Dari Ingatan ke Realitas Pemerintahan
Oleh. Dr.
Muhadam Labolo
Judul diatas saya adaptasi dari tema
Seminar International Tradisi Lisan kedelapan yang diselenggarakan tgl 23-26
Mei 2012 di Pangkal Pinang dimana saya hadir sebagai peserta dengan kawan baik
Mr. Abu Hasan Asyari. Seminar ini tampaknya dikombinasikan dengan tema lokal Revitalisasi
Budaya Melayu, dari ingatan ke kenyataan (from
memories to the reality). Dalam
perspektif makna saya mencoba menginterprestasikan sesuai disiplin ilmu
pemerintahan, di ranah realitas saya mencoba mengimprovisasinya kedalam konteks
pemerintahan Indonesia. Pada tahap makna tadi, semua sentuhan dan proses budaya
yang melahirkan gejala pemerintahan saya intrepretasikan sebagai subkultur yang
menegaskan konstruksi pemerintahan selain ekonomi dan politik sebagaimana
digambarkan Taliziduhu Ndraha (1999) dalam Kybernology-nya. Pada tahap
realitas, semua asupan budaya saya improvisasi kedalam gejala pemerintahan
dewasa ini yang menurut sejumlah pakar dan pemerhati padat kolusi, nepotisme
dan korupsi. Satu diantara pakar yang gelisah itu adalah Prof. Sahetapy, Guru Besar
Hukum Pidana Universitas Airlangga yang menyajikan orasi tunggal dalam acara
sederhana memorial lecture Sutan
Takdir Alisyahbana di Taman Ismail Marzuki dua malam sebelumnya. Kalau Ndraha sering menggunakan banyak
metafora, maka Sahetapy rajin menggunakan eufemisme sebagai kritik terhadap
praktek pemerintahan dewasa ini. Pada
kesempatan di TIM itu saya sempatkan di sela welcome drink berdiskusi singkat dengan Syafii Ma’arif selaku
pengantar biografi Sahetapy sesudah dibuka Taufiq Abdullah. Berbeda dengan itu, event seminar kali ini
saya berpapasan dengan Wardiman (mantan Mendiknas), Muchlis (Kepala BSF), Anwar
Fuadi serta Walikota Pangkal Pinang yang cantik dan puitor. Saya sebut demikian
karena sejak sambutan di kawasan budaya Melayu hingga sesi beliau sebagai salah
satu pembicara tak luput dari sentilan-sentulan pantun Melayu. Bahkan staf humasnya tak lupa pula
membagi-bagikan souvenir berupa buku
kumpulan Pantun Walikota Pangkal Pinang selama menjabat walikota. Sepintas pengamatan,
beliau merupakan personifikasi dari kesatuan budaya Melayu dan China. Berdialek kental Melayu, bermata sipit dan
berkulit putih. Selain karakteristik
itu, sepertinya saya tak sanggup menjadi walikota di tempat semacam ini, sebab
harus memiliki cadangan berpuluh-puluh pantun sebelum membuka dan menutup acara
dimana-mana. Pada kondisi tertentu saya menilai pantun menjadi semacam mantra dalam
bentuk tradisi lisan untuk menjadi tempat berlindung bagi setiap pejabat dari salah
dan khilaf di depan masyarakat. Kalau sudah begini, mau tak mau masyarakat akan
memaafkan dan menerima apa adanya pemerintah sekalipun faktanya tak menunjukkan
satunya kata dan perbuatan. Disinilah inkonsistensi antara ingatan terhadap
realitas empirik. Pada awal kampanye semua janji ditebar oleh siapapun yang
menyatakan diri sebagai yang paling bisa memerintah. Sayangnya, realitas umumnya tak menunjukkan bahwa
semua indikasi atas ingatan kita dimasa kampanye hadir dalam ruang publik.
Seorang dosen dan salah satu peserta lokal menyatakan bahwa semua yang tampak
dalam kesantunan pantun tak sepenuhnya hadir di masyarakat. Mungkin inilah yang
disindir Broery Pesolima dalam sebuah lirik lagu, lain di bibir lain di hati. Gejala pemerintahan kita tampak
menampilkan semacam amnesia, lupa terhadap apa yang ia sendiri ingatkan pada
kita di semula. Kini, semua realitas
hampa tadi hanya menyisakan ingatan terhadap apa yang pernah dijanjikan tempo
hari. Meminjam istilah Ndraha (2010), semakin lebar disosiasi antara mereka
yang memerintah terhadap mereka yang diperintah, menurut saya semakin tinggi
pula ketegangan keduanya yang dapat memicu perceraian ekstrem dikemudian
hari. Dalam pepatah Belanda yang disitir
Sahetapy, kebohongan bisa berjalan seperti kilat, namun kebenaran sewaktu-waktu
dapat menjatuhkannya.
Ditengah
seremonial tadi saya sebenarnya tak terlalu merasa asing, sebab beberapa
panitia dan peserta adalah mantan mahasiswa, kawan alumni dan rekan dosen dari
berbagai universitas domestik yang pernah bertemu dalam acara Asean Folklor 2011
di Penang November tahun lalu. Sisanya para peneliti dan pakar dibidang sosiologi,
antropologi, linguistik, sejarah dan sastra dari berbagai belahan dunia. Mereka
bukan saja menguasai satu masalah secara spesifik namun pandai berbahasa
Indonesia dan lebih dari itu bahasa lokal satu-dua di nusantara. Saya terkesan
dengan pemakalah dari Perancis di sesi pleno yang membawakan topik tentang
Budaya Suku Bajo di Indonesia. Saya
bukan saja terkesan dengan isi orasi yang disampaikan, namun bahasa pengantar
yang digunakan cukup complicated,
yaitu Inggris, Indonesia dan sesekali menggunakan bahasa lokal Bugis-Bajo. Seusai acara saya gunakan kesempatan untuk
berkunjung ke Pulau Penyengat bersama beberapa peserta. Pulau ini adalah pulau
kecil yang menurut sejarah menjadi mahar bagi seorang putri yang diperistrikan
raja setempat. Saya tidak akan
menceritakan bagian ini sebab saya bukan seorang sejarawan. Bagi saya sebagai ilmuan pemerintahan hanya
akan menjadikan semua realitas sejarah tersebut sebagai salah satu sumber dalam
pengembangan kuliah yang bersinggungan dengan dinamika lokal, kearifan lokal, otonomi
daerah, pengenalan hukum adat atau perbandingan pemerintahan lokal. Pada aspek politik lokal tentu berguna untuk
menjustifikasi dan mengidentifikasi sumber-sumber kekuasaan, transisi
kekuasaan, serta bagaimana pemerintahan dapat dipertahankan dalam jangka
tertentu. Dalam hubungan ini saya
semakin yakin bahwa kekuasaan yang direpresentasikan oleh pemerintah di tingkat
lokal tak lepas dari hubungan yang bersifat diplomatik, konflik dan
kawin-mawin. Ketiga faktor tadi menjadi
episode terbesar dalam tradisi lisan yang disampaikan oleh guide local ketika
berkunjung di sejumlah situs sejarah. Malam harinya saya dan Pak Abu Hasan, (satu-satunya
ahli filsafat IPDN) yang turut mendampingi diajak makan malam oleh Mrs.
Alexandria dan Mr. Mores. Keduanya
berasal dari Jerman, peneliti serta dosen yang fasih berbahasa Indonesia.
Sambil dinner di belakang Hotel Melia
saya menikmati perdebatan sengit antara Abu Hasan dengan Mr. Mores yang
bersemangat membedah asal mula masuknya kebudayaan Islam di Indonesia. Demikian
menariknya diskusi tersebut, Mr. Mores yang kebetulan pernah berdomisili
sementara di Jalan Kenanga samping kampus IIP Cilandak Jakarta mengajak Abu Hasan
untuk meneruskan perbincangan tadi di kesempatan lain sambil membawa literatur
masing-masing. Saya merasa Mr. Mores benar-benar penasaran dan tak menyangka
bahwa Abu Hasan cukup menguasai sejarah masuknya Islam lengkap dengan literatur
yang dipertahankan. Sebagai mantan mahasiswa pada mata kuliah filsafat
pemerintahan jurusan politik pemerintahan IIP saya merasa kagum sambil menyimak
bagian penting tentang motif-motif masuknya kebudayaan Islam di Indonesia. Saya ingin menimpali diskusi serius malam itu
namun kuatir kekurangan referensi dari aspek sejarah Islam, maklum saya bukan
ahli sejarah sebagaimana mereka bertiga. Saya sebenarnya memiliki banyak buku
sejarah lokal, nusantara dan sejarah masuknya Islam, demikian pula catatan para
pakar semacam Azzumardi Azra. Subuh
dinihari sebelum bertolak ke Bali saya melanjutkan diskusi pendek dengan Abu
Hasan bahwa kita mesti yakin dengan literatur domestik kalau tak ingin digiring
oleh subjektivitas dan catatan peneliti barat yang bisa saja dibelokkan menurut
kehendak dan kepentingan mereka. Terlepas dari itu kita juga mesti mengakui
bahwa observasi peneliti barat terhadap kebudayaan kita jauh lebih intens
dibanding peneliti kita sendiri. Saya merasa kita mesti menulis sejarah dengan
nilai objektivitas tinggi agar dapat menjadi sumber literatur yang relatif
dipercaya dibanding catatan para peneliti barat. Bagi kita, sejarah tak pernah bohong, kecuali
penulisnya sendiri. Saya melanjutkan bahwa pendapat Abu Hasan tentang motif
masuknya para pembawa risalah Islam dari Timur Tengah ke Indonesia boleh jadi
bukan semata-mata untuk menyebarkan kebudayaan itu sendiri pada awalnya
sebagaimana di debat oleh Mr. Mores. Saya sependapat jika penyebabnya adalah
kondisi politik-pemerintahan yang tak menentu sehingga mendorong para pembawa
budaya tadi mengisolasikan diri untuk menghindari konflik internal. Motif yang sama dapat kita lihat dalam catatan
sejarah perjalanan Budha Gautama dan Kong Hu Tsu yang mencapai puncak
pencerahan diri dikemudian hari. Saya juga
berpikir mungkinkah migrasi (baca;hijrah) Nabi Muhammad dari Mekkah ke Medinah
memiliki motif yang sama pada awalnya, selanjutnya berkembang kearah
internalisasi nilai-nilai Islam dalam masyarakat Anshar. Sampai disini saya bergegas ke bandara
Pangkal Pinang bersama Prof. Bani, seorang ahli linguistik dari Universitas
Sebelas Maret mendahului sehari sebelum penutupan untuk mengajar DPRD Kota Tidore
di Bali. Saya mengambil istrahat sejenak
di pesawat Garuda karena penat menyaksikan musik tradisional Melayu asal
Kelantan dan Opera China separuh malam di pinggiran pantai Kota Pangkal Pinang.
(The
Losari Hotel, Kuta Bali, 25 Mei 2012).
Komentar
Posting Komentar