Kegalauan Demokrasi Lokal


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Meminjam kembali pendapat Riker (1982), salah satu keunikan demokrasi adalah kesepaduan antara proses dan tujuan yang ingin dicapai. Jika mekanisme demokrasi merupakan bagian dari proses melahirkan kualitas bagi mereka yang akan memerintah, maka kita berharap mekanisme tersebut benar-benar merepresentasikan tujuan yang telah ditetapkan. Semakin tinggi prasyarat yang ditentukan oleh demokrasi, semakin tinggi pula harapan kita bagi lahirnya kualitas kepemimpinan pemerintahan dimasa mendatang. Sebaliknya, semakin rendah prasyarat yang ditentukan demokrasi, semakin rendah pula harapan kita menantikan hadirnya kepemimpinan pemerintahan yang bermutu. Premis tersebut setidaknya mendapatkan tempatnya dalam kasus pemilukada, dimana kelemahan mekanisme dalam pesta demokrasi telah mereduksi kualitas kepemimpinan pemerintahan sebagaimana disinggung oleh Mahfudh MD (2012). Menurutnya, sejauh ini pemilukada telah melahirkan empat persoalan krusial; pertama, pemilukada gagal menciptakan pemimpin daerah yang baik dan benar. Kedua, munculnya sifat pragmatisme. Ketiga, lahirnya oligarkhi dan kecanduan kekuasaan. Keempat, maraknya penggunaan anggaran negara oleh incumbent.  Jika empat gejala tersebut kita jadikan dasar bagi penetapan kerangka tujuan yang akan dicapai dalam berdemokrasi, maka dengan logika sebaliknya kita sepakat me-recovery pemilukada kedepan dengan satu pertanyaan besar bagaimana membentuk kepemimpinan pemerintahan di daerah yang baik dan benar, menghilangkan sifat pragmatisme masyarakat, membatasi oligarkhi dan kecanduan kekuasaan, serta mencegah maraknya penggunaan anggaran negara.  Untuk maksud itu kita membutuhkan sejumlah persyaratan penting dalam bentuk mekanisme demokrasi lewat rancangan undang-undang pemilukada. Pertama, melahirkan pemimpin yang baik dan benar bukanlah perkara mudah. Disini membutuhkan kerangka nilai, etika dan norma. Ketiganya dapat melampangkan kita untuk meletakkan sejumlah syarat pada siapapun yang berkenan mencalonkan diri sebagai yang akan memerintah. Norma yang kita produk selebihnya mengandung prasyarat etis yang menjamin bahwa setiap pasangan calon tercela tak mungkin melenggang-kangkung dalam pesta demokrasi. Hanya mereka yang tak sedang menjalani hukuman penjara, tak sedang di proses dalam tindak pidana apa pun, atau tak pernah melakukan perbuatan tercela di depan publik yang pantas hadir di pentas pemilukada. Sebagai contoh, setiap calon pemimpin di Amerika yang liberal atau China yang komunis mensyaratkan secara tegas tak boleh tercela dalam hal-hal semacam itu. Mereka yang baik dan benar akan terekam jelas dalam interaksi sang calon pemimpin dengan realitas sosial dimana ia tumbuh dan berkembang.  Jika ia baik dan benar, maka dengan mudah pula diterima oleh mereka yang akan diperintah kelak. Mengutip kriteria Dhahl (1999) tentang standar kepemimpinan dalam demokrasi, seseorang boleh jadi berubah ditengah jalan setelah menjadi pemimpin, namun kebaikan dan kebenaran yang mereka pertaruhkan sebelum kesalahan sekecil apapun yang dapat mereka perbuat dikemudian hari setidaknya menjadi garansi bagi kebaikan dan kebenaran yang akan mereka kembangkan dimasa kepemimpinan. Makna simboliknya dapat dipahami bahwa mereka yang pernah berbuat tak baik dan tak benar jauh lebih meragukan karena kehilangan garansi untuk melakukan penyerbukan terhadap kebaikan dan kebenaran dimasa kepemimpinan nanti. Dengan alasan itu maka setiap instrumen demokrasi yang kita persiapkan semestinya mampu menjaring kandidat yang baik dan benar. Diatas kepercayaan itu pula kita menyadari bahwa kita sedang mencari pemimpin ideal dari bangsa manusia, bukan bangsa malaikat. Jika bangsa manusia dibelahan dunia lain mampu melahirkan sosok pemimpin ideal, bukankah tak ada aral bagi kita mendesain mekanisme yang mampu melahirkan hal serupa.  