Pengantar Buku Memakmurkan Otonomi Prof Djohermansyah Djohan
Mungkin, tak banyak pemikir di Indonesia yang dalam 25 tahun terakhir sejak UU 22/1999 dicanangkan mewakafkan waktunya untuk menelaah setiap perubahan kebijakan terkait desentralisasi dan otonomi daerah secara konsisten kecuali Prof. Djohermansyah Djohan. Ia dengan serius menyoroti, bahkan dengan tajam mengkritiknya agar diinsyafi oleh rezim penguasa.
Buku dihadapan kita bukan monograf yang terbiasa dikurasi dengan alot di ruang kelas, namun kumpulan artikel ini adalah bukti atas apa yang pernah dirancangnya dulu hingga Ia pantas di sebut Koki Otonomi Daerah. Tak heran bila hampir seluruh artikel yang pernah dimuat Harian Kompas ini menunjukkan betapa Ia menjadi satu-satunya garda terdepan pengawal kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Kritik Pak Djo kian menyala ketika Ia dihadapkan pada gejala resentralisasi yang mengental di era Jokowi. Ia menilai tak hanya otonomi yang kehilangan luas dan isi, juga dangkalnya para desainer kebijakan ketika misalnya mengkonstruksi Ibu Kota Nusantara dan membiarkan Jakarta sebagai pusat gravitasi politik, ekonomi dan sosial budaya terbengkalai dengan predikat Kota Aglomerasi.
Ia gelisah dan mencemaskan otonomi yang selama ini dicacahnya di dapur kekurangan rasa, atau mungkin kelebihan bumbu. Otonomi bukan saja dikebiri, juga ketiadaan willing para pemangku kepentingan. Tekanan itu semacam pesan kuat bagi para desainer kebijakan otonomi agar kembali sibuk mengurus daerah, bukan malah berlomba-lomba menjadi penguasa sementara di daerah.
Salah satu catatan kritis yang menarik ketika Pak Djo dengan sengaja mengurai sejumlah kebijakan khususnya bagaimana menata-kelola pemerintahan daerah yang dipenuhi patologi, serta bagaimana sebaiknya pilkada ditata kembali di tengah wabah korupsi. Ia tak hanya memperlihatkan dimana letak kekeliruan kebijakan, sekaligus mengasuh kita point demi point tentang bagian mana yang mesti diremedial.
Andai catatan kritis itu dapat dikanalisasi lewat redesain kebijakan, tentu otonomi daerah dapat berjalan enteng sekaligus memakmurkan. Buku ini memfasilitasi kita, sekaligus menuntun para pembuat kebijakan agar kembali merevitalisasi otonomi hingga mampu mencapai tujuan idealnya, politik dan administrasi. Pada level praktis, kemandirian, kreativitas, dan harga diri daerah.
Malangnya, nasib otonomi daerah pasca kebijakan cipta kerja dan minerba mengalami semacam dehidrasi. Daerah dipaksa mengatur dan mengurus di tengah realitas sumber dayanya yang mengering. Saya kira, Pak Djo sengaja mengoleksi seluruh catatan itu lewat buku dihadapan kita sebagai renungan praktis untuk memaknai kembali, tanpa perlu menanti moment ulang tahun otonomi daerah yang kian hampa di hari-hari mendatang.
Komentar
Posting Komentar