Problem Rekrutmen Pegawai Honorer dan PNS di Daerah
Oleh.
Dr. Muhadam Labolo
Salah satu sebab meningkatnya beban
APBD dalam lima tahun terakhir adalah bertambahnya rekrutmen pegawai honorer dan PNS di
daerah. Pemerintah daerah berlomba-lomba
melakukan rekrutmen dengan alasan kekurangan pegawai tanpa memperhitungkan kemampuan
fiscal yang dimiliki. Parahnya,
rekrutmen tersebut seringkali dilakukan manakala mendekati pesta pemilukada,
bahkan boleh jadi setiap tahun melalui perilaku fiktif, patronase dan
nepotisme. Fiktif, sebab separoh tenaga
honorer yang dikonversi menjadi PNS tetap lahir dari hasil manipulasi oknum BKD
sehingga terkesan telah mengabdi puluhan tahun sesuai persyaratan yang diminta
oleh Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi. Hasilnya, sejumlah pegawai honorer dan PNS tampil
dengan wajah, baju dinas serta nomor kepesertaan pegawai honorer baru sebagai
produk sulap sim salabim ala Dedy
Corbuzer. Gejala patronase muncul dalam rekrutmen PNS disebabkan sebagian besar
pejabat di daerah merupakan kumpulan tim sukses yang secara politis dan
hirarkhis memiliki akses langsung dengan penentu otoritas. Akibatnya, pola-pola rekrutmen PNS bersifat
tertutup, eklusif, dan terbatas pada para pemegang sumber daya. Mereka yang jauh dari api kekuasaan jangan
harap memperoleh peluang yang sama, kecuali benar-benar bernasib mujur. Pada sisi lain, kultur nepotisme memperoleh
ruang yang ideal, dimana faktor kekerabatan keluarga mendapat tempat terbuka
dalam konteks promosi, demosi dan mutasi.
Semakin kecil entitas pemerintahan sebagaimana desa, semakin tinggi pula
kerapatan dan spirit kekeluargaan. Jangan
heran jika pola hubungan kerjasama di daerah relatif bersifat emosional dan
gotong-royong (kolektivisme).
Sebaliknya, semakin luas entitas pemerintahan seperti kota, semakin longgar
kerapatan dan semangat kekeluargaan, dimana dalam diri setiap orang muncul
sifat individualisme. Masalahnya, semangat kekeluargaan tadi dipergunakan
secara membabi-buta lewat optimisme aji
mumpung. Mumpung sedang berkuasa,
kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi? Maka, isi birokrasi di daerah terkadang tak
lebih dari kumpulan anggota organisasi AMPI, yaitu anak, menantu, ponakan dan
istri. Praktis birokrasi di daerah
dikendalikan oleh keluarga besar yang berupaya melanggengkan kekuasaan secara
turun-temurun. Tanpa bermaksud membesar-besarkan masalah ini, birokrasi di
daerah terkesan merupakan warisan kekuasaan nenek-moyang kelompok tertentu yang
dilimpahkan secara manipulatif, fiktif, patronase dan nepotisme pada sejumlah
anak-cucu yang tak memiliki kompetensi memadai.
Seperti diulas oleh Agus Dwiyanto (2011), rekrutmen pegawai honorer dan PNS tanpa
kompetensi yang jelas paling tidak mengakibatkan pertama, mempersempit ruang bagi rekrutmen tenaga profesional
sekelas perencana, analis kebijakan, guru, dokter dan akuntan. Isi birokrasi hanyalah kumpulan PNS tanpa
spesialisasi, rendah mutu, generalis dan bertumpu pada pekerjaan ringan semacam administrasi
surat-menyurat. Akibatnya, anda dan saya
dengan mudah dapat
menemukan pegawai
honorer di Pemda khusyu bermain game dan
puzzle di depan komputer. Jika jumlah honorer ditambah keseluruhan
pegawai yang duduk di eselon empat terjebak dalam situasi semacam itu, maka
bisa disimpulkan lebih separoh pegawai di daerah sebenarnya tak produktif. Dapat pula dipahami mengapa problem
pelayanan di daerah terus meningkat sekalipun jumlah pegawai honorer bertambah
setiap tahun, tentu saja para teknisi tadi tak mampu melayani masyarakat,
kecuali dirinya sendiri. Parahnya,
kondisi ini dipelihara telaten oleh elite berkuasa, dimana pada momen
pemilukada dijadikan instrument transaksional untuk memuluskan kemenangan,
khususnya pasangan incumbent. Pasca pemilukada, para pegawai honorer tadi
tidur kembali, atau mungkin menikmati hasil kemenangan pasangan tertentu. Tidaklah aneh jika semua gambaran perilaku
tersebut tak dapat disentuh oleh elite berkuasa, disebabkan hutang-piutang budi
dalam satu periode memerintah.
