Renungan Pasopati di HUT Kemerdekaan

Oleh. Muhadam Labolo


28 tahun lalu negara pernah melepas 808 putra-putri terbaik dari Manglayang. Negara menginvestasikan energinya agar ke 808 generasi pilihan itu melanjutkan cita kemerdekaan, melayani bangsa, memakmurkan negeri, dan memimpin masyarakat. Kini, dalam usia 78 tahun HUT Kemerdekaan kita perlu merenungkannya kembali.

Cita mulia dan luhur itu diingatkan lewat esensi pidato Soeharto saat Pengukuhan Pamongpraja Muda, 5 Agustus 1995, jadilah Pamong yang baik, jujur, dan mengabdi kepada rakyat. Dalam buku kenang-kenangan Ia menegaskan lebih awal sejak angkatan sebelumnya agar kita benar-benar memahami kemajemukan Indonesia sebagai realitas.

Realitas kemajemukan itu membutuhkan konsensus untuk hidup bersama secara nyaman dan wajar. Sebab di dalam wadah KeIndonesiaan itu tercerah beragam kepentingan yang saling menindih. Kepada kita, negara mengingatkan untuk lebih memahami dari sudut pandang ilmu dan praktek pemerintahan.

Di Manglayang, pengetahuan pemerintahan itu ditanamkan lewat tiga jalur utama. Kognisi memahamkan kita soal bagaimana kemajemukan tadi menjadi karunia Ilahi untuk dibersamai menjadi Indonesia yang bhinneka namun ika. Kesadaran itulah yang akan membuat kita hidup bersama lewat konsensus yang panjang, bukan hanya 78 tahun.

Psikomotorik kita di asah sedemikian rupa agar terampil menggunakan berbagai perangkat biasa hingga luar biasa. Realitas bangsa yang majemuk itu tentu saja tak sepenuhnya dapat diselesaikan lewat cara-cara biasa. Karenanya, kata Soeharto, kita butuh pendekatan khusus di tengah upaya umum selaku kader pemerintahan. Esensinya soal keadilan, dimana kita dituntut lebih kreatif di tempat tugas masing-masing.

Investasi terbesar dan berurat-akar di benak kita hingga kini adalah jalur afeksi. Negara dengan sedikit memaksa mempercepat perubahan karakter agar kita disiplin, loyal, dedikatif, jujur, serta bertanggungjawab pada tugas yang dibebankan. Cara sering kita persoalkan, walau di ujung pengabdian kita baru menyadari faedahnya. Kita menerima tanpa perlu menggugatnya, bahkan menyimpan rapi sebagai memori histori.

Kini, sebagaimana spirit Kennedy (1963), apa yang mesti diberikan setelah 28 tahun lalu negara menginvestasikan sumber dayanya untuk mendudukkan kita di lapangan pemerintahan? Tentu saja bukan sekedar materi yang kita tunaikan lewat pajak setiap bulan dan tahun. Tapi jauh dari itu adalah semangat kepatuhan bagi keberlangsungan masa depan negara.

Negara mungkin hanya imajinasi kata Benedict Anderson (1983), tapi personifikasinya adalah kita, sebagai pemerintah. Dengan semangat itu kita tunduk pada cita-cita untuk merealisasikan tujuan negara. Wujud konkritnya tak perlu jauh-jauh, cukup bersikap jujur, disiplin, dan bertanggungjawab melayani masyarakat seperti petuah Soeharto tempo hari, disamping praktek sederhana yang bisa langsung di comot dari Sartono, Djaffar dan Indrarto. Merekalah contoh Pancasila yang kini merdeka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian