Mengefisienkan Demokrasi Lokal

Demokrasi lokal serentak diwarnai satu dua kegaduhan. Basis pendukung di Kabupaten Parimo dan Toli-Toli bergesekan saat debat paslon dimulai. Di Jawa, setidaknya ada dua debat yang hampir gagal dilanjutkan. Untung saja keriuhan itu tak merembes hingga ke luar ruangan. Konflik dapat disudahi oleh pihak keamanan.

Tahapan debat hampir selesai. Namun kasus di atas setidaknya menjadi catatan kaki bagi upaya merawat demokrasi lokal di periode selanjutnya (2029). Dengan begitu perhelatan debat bukan sekedar memenuhi prosedur demokrasi, juga melahirkan substansi demokrasi yang bermutu. Utamanya kualitas paslon dan basis konstituen.

Kasus di atas mengindikasikan bahwa peradaban demokrasi kita butuh perkakas pendidikan politik yang memadai, bukan sekedar menggugurkan tahapan yang telah disepakati. Apalagi biaya debat yang hampir mencapai 2,5 M di level provinsi. Dengan tiga kali debat, anggaran yang diperlukan mencapai 7,5 M kali 37 provinsi di luar Provinsi DIY.

Dengan biaya sebanyak itu, bukan saja pesan yang disampaikan dalam debat dapat ditangkap oleh basis konstituen, juga kualitas paslon dapat dipertimbangkan untuk dipilih yang terbaik (primus interpares). Sayangnya, debat dengan biaya besar itu hanya dinikmati rata-rata 30-40% rakyat diwilayahnya masing-masing. Contohnya Daerah Khusus Jakarta.

Debat paslon kepala daerah kedepan sebaiknya dapat lebih diefisienkan. Menimbang belum ada riset yang menunjukkan dampak signifikan terhadap kenaikan elektabilitas paslon pasca debat dilaksanakan. Contoh debat antar paslon presiden di negara Paman Sam. Yang ada hanya gesekan antar basis pendukung setiap kali dilaksanakan debat. 

Teknis debat perlu dirancangkan ulang agar mampu memompa kecerdasan paslon di atas panggung. Kecerdasan itu melingkupi kognitif, psikomotorik, dan afeksi. Lebih dari itu debat mampu memeras gagasan paslon sekaligus memperlihatkan nilai intelektualitas, spiritualitas, emosionalitas, serta sosialitas performanya (Labolo, 2024). Semua itu menjadi perhatian serius bagi pemilihnya.

Pertama, sebaiknya tim perumus dan tim panelis keanggotaannya tidak dipisahkan agar tema, subtema, dan konstruksi pertanyaan bagi paslon memiliki relevansi yang kuat. Terkadang tema dan subtema tidak memiliki relevansi kuat, selain rancang bangun tema yang acak-kadut. Realitas ini membuat panelis kebingungan mengkonstruksi soal agar tak lepas satu sama lain.

Karenanya, tema dan subtema sebaiknya disusun oleh para pakar dan praktisi yang paham dibidang tersebut. Dengan demikian antara tema, subtema dan indikatornya menjadi pijakan dalam merancang pertanyaan. Pertanyaan dapat dibangun dari indikator yang ditetapkan tim perumus. Jadi tema menjadi variabel, subtema menjadi dimensi, sedangkan indikator menjadi dasar perancangan pertanyaan.

Soal terdiri dari narasi pernyataan dan pertanyaan itu sendiri. Pernyataan sebaiknya di desain sejelas dan sesederhana mungkin agar paslon tak kehilangan konsentrasi untuk menangkap kata kunci (key word). Pernyataan merupakan selisih antara norma-kebijakan versus realitas, konsep versus realitas, logika versus realitas, atau perbandingan ketiganya.

Menimbang debat pilkada ingin melihat gagasan paslon yang akan dikanalisasi lewat kebijakan, strategi, dan langkah konkrit, maka pertanyaan dapat dikonstruksi dengan kalimat apa dan bagaimana kebijakan, strategi, langkah, maupun penilaian paslon terhadap kebijakan maupun isu yang ditanyakan panelis. 

Pernyataan dan pertanyaan sebaiknya menyentuh persoalan lokalitas sekalipun pernyataan memberi pengantar melalui kebijakan dan isu yang bersifat nasional. Hal ini untuk memaksa paslon melihat fokus dan lokus masalah didaerahnya, bukan masalah daerah lain. Dengan tekanan ini, jawaban paslon akan lebih kontekstual dan menukik pada penyelesaian didaerahnya.

Jawaban normatif dan tidak kontekstual hanya memperlihatkan bualan, omon-omon, retorika, lomba pidato, mimpi, bahkan janji muluk. Panelis dan publik memang tidak menilai soal benar atau salah, kecuali berharap dialektika debat dipenuhi argumentasi yang menyentuh problem sesungguhnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian