Postingan

Menampilkan postingan dari 2024

Produk Akhir Revolusi Mental

Oleh. Muhadam Labolo Sepuluh tahun pasca Mulyono berkuasa mentalitas bangsa tak banyak berubah. Padahal mentalitas itulah yang menjadi fokus garapan ketika Ia memulai debut perdana sebagai presiden ketujuh. Ia dengan percaya diri melafalkan mantera tentang apa yang disebut Revolusi Mental. Selanjutnya dibungkus rapi sebagai visi berjudul nawa-cita. Diterjemahkan kedalam sistem perencanaan. Revolusi mental yang ditujukan pada perubahan radikal dibidang politik, ekonomi dan sosial budaya pada akhirnya meninggalkan antitesa yang mencemaskan. Politik lebih memproduksi kepemimpinan korup ketimbang memandu warga yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Korupsi menjadi wabah paling akut yang sulit dicari penawarnya. Sejak pilkada diterapkan hingga 2024, lebih 503 kepala daerah, 2.496 birokrat, 5 ketua partai, 27 kepala lembaga/menteri, dan lebih 500 wakil rakyat mendekam di buih (Prasodjo, 2024). Politik tak mampu menghentikan, bahkan terperangkap pada urusan prosedur yang tak efisien mengor

Korupsi Menelan Pajak

Oleh. Muhadam Labolo Tak terhitung ratusan kritik terhadap gejala korupsi di semua sektor seperti menabrak tembok kokoh. Mereka yang cemas dan berupaya menghentikannya di anggap asing. Seakan di tengah kubangan korupsi mereka yang berteriak pertanda gila, munafik dan bodoh. Keresahan publik berubah menjadi kepasrahan, bahkan cenderung permisif. Korupsi bukan lagi perilaku kotor. Disatu sisi pemerintah tiap hari berpikir menarik pajak. Anehnya bumi yang kaya seakan tak sanggup menyelesaikan hutang. Cara paling cepat hanya merogoh uang di saku rakyat. Sementara kekayaan alam raib ibarat air yang menguap. Andai eksploitasi kekayaan tak bocor, mungkin inilah satu-satunya negara yang minim pajak. Negara-negara lain mungkin akan belajar soal bagaimana mengelola sumber daya alam yang melimpah. Ironisnya kita bukan ahli disitu, tapi justru belajar memungut pajak seperti negara-negara minus sumber daya alam. Singapura misalnya. Apa saja bisa di pajak demi menutupi kelangkaan sumber daya alam. S

Arah Pembangunan Pemerintahan

Oleh. Muhadam Labolo Kesadaran membangun pemerintahan tampak kian redup. Setidaknya tergambar dari tujuan yang mencemaskan, otoritas berkelebihan, relasi yang kurang kokoh, serta tata kelola layanan yang belum menyentuh akar masalah. Keempat variabel itu merujuk pada nilai penting pemerintahan (Wasistiono, 2023). Tujuan jangka panjang yang diimajinasikan belum tergambar secara konsisten. Apa yang berserakan dimasa transisi kecuali pemenuhan instant bagi generasi belia, makan siang gratis. Tujuan belum menyentuh lanskap yang luas, kemakmuran kolektif untuk kurang lebih 289 juta populasi. Selebihnya bagaimana posisi bangsa di tengah dinamika geopolitik. Pertama, kemakmuran mesti dirasakan mayoritas. Demikian amanah konstitusi. Bukan semata para pengusung, timses, pemandu sorak, _influenzer & buzzer._ Bila kemenangan selesai dengan hanya balas budi transaksional pada elit, rasanya suara rakyat tak berarti apa-apa, alias kehilangan daulat. Lapis atas menikmati kemewahan kuasa, level ba

Krisis Global dan Minimnya Panduan Ilmu Politik

Oleh. Muhadam Labolo Krisis global kini menandai gerak sebagian dunia. Setidaknya pada rasialisme, lingkungan, dan kekuasaan. Rasialisme menguat kembali pada sejumlah komunitas akibat meningkatnya dominasi kelompok. Lebensraum menjadi alasan meluapnya populasi dan migrasi hingga menghimpit komunitas minoritas dan pribumi. Eksesnya perambahan dan deforestasi. Krisis lingkungan menandai dua dekade terakhir. Sedemikian parahnya hingga begawan sekelas Emil Salim (2023) tak sudi menerima penghargaan lingkungan karena gagal mengantisipasinya. Sumber daya alam kini menjadi semacam alat tukar dengan kuasa jangka pendek. Lingkungan sebagai penopang hidup kehilangan arti bagi kelangsungan ekosistem.  Kedua krisis tersebut ditengarai bersumber dari kompetisi kuasa. Inilah krisis yang meluas dari global ke tingkat lokal. Hasrat berkuasa tak hanya mendorong peminggiran, lokalisasi, bahkan genoside. Mereka yang lemah diperangi, diintimidasi, dikucilkan dalam sistem sosial bernegara. Beberapa negar

