Mengais Puasa Pasca Lebaran

Oleh. Muhadam Labolo

Puasa salah satu media mencapai kesempurnaan hidup. Kesempurnaan dalam makna lahirnya kesholehan individu sekaligus sholeh sosial. Kesholehan pertama ditakar dari kedisiplinan menjalankan perintahNya, seraya menjaga jarak dari laranganNya.

Kesholehan kedua di timbang dari kepedulian melihat realitas sosial. Lebih jauh sebuah relasi antara kita dengan semesta. Tak cukup melampaui hubungan dengan sesama, juga jagad raya. Dalam agama, dua kesholehan itu sering berhubungan erat sebagaimana ekosistem.

Buah kesholehan individu adalah perilaku terukur. Dalam makna luas kehati-hatian terhadap pikiran dan tindakan (taqwa). Dengan modal itu seseorang tak mudah mereproduksi pikiran, apalagi aksi tanpa berkonsultasi dengan nurani. 

Jauh di lubuk hati paling dalam bersemayam nurani. Semacam lembaga spiritual tempat akal berkomunikasi. Kemurnian nurani bergantung sejauhmana Ia ditempa. Jasmani sengaja dimiskinkan selama puasa untuk memberi ruang bagi nurani agar tumbuh.

Kemiskinan religi bukan saja mengkerdilkan individu, juga lingkungan sosial. Tak sedikit ruang publik dicemari ampas individu yang bersifat anarchis. Kelebihan religi pun bisa menjadi candu seperti kritik Marx. Tak sedikit yang mengatasnamakan otoritas religi untuk melenyapkan kelompok berbeda.

Ketika kesempurnaan ditempuh dengan ukuran-ukuran kuantitatif, yang nampak hanya riak. Arogansi mini atas nama kesholehan. Pada titik itu kesempurnaan hanya rekapitulasi angka, bukan subtantif. Puasa sebagai ibadah paling tua di langit dan bumi tak banyak memberi manfaat, kecuali menggugurkan kewajiban.

Kesholehan individu hakekatnya adalah bahan baku kesholehan sosial. Realitas religi ada pada praktek yang bersifat universal (rahmatalilalamin). Bukan sekedar tradisi dan asesoris. Ia melampaui batas-batas itu, demi dan atas nama sesama ciptaan Tuhan. Dengan alasan itu Tuhan hadirkan religi agar sifatnya yang pasif menjadi aktif.

Konon, ketika Tuhan menyuruh Adam & Hawa berpuasa Khuldi, keduanya gagal melewati bagian itu. Sebagai hukuman mereka dihempas ke bumi. Mereka menjalani proses kualitatif menebus khilaf. Tuhan memaafkan, tapi permusuhan klasik dengan setan dan sesamanya baru dimulai.

Kata Gandhi, puasa hanya berfaedah manakala pikiran mau bekerjasama dengan tubuh yang lapar. Setidaknya Ia berhasil menyemai keengganan menolak objek materi yang dihindari tubuh. Pikiran akar segala jenis sensualitas. Karenanya, puasa hanya punya manfaat terbatas selama kita masih dibuai hawa nafsu.

Dengan ingatan itu, spirit puasa dapat terawat manakala kita mampu memperlihatkan perubahan maksimal. Setidaknya dari level awam ke aras khusus. Bahkan lebih dari itu ke kelas khusus fil khusus kata Ghazali. Puasa sebagai lembaga didik tak hanya mengubah diri, juga lingkungan sosial. Ini sejalan dengan tujuan pendidikan menurut John Dewey.

Sekali lagi mengambil pesan spiritual Ghazali, bila puasa mampu menjinakkan pikiran dan hidup sederhana, jauh dari hasrat mencari perhatian berlebih dihadapan manusia, barangkali kita sedang menuju ketenangan hati dan kebahagiaan. Mungkin itu sedikit manfaat puasa dan kesempurnaan yang sedang kita cari di hari-hari mendatang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian