Perlunya Mengelola Urusan Publik dengan Kajian
Oleh. Muhadam Labolo
Setiap rezim punya kebijakan. Persoalannya ketika pemerintah kesulitan meletakkan urusan private dan urusan publik . Tambang, urusan publik jadi urusan ormas dan perguruan tinggi. Akhirnya, ormas sebagai pemersatu berubah jadi penambang. Malangnya sampai Jokowi lengser, NU dan Muhammadiyah gigit jari, tak ada penyerahan tambang (Dahlan Iskan, 2025).
Apalagi Perguruan Tinggi (PT), bukan Perseroan Terbatas. Kuatirnya, pendidikan dengan potret literasi rendah, infrastruktur hancur, guru langka, tukin raib, plagiasi tinggi, IQ setingkat Simpanse gagal diatasi malah semua pendidik ramai-ramai meninggalkan kelas jadi penambang.
Disisi lain hak publik seperti perairan laut diterbitkan sertifikat untuk kepentingan private. Bukan mustahil ruang dirgantara disertifikatkan seperti parodi di sebuah tiktok. Jadilah bumi, air dan kekayaan alam urusan private. Dimana relevansi tanggungjawab negara dalam Pasal 33 ayat 1-3 UUD 45? Negara rasanya lenyap, tersisa swasta dan civil society. Lalu untuk apa ada negara?
Ketimpangan lain, konglomerat berstatus koruptor dibayarkan BPJSnya. Muis, yang kena 6,5 tahun pasca rugikan negara 217 triliun melenggang ke Rumah Sakit (RS). Sementara banyak pasien miskin di tolak hanya karena telat bayar, dan penyakitnya tak tercover dalam daftar proteksi. Orang miskin jadi beban di tengah ultimatum disiplin bayar iuran BPJS.
BPJS ngaku hampir bangkrut dengan terpaksa mengeluarkan warning. Membatasi kurang lebih 144 macam penyakit yang justru jadi langganan pasien miskin. Antara Puskesmas dan RS saling lempar. Puskesmas miskin bila menumpuk. Sebaliknya RS jadi kaya bila padat. BPJS merasa diakali keduanya. Kesehatan jadi ruang private komoditi dibanding urusan publik.
Dalam hal tata kelola Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah kasus diceritakan seorang birokrat, di sekolah dapat makan siang dengan anggaran 6 ribu/hari. Model prasmanan. setiap anak ambil sendiri. Karena ada program MBG, kateringnya kehilangan orderan sekolah. Bila ditanya ke salah satu murid, rupanya lebih suka makan katering daripada MBG.
Waktu Covid-19, sebuah kantor memaksa tetap adakan kegiatan di hotel. Saat sholat di basement bertemu satpam dan office boy. Mereka berlinang air mata mensyukuri ada kegiatan. Bergantian kerja dan dirumahkan (hanya menunggu tapi tak dapat gaji). Sudah untung ada giat di hotel di tengah pembatasan kegiatan apapun yang bersentuhan dengan orang banyak. Bisnis rontok.
Semua presiden dan menteri pada dasarnya baik. Dulu ada menteri yang menganjurkan agar setiap rapat cukup konsumsi Ubi dan Singkong. Rapat tak boleh di hotel. Harus di kantor. Pasca silaturahmi dengan pengusaha hotel dan resto, kebijakan itu hanya bertahan semusim Rambutan. Rupanya menteri baru paham berapa banyak rantai ekosistem babak belur akibat sebuah kebijakan tanpa analisis mendalam.
Seorang Ketua Wali Murid di salah satu sekolah ditanya, mengapa tak ambil bagia dalam Projek MBG? Katanya, dia diminta urus makanan 7 ribu murid. Tak diambil karena urusannya ribet dengan birokrasi. Pasti ada cash back . Tak mungkin jalan begitu saja. Tak berani mainkan kualitas makanan karena urusannya nyawa murid. Ia masih punya idealisme, masih punya nurani yang kini langka pada mayoritas pemborong.
Andai anggaran 6 ribu dengan cash back 3 ribu, taruhlah untung seribu. Yang minta cash back berseragam partai serem. Parjo atau Parcok. 7 ribu murid sehari. Ambil untung seribu sudah 7 juta sehari. Dalam sebulan 20 hari sekolah. Bisa untung 140 juta bersih. Setoran cash back 420 jt sebulan. Masuk hitungan bisnis. Siapapun pasti tergiur dengan hitung-hitungan kasar semacam itu.
Bedanya cuma tak dapat buah. Sama lauknya cuma 1. Kalau MBG proteinnya 2. Satu nabati satu hewani. Masalahnya, siapkan 1,4 milyar per bulan untuk 7 ribu murid. Konsekuensinya harus pangkas macam-macam. Inilah pentingnya kajian, analisis, pendidikan, pelatihan seperti kebijakan di masa orba. Otda dimulai dengan pilot projek (1995). KB ada survei dulu (1986). Kini dipinggirkan.
Keingat ketika ditanya ke Pak Silalahi, salah satu mantan Menpan di era orba. Apa bedanya tentara dan profesor kalo kerja projek? Katanya, yang pertama bila diminta proposal bisa selesai dalam 1 hari, yang kedua baru selesai dalam 1 bulan. Tapi yang pertama bisa ditebak hasilnya, tak punya kualitas dibanding yang kedua! Yang pertama efisien tapi tak efektif. Yang kedua inefisien tapi relatif efektif.
Komentar
Posting Komentar