Kedua, rendahnya kompetensi dalam
jangka panjang membuat belanja aparatur pemda terus membengkak, bahkan tinggal
menunggu kebangkrutan sebagaimana prediksi lembaga non government FITRA
(2011) pada 124 kabupaten/kota di Indonesia.
Jika semua pemborosan ini tak dapat dikendalikan, maka satu-satunya
upaya efisiensi adalah melakukan moratorium seraya mengevaluasi efektivitas
kebijakan rekrutmen tenaga honorer di daerah, apakah nilai produktivitasnya
meningkat berbanding lurus dengan
jumlah pegawai yang ada, ataukah sebaliknya, berbanding terbalik. Ketiga,
rekrutmen honorer dan PNS
tanpa kompetensi yang jelas mendorong pemerintah daerah mesti mengeluarkan
kocek APBD yang tak sedikit. Tentu saja
dalam kaitan peningkatan kecakapan dan keterampilan yang setaraf dengan pegawai
lain. Situasi ini jelas membuat APBD tak
pernah stabil, yang pada ujungnya membuat daerah terkesan collaps. Collaps karena
tak mampu membiayai dirinya sendiri, apalagi mencoba mengembangkan kebijakan lain
yang menguras energi besar. Rendahnya kompetensi pegawai honorer,
bahkan mereka yang telah dikonversi menjadi PNS definitif sekalipun, dikarenakan pola
pengajuan kebutuhan kompetensi pegawai jauh
didasarkan pada kebutuhan daerah, tapi lebih karena kepentingan pribadi. Kalau
saja anda adalah pejabat yang membidangi kepegawaian di daerah tersebut, dan kebetulan
punya anak lulusan Institut Kesenian Jakarta Jurusan Koreografer, bukan
mustahil bisa muncul dalam daftar pengajuan kompetensi kebutuhan daerah di BKN Jakarta, sekalipun
nyata-nyata daerah tak membutuhkan kompetensi dimaksud. Inilah bias kebutuhan, sekalipun kita semua
tau bahwa pemerintah pusatlah yang berhak menentukan besaran, komposisi dan
kompetensi aparatur daerah, namun kita juga harus jujur menyadari bahwa tujuh
puluh lima persen kebijakan pemerintah pusat dalam hal ini tentu saja
didasarkan pada data yang diajukan daerah sebelum dilakukan rekrutmen PNS
secara nasional. Peluang ini seringkali efektif dimanfaatkan
oleh BKD untuk mengakomodir kepentingan para elite di daerah dalam bentuk bargaining atas besaran dan kompetensi
pegawai yang akan direkrut di pusat. Semua
masalah tadi mencapai kesempurnaan tatkala para pemegang otoritas di pusat
relatif mengiyakan, tanpa melakukan verifikasi dan pengawasan intensif. Disinilah
sumber kekacauan sekaligus masalah rekrutmen tenaga honorer dan PNS di daerah,
maka sampaikan kapanpun daerah tak akan pernah maju sekalipun otonomi diberikan
hampir melampaui isi dan luas kewenangan negara bagian di Amerika sekalipun, lantaran
dipenuhi sekelompok birokrat hasil rekrutmen tak cukup terdidik, tak cakap, tak
terampil, tak profesional, bahkan kehilangan nurani, sensifitas, serta komitmen
sebagai pelayan masyarakat.
Komentar
Posting Komentar