Kedua, upaya menghilangkan perilaku pragmatisme hanya mungkin jika diimbangi oleh perubahan mind-set masyarakat. Perubahan pola pikir setidaknya mengubah kultur masyarakat dari perilaku menunggu pemberian amplop pada setiap pasangan kepala daerah ke arah mencarikan modal bagi hadirnya pemimpin baik dan benar sehingga mampu mewujudkan aspirasi mereka menjadi realitas sesungguhnya. Kalau di banyak negara masyarakat mampu mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya bagi harapan kemenangan pemimpin yang diidolakan, mengapa kita merendahkan diri dengan menengadahkan tangan memelas setengah ampun bagi kemenangan pemimpin? Terlepas dari itu, realitas pragmatisme yang terjadi dilingkungan kita bukanlah perkara asal jadi,  semua itu bermula dari rendahnya pendidikan yang turut berkontribusi bagi terciptanya masyarakat papa dimana-mana. Tanpa sentuhan pendidikan itulah masyarakat tak memiliki kemampuan untuk mengakses sumber daya bagi kelangsungan masa depannya, kecuali bertahan hidup dalam jangka pendek. Secara kebetulan momentum demokrasi lima tahun sekali membuka peluang dimana door prize menunggu digenggaman tim sukses asal hadir dalam kampanye dan mencontreng di tempat pemungutan suara. Dalam konteks ini penerapan mekanisme demokrasi berada dalam situasi dilema berkepanjangan, dimana masyarakat lapar dan haus diperhadapkan pada pilihan sulit, memilih sungai penuh air dalam fatamorgana ataukah mereguk setetes air di depan mata. Tentu saja kita memilih yang paling menguntungkan. Jika mekanisme demokrasi semacam ini kita pertahankan, maka kita mesti banyak bersabar sambil giat membangun kesadaran terus-menerus lewat kanalisasi pendidikan. Kalaupun kita ingin mengganti mekanisme demokrasi yang lebih sederhana, kitapun tak begitu yakin mampu menghilangkan pragmatisme di level elit, sebab bukankah merekapun lahir dan memiliki masalah yang tak jauh beda dengan masyarakat yang diwakilinya. Masalah ketiga adalah bagaimana membatasi perkembangbiakan oligarkhi dan kecanduan kekuasaan melalui mekanisme demokrasi di level pemerintahan daerah.  Menurut pendapat saya gejala demikian erat bertalian dengan aspek kultur yang mentradisi dalam setiap wilayah. Tradisi melanggengkan kekuasaan pada awalnya terbentuk dari instink setiap individu yang melembaga dalam kelompok seperti dinasti, klan dan marga. Ekstensifikasi kekuasaan muncul pada sekelompok orang yang mengendalikan sumber daya. Dalam contoh sederhana seseorang yang pernah memperoleh kekuasaan lewat jalur pendidikan khusus semacam sekolah kedinasan berkeinginan keras mendorong anaknya agar mengikuti jejaknya termasuk membolehkan segala cara, terlebih lagi kekuasaan pada derajat tertentu. Ini menggambarkan bagaimana  tradisi oligarkhi dan kecanduan kekuasaan merajalela dilingkungan masyarakat dan birokrasi. Dalam teori ekonomi-politik klasik mereka yang menguasai sumber-sumber produksi cenderung akan mempertahankan kekuasaan lewat berbagai cara, termasuk proses diplomasi, biologis dan konflik. Kecenderungan oligarkhi dan kecanduan kekuasaan hanya mungkin dibatasi jika mekanisme demokrasi dipadatkan oleh syarat etis pada norma yang disepakati. Hanya dengan itu kita bisa mengembalikan kekuasaan pada yang berhak dan memenuhi persyaratan pertama.  Jika Sun Yat Sen di China mampu merevolusi bentuk negara dari dinasti menjadi republik untuk melerai hak publik dan hak kaum feodal yang menguasai pemerintahan turun-temurun, lalu mengapa republik kita tak mampu membatasi kegandrungan menyuburkan oligarkhi yang menciptakan kecanduan kekuasaan? Akhirnya, tujuan mencegah penggelapan uang negara dalam perilaku korupsi oleh incumbent haruslah tampak dalam desain mekanisme demokrasi. Mekanisme ini selayaknya mempertimbangkan punishment berat pada yang mengendalikan dan yang dikendalikan secara sistemik dilapangan. Tanpa upaya itu maka seluruh mesin birokrasi yang selama ini menjadi instrumen pemenangan pasangan incumbent tak dapat disentuh dengan mudah.  Mereka seperti jalinan tali-temali yang kuat serta saling bahu-membahu. Selama ini kita seringkali menutup mata atas perbuatan birokrasi yang mendukung semua aktivitas incumbent sekalipun masa cuti diluar tanggungan negara. Bagi saya, efek jera dapat diterapkan dengan menggunakan rumus rantai hirarkhi itu sendiri dimana perintah-perintah yang saling terkait sangat mungkin ditindak berdasarkan model multi level marketing.  Jika keseluruhan mekanisme mampu mensyaratkan sejumlah indikator diatas, maka langkah berikutnya adalah memprovokasi segenap pemetik manfaat dari tujuan demokrasi itu sendiri agar mampu mengawal untuk mengurangi sedikit kegalauan kita terhadap masa depan demokrasi lokal di Indonesia. (Hotel Jayakarta, 18 Mei 2012).



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian