Adik Saya, Firdaus Latuconsina
Oleh. Muhadam Labolo
Setahun bertugas di Palopo, saya kedatangan 4 purna 05. 3 asal Bali, 1 dari Maluku, Firdaus Latuconsina. Sepintas Ia bukan orang sembarangan, turunan aristokrat Ambon. Walau begitu Ia baik, kocak, lucu, lugu, sederhana, dan sedikit serampangan. Bagian terakhir itu yang sering buat seniornya gemas, sekaligus menjadi sabar meladeninya.
Saya sekosan dengan Firdaus. Dekat kantor kelurahan lama, Batupasi. Ia sendiri menjadi lurah di Rampoang, sebelahan dengan kelurahan saya, Bara. Waktu mau pelantikan, Ia dicari setengah mati bagian pemerintahan, sebab tokoh utama yang mau dilantik oleh walikota justru tak ada di tempat. Pak wali geram, katanya, "cari Firdaus hidup atau mati!"
Rupanya Ia sedang dalam perjalanan. Tertidur semalaman, begadang hingga larut. Ia lupa bahwa hari itu pelantikan dirinya jadi lurah. Sewaktu ke tempat pelantikan Ia juga lupa baju PDUB, terpaksa Ia balik lagi. Orang suruhan walikota berselisih waktu ke tempat kosan. Dia pergi lagi, orang suruhan walikota justru datang menanyakan keberadaan Firdaus. Ibu kost bilang, sudah berangkat, barusan.
Ia sampai di TKP. Pak wali melantik beberapa lurah, termasuk dirinya. Pas mau dipasangkan benggol lambang garuda, rupanya kurang satu. Ia tak kurang akal, segera Ia pinjam copot punya salah satu lurah yang duduk di barisan kedua. Ia akhirnya dilantik dengan benggol punya lurah lain. Ia enteng saja main copot dan gantungkan kembali benggol sakral itu.
Suatu kali Ia diperintah walikota membabat rumput ilalang di depan kantor lurahnya. Ia berpikir pintas, baiknya di bakar saja. Ia siram rumput seluas lapangan sepak bola itu dengan bensin, bakar. Sambil menunggu rumput habis Ia istrahat di kantor lurah. Sejam kemudian warga dekat lapangan itu gaduh, berlarian tak karuan. Api meluas, dan melahap lingkungan mereka, kebakaran.
Mereka datang ke pak lurah, melapor sekaligus minta dicari pelaku pembakar rumput di siang bolong. Mereka minta dipenjarakan, dianggap membahayakan keselamatan warga. Pak lurah menerima laporan itu dengan wajah duarius. Ia janji akan melanjutkan ke polisi yang jaraknya tak begitu jauh, teman seangkatan di Akpol. Warga tak menyangka bahwa pak lurahlah tersangka utamanya.
Di lain waktu, pak lurah diminta pak wali untuk menertibkan anak muda yang suka buat keributan. Pak lurah pintar, Ia pura-pura ikut main domino dengan anak muda disitu, sambil merokok, tertawa bareng dan sesekali turut menenggak ballo. Sejenis alkohol racikan lokal. Ia hanya ingin kelihatan berbaur. Anak muda disitu tak kenal pula dia lurah disitu, pakaiannya lusuh, jeansnya robek disana-sini.
Sewaktu asik main domino larut malam, tiba-tiba di razia polsek. Semua anak muda yang duduk disitu di tangkap, di borgol, tak terkecuali pak lurah. Polisi pun tak kenal siapa dia, semuanya di boyong ke tahanan polsek, persis pencuri ayam di kampung. Pak lurah mendekam semalam di sel. Paginya di cek satu persatu oleh Pak Kapolsek. Ia kaget, pak lurah turut meringkuk di tahanan. Pak Kapolsek minta beliau dilepaskan.
Pak lurah keluar sambil senyam-senyum tak berdosa. Ia langsung menyulut sebatang rokok sambil nyari kopi pagi, santai, sambil menyeka mukanya yang kusut. Pak Kapolsek hanya geleng kepala, tertawa bersama anak buahnya yang baru tau itu lurah mereka, tempat kantor polsek beralamat. Pak lurah pulang ke kosan, tidur seharian, kelelahan.
Ketika saya lanjut sekolah ke IIP, Pak Lurah pinjam motor butut saya. Saya pinjamkan buat operasional kerja. Beberapa bulan kemudian motor itu ditemukan kenalan saya di pinggir jalan, terparkir tanpa pemilik. Dia tau itu motor saya, dibeli dalam kondisi semua bunyi kecuali klakson. Motor itu di desain kembali mirip motor Pak Babinsa, di duco hijau tentara dengan suara menggelegar berwibawa.
Dia telpon saya, menyampaikan bahwa motor diamankan dirumahnya. Saya telpon adik lurah, dimana motor bapak? Kata pak lurah, mohon maaf kak, saya lupa entah dimana saya parkir! Beliau super pelupa, termasuk anaknya yang hilang diboncengan. Ia bercakap-cakap sendiri sampai ke rumah. Tiba disana anaknya raib, rupanya jatuh di jalan. Istrinya pun kadang Ia lupa, ditinggal di pasar atau kondangan. Ia telah meluncur ke tempat lain.
Pak lurah memang unik. Dia bisa tidur dimana saja, di kandang pun nyenyak. Beliau bisa bergaul dengan siapa saja, tanpa mau tau siapa yang dihadapi. Beliau juga bisa makan dimana saja, termasuk di warteg sambil angkat kaki sebelah dan menyulut rokok. Dia enjoy saja sekalipun di kelurahan terjadi kerusuhan. Dia bisa muncul sewaktu-waktu dan hilang seketika. Hidupnya penuh kebahagiaan, tanpa tekanan, tanpa beban sekalipun pak camat dan pak wali pusing tujuh keliling.
Kata anak zaman now, ini yang paling jauh prof. Sambil terpingkal2 saya membacanya..
BalasHapus