya (was born). Legitimasinya bersifat tradisional. Di negara non monarchi pemimpin mesti dikembangkan (was created) lewat mekanisme partai politik. Legitimasinya dapat bersifat rasional maupun kharismatik.
Logikanya, semakin banyak partai semakin banyak stok kepemimpinan. Oleh sebab kekuasaan termasuk sumber daya langka, maka semakin ke puncak semakin padat kompetisinya. Berebut posisi kepala desa tentu tak seriuh meraih posisi presiden. Jumlah desa lebih banyak sehingga surplus sumber daya dibanding presiden dan wapres yang cuma satu-satunya dan karenanya terbatas.
Untuk menyiapkan pemimpin dalam pemerintahan setidaknya kita perlu menyiapkan sejumlah variabel. Variabel itu antara lain proses yang menjadikan seseorang menjadi pemimpin, kualitas pemimpin itu sendiri berdasarkan pengalaman dan pendidikannya, keberdayaan basis pendukungnya, visi yang diembannya, serta bagaimana visi di maksud dapat diterjemahkan secara detil menjadi kenyataan (Wirawan, 1999).
Pertama, proses kepemimpinan perlu disiapkan dari perencanaan yang matang. Dalam situasi normal sebaiknya pemimpin tak muncul ujuk-ujuk, perlu ditumbuhkan dengan baik. Setiap pemimpin melalui proses inkubasi dari partai maupun organisasi masyarakat. Soekarno, Biden, Nelson Mandela, Anwar Ibrahim tak tumbuh begitu saja, mereka lahir dan bahkan bergulat lewat seleksi alam maupun buatan. Seleksi alam lewat dinamika politik dalam masyarakat, seleksi buatan melalui dinamika dalam internal partai.
Untuk sampai ke puncak, proses kepemimpinan juga melalui sistem selection dan election yang difasilitasi negara. Di negara demokrasi, ongkosnya tak murah. Prosedur demokrasi tak jarang lebih mahal dibanding biaya mengejar substansi demokrasi. Di Indonesia, biaya pemilu tahun 2024 mencapai 76 triliun (KPU, 2023). Hasilnya belum tentu sepadan di lihat dari output demokrasi itu sendiri, seperti kualitas pendidikan, kesehatan dan pendapatan.
Kedua, kualitas kepemimpinan ditentukan oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dapat dinilai dari pengalaman interaksi sejauh ini. Pengetahuan menyangkut masalah pemerintahan serta bagaimana strategi menuntaskannya. Keterampilan berkaitan dengan keahlian manajerial menata pemerintahan. Sementara sikap berkenaan dengan role model yang tampak dari perilaku sarat nilai. Ketiganya terbangun dari pengalaman di lingkungan pemerintahan.
Ketiga, kemampuan membangun basis dukungan yang cerdas. Pengikut tak hanya dijadikan sumber dukungan lewat bangunan citra positif. Kaum followers, buzer, dan influenzer mesti diberdayakan agar tak berubah menjadi demagog yang eklusif, fanatis, militan, bebal dan anti kritik. Loyalitas buta seringkali tak mengokohkan sang pemimpin, tapi merusak citranya di dunia maya. Pengikut diberdayakan bukan hanya agar kreatif, juga agar tetap waras. Kita terus belajar dari transisi rezim ke rezim berikutnya.
Keempat, kemampuan memengaruhi basis dukungan dan sumber daya yang tersedia agar bergerak ke tujuan yang disepakati. Sedemikian besar sumber daya yang tersedia namun tak juga memberi kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Populasi yang besar tak mendukung kemajuan kolektif seperti China. Sumber daya di depan mata tak kunjung memberi keuntungan bagi rakyatnya, tapi diambil murah oleh negara lain. Kemiskinan, pengangguran, dan kebodohan masih menjadi hantu bagi bangsa ini.
Kelima, kemampuan para kandidat presiden membangun visi yang jelas. Dalam arti, ketertinggalan kita akan di tuntun kemana, menipisnya sumber daya ekonomi akibat korupsi sistemik harus dimulai dari mana, lenyapnya kedaulatan politik mesti bagaimana, atau keroposnya nilai integratif harus dirajut seperti apa. Semua penglihatan makro itu harus mampu diurai dengan terang-benderang hingga nyata dalam jangka panjang, menengah dan pendek.
Keenam, kemampuan menerjemahkan visi kedalam realitas senyatanya. Dalam hal ini pemimpin butuh kaum cerdik pandai dan teknokrat untuk mengolah visi kedalam sistem perencanaan. Tanpa itu, visi hanya janji manis tuna disain pembangunan terencana. Bahkan tanpa kemampuan mencairkan ide besar, mustahil program dan kegiatan dapat dinikmati rakyat. Ini tantangan kepemimpinan pemerintahan pada seluruh kandidat di hari-hari yang semakin hangat.
Komentar
Posting Komentar