Relevansi Sekolah Gubernur Era Ottoman & Indonesia

Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Milad Muhammadiyah ke 112 di Universitas Muhammadiyah Kupang tanggal 4 Desember 2024 menarik dicermati. Menariknya ketika beliau memperkenalkan Akademi Gubernur yang pernah eksis di era Turki Utsmani (1299-1924). Sekolah ini pada dasarnya mengajarkan ilmu kepemimpinan hingga ke level terendah semacam bupati.

Prabowo menjelaskan bahwa salah satu pelajaran penting yang diajarkan tidak ada negara tanpa tentara yang kuat. Tidak ada tentara kuat tanpa uang. Tidak ada uang tanpa kemakmuran. Tidak ada kemakmuran tanpa rakyat yang bahagia-sejahtera. Dan tidak ada kebahagiaan & kesejahteraan tanpa pemerintahan yang bersih dan adil.

Tentu saja problem mendasar kita adalah korupsi yang membuat bangsa ini belum bersih. Kedua, ketidak-adilan dalam berbagai aspek. Dua problem tersebut menciptakan kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan. Sedemikian pentingnya keadilan sebagai nilai tertinggi dalam politik, Tuhan memerintahkan kita berbuat baik dan berlaku adil (An Nahl, 90).

Saya tidak akan membahas soal itu. Bagian yang ingin saya jelaskan adalah relasi antara Akademi Gubernur di masa Ottoman dan Indonesia. Memang ada kesamaan, seperti Buku Wulangreh yang ditulis Pakubuwono (1768-1820) merupakan karya sastra yang khusus diajarkan untuk calon pemimpin dilingkungan pendidikan keraton. Intinya, pendidikan bagi kader pemerintah.

Wulang artinya pelajaran, reh bermakna pemimpin.  Kitab itu merupakan rujukan kurikulum khusus buat calon penguasa (pemerintah). Artinya, sekolah kepemimpinan sebenarnya sudah ada sekalipun masih terbatas bagi kaum aristokrat dilingkungan istana. Di kelak hari berkembang menjadi apa yang kita sebut dengan Pangrehpraja maupun Pamongpraja.

Bagaimana sejarah Akademi Gubernur di Indonesia? Istilah gubernur telah kita pahami sebagai salah satu struktur pemerintahan di bawah pemerintah pusat. Sejak jaman penjajahan istilah tersebut kita gunakan dalam struktur pemerintahan Hindia-Belanda yang membawahi Bupati, Wedana, Asisten Wedana, Controlier hingga Mantri. 

Secara etimologis gubernur berasal dari kata guvernor (Inggris), guoeverneur (Belanda), gubernare (Latin). Dalam terminologi Gerik, di sebut cybern yang oleh Ndraha (2002) menjadi ilmu pengetahuan pemerintahan (cybernologi, kybernologi). Ilmu itu dipakai sebagai bahan kurikula pengganti paradigma ilmu pemerintahan lama di IPDN.

Sekolah gubernur  yang dimaksud Prabowo secara historis berdiri di Mesir sebagai pusat akhir pemerintahan Turki Utsmani (1924). Perancis pernah menginvasi Mesir, termasuk Belanda. Belanda menjajah Indonesia. Kembali ke Perancis, Napoleon mendirikan sekolah akademi militer untuk umum. Perancis kekurangan perwira dari kelompok bangsawan selain Napoleon sendiri lahir dari rakyat biasa (Said, 2012).

Eropa banyak mengikuti sekolah perwira Perancis, termasuk Belanda yang kemudian membawanya ke Indonesia dalam bentuk OSVIA dan MOSVIA. Akademi ini isinya calon kader pemerintah baik dari Belanda maupun Pribumi. Mengikuti gaya Perancis, Belanda mengutamakan rekrutmen dari kelompok aristokrat sebagai kader pemerintahan.

Akademi itu berkembang menjadi KDC, APDN, IIP, STPDN, dan IPDN. Salah satu alumni OSVIA Magelang (1911) adalah RM Margono Djodjohadikusumo yang juga kakek Prabowo. Dari sini dapat dipahami bahwa Akademi Gubernur sebenarnya telah berkembang sesuai kebutuhan di tiap negara, termasuk Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) yang kini menjadi IPDN.

Bila kita kaitkan imajinasi Prabowo tentang kebanggaan Sekolah Gubernur di era Turki Utsmani yang pernah jaya selama 600-700 tahun, serta menyadari latar historis eyangnya yang masih keluarga besar alumni Pendidikan Kepamongprajaan, ada baiknya presiden diingatkan untuk menghadiri Pengukuhan Pamongpraja Muda tanpa diwakili.

Hal ini penting untuk meletakkan pondasi kepemimpinan pada semua strata pemerintahan sehingga Bangsa Indonesia dapat bertahan sampai kapanpun. Kesadaran historis itu akan menambah spirit untuk mengembangkan pendidikan kepamongprajaan hingga mampu mencapai tujuan konstitusional, kesejahteraan rakyat. Tanpa kepemimpinan pemerintahan yang kuat, kita hanya menjadi bangsa pembebek.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian