Analisis Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah, Sebuah Catatan Kaki
Oleh. Muhadam Labolo
Eksistensi sebuah lembaga negara pada dasarnya ditentukan oleh seberapa besar kewenangan yang dimiliki. Artinya, kita tidak melihat besarnya suatu lembaga secara institusional, tapi lebih pada seberapa besar kewenangan yang melekat padanya. Hal ini akan menunjukkan kebesaran suatu lembaga semacam DPD, apalagi bila efektif digunakan.
Pasca amandemen konstitusi (1999-2022), kita menemukan mahluk DPD sebagai salah satu organ dalam tubuh bikameral MPR. Kita tidak ingin memastikan sebagai sebuah sistem bikameral karena tingginya debat soal eksistensi DPD dalan rumah besar MPR. Hal ini jika dibandingkan dengan praktek sistem bikameral di negara maju seperti Amerika Serikat.
Problem penting yang dikandung DPD adalah minimnya kewenangan yang dimiliki di banding DPR sekalipun keduanya berada dalam rumah besar MPR. MPR sendiri sesuai amandemen terakhir memiliki tugas dan wewenang; mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, dan memilih, melantik, serta memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam konteks itu kiranya DPD tak bermasalah. Namun fungsi DPD mengalami penyusutan ketika berhadapan dengan fungsi legislasi. Fungsi ini, konon merupakan esensi dari representasi rakyat di parlemen, entah itu parlemen rendah maupun tinggi, atau DPR maupun DPD sendiri sesuai kasus Indonesia.
Legislasi sendiri secara etimologis bermakna hukum (leg, lex). Artinya baik DPR maupun DPD berfungsi sama, membuat hukum. Hukum itu dapat berwujud konstitusi sebagai hukum tertinggi sampai dengan instrumen hukum terendah dalam tata urut perundang-undangan. Semua produk hukum yang di proses secara politik menjadi tanggungjawab dua cabang kekuasaan lain.
Cabang eksekutif tugasnya melaksanakan (to executed), dan yudikatif menegakkan produk hukum yang di buat oleh badan legislatif. Separation of power dalam sistem demokrasi sekaligus menegaskan fungsinya agar tak saling melampaui wewenang sebagaimana kasus MK membuat norma tambahan atas Perkara No.90 baru-baru ini.
Artinya badan yudikatif pun terkadang bertindak sebagai badan legislatif dengan alasan menemukan hukum baru untuk memecahkan suatu masalah. Realitas itu tentu saja semakin mengecilkan peran dan fungsi badan legislatif seperti DPR dan DPD. Secara implisit sekaligus mendistorsi tugas dan wewenang MPR yang melingkupi eksistensi DPR dan DPD. Disini penting digarisbawahi untuk menegaskan kembali fungsi cabang kekuasaan dalam sistem demokrasi.
Gambaran di atas sekaligus menunjukkan bahwa pelemahan badan legislatif, khususnya DPD semakin terlihat bahkan ketika fungsi DPD dibatasi pada soal otonomi daerah, hubungan pemerintahan, serta penataan daerah (pembentukan, penggabungan dan penyatuan daerah otonom). Sementara pembahasan anggaran dan isu krusial lainnya tak lebih sebagai pelengkap penderita.
Kondisi ini menggambarkan DPD yang sejogjanya mewakili ruang (mahluk hidup dan benda mati, termasuk flora dan fauna), tak memiliki akses kontrol yang efektif sekalipun nyata-nyatanya semua peristiwa itu terjadi di ruang yang di sebut daerah. Kurangnya akses kontrol sebagai akibat terbatasnya wewenang legislasi membuat ruang daerah menjadi objek paling sexy untuk diexploitasi DPR.
Fungsi legislasi merupakan esensi pokok bagi sebuah lembaga politik. Hanya dengan fungsi itu para wakil rakyat dan ruang yang direpresentasikannya mampu menentukan, memastikan, mengawasi, mengintervensi, bahkan mengevaluasi produk hukum yang dikeluarkan setiap saat. Tanpa kewenangan legislasi yang luas, DPD tentu saja hanyalah lembaga besar tanpa kekuasaan efektif.
Agar DPD kuat dan memiliki bargaining power dihadapan DPR, penting memperluas kewenangannya sebagaimana kasus senat tinggi di USA yang memiliki kewenangan besar sekalipun jumlahnya terbatas di banding anggota senat rendah. Bila kita imajinasikan eksistensi DPD sama dengan senat tinggi, setidaknya DPD punya kuasa ikut serta membahas dan menyetujui semua jenis UU, berhak menolak atau mempertimbangkan sungguh-sungguh setiap rancangan undang-undang demi kemaslahatan daerah.
Selain itu, DPD perlu diberi akses untuk mengontrol eksekutif melalui wewenang persetujuan perang, penolakan anggaran APBN yang melampaui kemampuan daerah, serta persetujuan atas kebijakan strategis nasional di daerah. Tanpa perluasan wewenang, khususnya kesamaan dalam pembahasan dan persetujuan legislasi, DPD sesungguhnya tak lebih maju di banding peran dan fungsi utusan golongan di masa orde baru, atau penerapan konstitusi lama.
Kewenangan legislasi pada hakekatnya berkenaan dengan kepentingan daerah yang di sentuh oleh semua produk hukum yang di buat DPR. Tanpa keterlibatan DPD dalam setiap pembahasan dan persetujuan pada semua tingkatan bermakna daerah berada dalam kuasa DPR yang notabene mewakili kepentingan oligarchi melalui peran elit partai politik semata. Daerah dengan mudah dijadikan objek eksplotasi bergantung pada kepentingan jangka pendek politisi di Senayan.
Gambaran sederhana atas kelemahan DPD dalam hal fungsi legislasi kiranya membutuhkan penguatan melalui amandemen UUD. Penguatan itu setidaknya diarahkan pada pertama, kesamaan wewenang dalam hal pembahasan dan persetujuan atas semua rancangan undang-undang. Alasannya bahwa semua undang-undang pada ujungnya berakhir implementasinya di daerah, bukan di pusat semata.
Kedua, kewenangan DPD dalam hal legislasi juga berkenaan dengan program legislasi nasional. Hasil identifikasi prolegnas baik revisi, pencabutan, pembuatan, maupun peningkatan derajat perpu menjadi undang-undang turut dibagi secara proporsional sehingga tidak dibatasi pada isu otonomi daerah, hubungan pemerintahan, dan penataan daerah semata. Dengan begitu DPD punya kontribusi luas.
Sharing pembahasan dan persetujuan rancangan undang-undang secara proporsional akan memberi konsekuensi pada bertambahnya wewenang DPD, meningkatnya bargaining position terhadap DPR, serta bertambahnya alokasi keuangan terkait rancangan undang-undang yang akan di bahas dan disetujui. Alat kelengkapan DPD seperti badan legislasi, komisi, dan semacamnya akan bekerja sesuai target yang ditentukan secara kolektif.
Ketiga, mekanisme fungsi legislasi DPD mungkin dapat di desain sedikit berbeda dengan DPR mengingat jumlahnya yang sedikit, serta memperhitungkan tingginya beban yang menjadi tanggungjawab DPD di kemudian hari. Dalam hal ini DPD perlu support system yang ideal agar kerja-kerja legislatif di tingkat teknis tidak menjadi hambatan yang dapat menjadi masalah baru bagi kinerja DPD.
Keempat, DPD perlu memiliki target kinerja atas limpahan wewenang bidang legislasi, misalnya berapa banyak, berapa lama, serta diselesaikan oleh alat kelengkapan apa. Dengan demikian kinerja DPD dalam bidang legislasi dapat terukur setiap periode. Kinerja ini setidaknya meyakinkan publik tentang berfungsinya DPD bahkan ketika dibandingkan dengan DPR dalam hal fungsi yang sama (legislasi).
Komentar
Posting Komentar