Tertib Sipil vs Militer, Pelajaran Basarnas
Oleh. Muhadam Labolo
Permintaan maaf KPK soal kesalahan prosedur hukum bagi anggota militer pada kasus Basarnas di nilai publik membingungkan (news.detik.com, 28 Juli 2023). Apakah pejabat di hukum karena jabatannya, atau di hukum karena statusnya. Bila jabatan, perlu dicermati kewenangan Basarnas sebagai organ sipil pemerintah. Bila status, perlu diperiksa relevansinya agar tak berimplikasi terhadap organ militer.
Basarnas adalah salah satu lembaga pemerintah non kementerian yang berfungsi melaksanakan tugas pencarian dan pertolongan (Perpres 83/2016). Artinya, Basarnas adalah organ sipil yang memiliki kewenangan di bidang pencarian dan pertolongan bagi masyarakat. Basarnas bukan organ militer sekalipun pejabatnya umumnya di isi anggota militer. Mungkin identik dengan BNN yang di isi mayoritas anggota kepolisian (sipil).
Menurut hukum administrasi, setiap kewenangan melekat pada jabatan (het ambt). Maknanya tanpa jabatan tak bakal ada kewenangan. Jabatan adalah badan hukum publik yang menjadi sumber eksistensi kewenangan. Dalam memfungsikan kewenangan yang melekat padanya, jabatan diwakili manusia secara pribadi. Status itu lazim di sebut pejabat, atau pejabat pemerintahan (Laica Marzuki, 2000).
Badan adalah wujud dari badan pemerintahan dalam format kementrian, instansi atau jawatan yang dalam memfungsikan kewenangannya diwakili oleh pejabat (ambtsdrager), Dengan demikian hanya badan, pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara yang memiliki wewenang mengeluarkan keputusan, termasuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan secara konkrit-faktual.
Tindakan pejabat dengan status militer dalam konteks pejabat Basarnas tentu bukan tindakan sebagai pejabat militer, tapi sebagai pejabat pemerintah yang dalam hal ini Kabasarnas. Di era orde baru banyak anggota militer yang dikaryakan di jabatan sipil. Mereka tunduk dengan aturan organ sipil sampai dengan aktif kembali di militer. Mereka bahkan berpakaian sipil seperti lazim pegawai ASN.
Dalam kaitan itu, tindakan pejabat yang bersangkutan adalah tindakan konkrit seorang pejabat pemerintah sipil, bukan tindakan pejabat dalam status militer. Dengan demikian apabila terjadi penyimpangan kewenangan tidaklah tepat jika dinilai sebagai tindakan seorang pejabat militer. Faktanya, penyalahgunaan wewenang bersumber dari kewenangan yang melekat pada organ sipil, bukan tindakan aktif seseorang dalam status sebagai pejabat militer.
Kewenangan yang mungkin disalahgunakan itu pada dasarnya berasal dari jabatan yang disandang (Kabasarnas), bukan jabatan militer sekalipun statusnya dinilai pasif. Aktif manakala yang bersangkutan menjalankan kewajiban sehari-hari sebagai anggota militer. Tidak aktif (pasif) dalam hal yang bersangkutan sedang diperbantukan/dikaryakan pada jabatan sipil untuk waktu tertentu sebagaimana di atur dalam ketentuan. Disini ada istilah militer aktif dan dikaryakan.
Oleh sebab perbuatan hukum terjadi karena jabatan yang diemban melahirkan kewenangan bertindak konkrit yang menciptakan kerugian negara, sejogjanya seseorang dalam jabatan tersebut dimintai tanggungjawabnya sesuai kedudukan pada jabatan di maksud, tidak dalam status lain. Beda lagi jika seorang militer aktif seperti Panglima, Pangdam, Danrem, Dandim, atau Danramil melakukan penyalahgunaan wewenang yang menciptakan konsekuensi hukum. Ini ranah peradilan militer.
Dalam konteks di atas sumber kewenangan yang disalahgunakan melekat pada jabatan yang berasal dari organ militer secara hirarkhis. Dalam kasus Basarnas, sumber kewenangan melekat pada organ sipil yang melaksanakan fungsi pemerintahan. Sumber kewenangan keduanya berasal dari presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan (dual role). Konsekuensinya, penyelesaian pertama bermuara di peradilan militer dan yang terakhir di peradilan sipil.
Terlepas polemik prosedur penanganan kasus khas semacam itu, sebaiknya; pertama, perlunya kejelasan dalam hal perbuatan administrasi mereka yang berstatus militer ketika migrasi di jabatan sipil, apakah tetap masuk ranah peradilan militer atau sipil. Ini penting guna menjaga marwah pejabat, badan pemerintah dan penyelenggara negara lainnya. Hukum militer untuk perbuatan tentara, hukum sipil untuk masyarakat sipil.
Pertanyaan lebih jauh misalnya, apakah perangkat peradilan militer cukup adaptif menggunakan instrumen hukum sipil dalam hal mana perbuatan hukum tidak terjadi di ranah organ militer, tapi di luar itu. Dapatkah keadilan yang sama diperoleh setiap warga negara meskipun profesinya berbeda (militer dan sipil). Tentu saja pengecualian partikularistik dapat dimaklumi selain keadilan universal untuk kasus yang sama (korupsi).
Kedua, perlunya pembatasan anggota militer aktif (juga polisi) dalam organ birokrasi pemerintahan mengingat sumber daya aparatur sipil negara yang melimpah, mendorong profesionalisme, menghilangkan dwifungsi, serta mengurangi persoalan prosedur hukum semacam itu. Meluapnya tentara dan polisi ke organ birokrasi pemerintahan bukan saja mengubah pola pendekatan dalam pelayanan publik, namun mendistorsi profesionalisme militer, polisi, dan aparatur sipil negara itu sendiri. Ini perlu perubahan kebijakan.
Ketiga, perlunya sesegera mungkin menyepakati prosedur teknis agar substansi penyalahgunaan wewenang (tindak pidana korupsi) yang disangkakan dapat segera tertangani (Mahfud, 2023). Menimbang polemik yang berkepanjangan dapat menghilangkan konteks dan konten masalah sesungguhnya. Dengan mendorong ke arah itu, setidaknya kita terus berkomitmen mengurangi tindak pidana korupsi sebagai musuh bersama.
Komentar
Posting Komentar