Pilkada dan Ancaman Kerapuhan Basis Pemerintahan
Dalam kritik sosial berimbang, sinisme pilkada pada akhirnya memproduksi dua kelompok dalam birokrasi, yaitu barisan hasil balas budi, dan kumpulan hasil balas dendam. Barisan pertama biasanya akan menikmati posisi terbaik lewat proses merit sistem seadanya. Sementara kelompok kedua lazim di parkir selama lima tahun sambil menanti kemurahan hati pemenang pilkada.
Dapat dibayangkan, efek polarisasi birokrasi selama lima tahun kedepan adalah menurunnya patriotisme layanan, kinerja, kepercayaan, stabilitas, serta melambatnya kontinuitas pembangunan. Pasangan kepala daerah terpilih mesti berpikir dua kali tentang bagaimana mengatasi kerapuhan mesin birokrasi agar mampu menuntaskan visi dan misi yang telah digadaikan pada masyarakat.
Malangnya, efek pilkada lebih kuat menciptakan fragmentasi sosial di tengah masyarakat. Dalam kasus di sejumlah daerah, satu keluarga dapat pisah rumah. Di tempat lain sebuah sumur dibatasi hanya untuk kelompok pendukung tertentu. Toko kelontong kehilangan pelanggan karena beda pilihan. Bahkan jalan setapak diblokir dengan alasan tidak memilih sesuai instruksi.
Dampaknya bukan saja mesin birokrasi terseok-seok, tapi
keluarga sebagai basis negara terancam rapuh. Problem besarnya justru disitu,
ketika keluarga mengalami ujian disintegrasi di setiap periode pilkada tanpa
upaya perawatan intensif, masa depan pemerintahan (baca; negara) terancam
bubar. Pentingnya menjaga kohesi keluarga jauh hari telah diingatkan filosof Aristoteles, Rousseau, Engels, Konfusius dan Mac Iver.
Dalam konteks analisis materialis sejarah, Engels lewat The Origin of the Family, Private Property and the State
(1884), mengaitkan keluarga dengan struktur sosial dan negara. Pandangan
Konfusius dalam Analects (500-400 SM), harmoni keluarga dasar konstruksi
harmoni negara dan masyarakat. Jaringan semacam itulah yang membentuk organisasi kompleks seperti negara kata Iver (1947).
Lewat kesadaran itu, efek pilkada pada DNA negara mesti
dipertimbangkan ulang sebelum kerapuhan itu dalam jangka panjang mereduksi semua cita
bernegara dengan ancaman kohesi sosial. Faktanya, meski dengan sedikit memaksa,
Rezim Orba menjadikan kohesi sosial sebagai kunci sukses Trilogi
Pembangunan. Salah satu upaya itu menjustifikasi mekanisme pemilu-pilkada lewat
representasi.
Ketika birokrasi yang mengalami keretakan berjumpa dipersimpangan
dengan realitas masyarakat yang mengalami kerapuhan akibat efek pilkada, yang
muncul adalah potensi kegagalan layanan (malfunction administration)
serta hilangnya kepercayaan publik (social distrust). Sosiolog Weber dan Chomsky mengingatkan ancaman bubarnya negara (failed
states) lewat disintegrasi sosial politik.
Kiranya, tak ada strategi sederhana guna menjauhkan birokrasi dari
potensi malfunction administration serta kerapuhan pada basis negara
sedini mungkin (keluarga), kecuali mengubah mekanisme pilkada dari langsung ke
tidak langsung. Melalui strategi ini birokrasi dapat terawat
profesionalitasnya, disamping kohesi sosial dapat terjaga sebagai syarat
pembangunan berkelanjutan.
Komentar
Posting Komentar