Menyudahi Begal Konstitusi

Oleh. Muhadam Labolo Kekuatan-kekuatan politik yang dulu senyap kini digelitik oleh aksi begal konstitusi wakil rakyat. Putusan hukum tertinggi pilkada sebagai benteng terakhir sengaja dimanipulasi. Para pembegal seakan memilih yang sunnah dan mengecualikan yang wajib demi memproteksi masa depan kuasa anak raja.  Kekuasaan membegal konstitusi patut dihentikan. Ia melukai hati rakyat. Peluang rakyat berkompetisi di suntik mati. Ruang tanding dikuasai dinasti dan oligarki. Untuk apa berdemokrasi bila semua pintu ditutup, bahkan di konci rapat. Bukankah lebih tepat kita ber-monarki ria. Tak perlu kompetisi dengan hanya melawan kotak kosong. Agar kuasa tiran tak mengubur demokrasi hidup-hidup, Ia hanya mungkin bila dikontrol, dibagi, dan diinstitusionalisasikan (Foucault, 1926). Masalahnya, institusi pengontrol mengalami kebuntuan karena ada dalam pekarangan koalisi. Pemilik daulat terpaksa turun dan mengingatkan. Mereka lupa bahwa daulat di tangan rakyat. Hanya dititip sementara dan bole

Demoralisasi Peradaban Bangsa

Oleh. Muhadam Labolo Demoralisasi peradaban bangsa kian mendekati tubir. Setidaknya dari lunturnya identitas berbangsa hari-hari ini. Demoralisasi menyentuh bagian sensitif perilaku, simbol, instrument, serta tujuan bernegara. Keseluruhan variabel itu ciri kebudayaan. Kebudayaan cermin peradaban. Peradaban maju atau mundur bergantung parameter tersebut. Setidaknya dengan membandingkan kualitas peradaban era Orla, Orba dan Reformasi. Perilaku berbangsa dipenetrasi oleh wabah korupsi. Korupsi bukan lagi penyakit kurap yang menjangkiti elit, kini menyentuh alit di lapis bawah. Dalam rentang 2005-2023 tercatat 449 kepala daerah/Waka, 503 anggota DPR/DPRD, 27 kepala lembaga/menteri, 5 ketua umum partai, serta 2.496 birokrat di buih (Prasodjo, 2024). Itu di luar setahun terakhir. Trend korupsi meningkat meski Indeks Persepsi Anti Korupsi turun 0,07 point (ICW, BPS, 2024). Demoralisasi etik kaum elit dipertontonkan tak hanya sekali. Setiap hari berkali-kali. Kasus Ketua KPK, MK, KPU, Menteri,

Mengaktifkan Etika

Oleh. Muhadam Labolo Sudah lama publik tak mendengar etika ditegakkan. Harapan itu ditambatkan berhubung hukum tak berfungsi (lawless). Hukum hanya menyentuh bagian landai seperti pencuri ayam, judi kecengan, hingga pemadat narkoba kelas teri. Lebih lagi bila hukum pilih buluh, mahal, berliku, bahkan dipenuhi penjaja hukum yang bersembunyi di rumah pengadilan. Ketika DKPP menjatuhkan hukuman etik kepada Ketua KPU Hasyim As'ary, moral publik seakan di cubit kembali. Putusan itu dinilai memuaskan, sekaligus menepis keraguan publik soal putusan akhir ketiga dan terakhir. Putusan itu juga pesan pada semua cabang kekuasaan yang memiliki badan-badan etik agar tak segan menjatuhkan sanksi etik untuk perbuatan amoral. Rasanya hampir semua cabang kekuasaan punya badan etik, tapi mandul dan sepi aksi. Legislatif punya Badan Kehormatan. KPK punya Dewan Etik. Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman punya dewan etik. Korporasi juga punya komisi etik. Bahkan di organisasi masyarakat sebagai represe

Negara dan Penderita Pajak

Oleh. Muhadam Labolo Mungkin tak ada yang paling menggelisahkan bagi warga dalam hidup bernegara, sejak dulu hingga kini, kecuali pajak. Sedemikian mencemaskan hingga pajak dan kematianlah yang paling menakutkan bagi warga Amerika. Pajak salah satu konsekuensi hidup bernegara.  Negara dan pajak ibarat dua sisi mata uang. Sulit dipisahkan. Semakmur apapun sebuah negara, rakyat menyisihkan sedikit-banyak keuntungan buat negara. Negara dengan pajak rendah lazim bergantung pada sumber daya alamnya. Sebaliknya, negara minus sumber daya alam bergantung pada pajak pendapatan warganya. Beberapa negara kaya di timur tengah bertumpu pada sumber daya alamnya. Itulah mengapa pungutan pajak ke warganya kecil seperti Qatar. Ada pula yang bersandar pada pendapatan warganya seperti Pantai Gading, Finlandia, dan Jepang. Bandingkan dengan Indonesia sebagai salah satu negara besar dengan kekayaan melimpah, pajak masih jadi keluhan. Tak ada cara paling efektif mengumpulkan pajak kecuali menadah pada rakya

Tambang Milik Siapa?

Oleh. Muhadam Labolo Rencana pemerintah membagi izin kelola tambang kepada organisasi masyarakat (ormas) tertentu menuai kritik. Bukan saja dari elemen masyarakat, juga sejumlah ormas itu sendiri. Ormas sekelas Muhammadiyah, PGI, NWDI, KWI, HKBP, dan PMKRI memperlihatkan sikap tegas, menolak.  Alasannya sederhana, ormas keagamaan semacam itu tak di desain untuk mengelola tambang, tapi lebih soal bagaimana mengelola kerukunan antar dan inter umat beragama. Bila ormas ikut mengurusi tambang, lalu siapa yang mengurus umat masing-masing? Jangan-jangan kementrian yang urus tambang juga kehilangan pekerjaan. Mungkin PBNU satu-satunya yang menerima dengan sukacita. Ormas PHDI butuh waktu untuk mengkaji. Alasan pemerintah, ormas telah memperlihatkan bakti yang panjang bagi nusa dan bangsa. Reasoning itu tentu sulit diterima, lantaran tak sedikit ormas punya kontribusi relatif sama bagi pemajuan bangsa ini.  Lagi pula, bila semua ormas menuntut hak yang sama, persoalannya mampukah pemerintah m

Urgensi Polisi dan Tentara, Bagaimana Sebaiknya?

Oleh. Muhadam Labolo Salah satu tugas esensial pemerintah adalah melindungi. Melindungi warga dari ancaman sesama, dalam dan di luar kelompok (baca; negara). Dalam negara kita butuh kehadiran polisi. Tugas utamanya melindungi warga dari kejahatan sesama warga dalam negara. Setiap negara meletakkan fungsi itu dalam konstitusi, termasuk Indonesia (preambule, alinea ke 4). Pada makna itu, polisi jamak berada dalam kendali eksekutif mulai presiden, gubernur hingga walikota. Menimbang fungsi itu pula, kuasa polisi melekat pada tingkatan pemerintahan. Di sejumlah negara, polisi lazim di kontrol kementrian dalam negara, kementrian hukum, atau kementrian tersendiri. Mengingat ancaman warga pada tiap level pemerintahan berbeda dan khas. Organ polisi biasanya beradaptasi dengan konteks ancaman dalam negara. Tak heran bila ada polisi wisata, polisi wanita, polisi hutan, polisi perda, polisi syariah, polisi cyber, hingga polisi pajak. Perkembangan crime memungkinkan polisi mengembangkan organisa

Pejabat dan Penjahat

Oleh. Muhadam Labolo Kesulitan terbesar publik akhir-akhir ini membedakan mana pejabat dan mana penjahat. Mungkin relasi pemerintah dan rakyat lebih mudah diindentifikasi dibanding kedua hal di atas. Pejabat, merujuk pada personifikasi mereka yang menjalankan otoritas publik secara sah. Penjahat sebaliknya, mereka yang mengatasnamakan otoritas pribadi dan kelompok minus keabsahan. Otoritas publik diperoleh lewat kontrak sosial antara yang memerintah dan yang diperintah. Mereka punya legitimasi periodik. Wujudnya pemerintah. Mereka punya fungsi, tugas, dan wewenang yang ditentukan menurut undang-undang. Tindakan-tindakan mereka dianggap legal, termasuk memungut pajak dan menghukum tersangka. Otoritas pribadi dan kelompok di klaim sepihak antara individu dan kelompok. Bentuknya bisa gangster, bandit, hingga mafia. Ada mafia peradilan, tanah, hukum, hingga mafia jabatan. Tindakan mereka di luar konsensus bernegara. Karenanya dinilai ilegal ketika memungut hingga menghukum. Bedanya tipis.

Reuni Kelima, Panas Membara

Oleh. Muhadam Labolo Usai Reuni Ke5 Pasopati di Swiss Belhotel dekat Benteng Roterdam Makassar, suasana berubah sepi, seperti judul lagu, mati lampu. Jangankan Andi Mappanyukki, beberapa peserta putri tak sanggup melihat ke belakang. Seakan ada kenangan kuat yang tertinggal. Itu gejala sindrom pasca reuni yang selalu menghantui peserta sejak di Jatinangor. 208 peserta di sambut hangat oleh panitia lokal. Komandannya Hasan Sulaiman. Mantan Kepala Staf Gubernur yang kini duduk sebagai orang kedua di institusi keuangan Provinsi Sulsel. Ia ditemani bendahara sejuk Irawati, dan sejumlah staf berpengalaman, Arfan, Ukki, Aprisal, Sukma, Lily, Wawan, Idrus, Lasmana, Ibo, Jamal, Muchlis dan Amril. Mereka punya jam terbang tinggi. Antusias peserta tinggi. Khususnya teman-teman di belahan Indonesia Timur. Sayang kerinduan mereka kandas karena pesawat dibatalkan. Beberapa karena sakit, tabrakan jadwal dengan tugas rutin sebagai pejabat. Tak lupa mengurus hal-hal yang dinilai super urgen. Namun beg